52. Virus Merah Jambu

87 15 0
                                    

"Far, tolongin aku, ya," pinta Raina ketika ia sudah tiba di hadapan Fara. Terang saja gadis itu keheranan melihat wajah Raina yang terlihat pucat pasi dan matanya berkaca.

"Kamu kenapa?" tanya Fara khawatir.

Tanpa menjawab, Raina segera menyeret Fara untuk menjauhi panggung ruang pertunjukan terbuka. Sebisa mungkin menjauh dari jarak pandang Rein dan Fadil.

Begitu tiba di tepi lapangan basket kampus yang ada di area terluar kawasan FIB, Raina terduduk lemas di sana.

"Maaf, ya, Far. Aku udah nyeret kamu ke sini tiba-tiba. Kalau kamu mau pergi, aku enggak apa-apa ditinggal sendiri," ujar Raina setelah menghela napasnya.

Fara menatap temannya itu sejenak. Menimbang apakah baik-baik saja jika Raina ia tinggal sendiri. Beberapa saat kemudian, Fara pun merespons.

"Oke. Aku pergi, ya."

Sepeninggal Fara, Raina menumpahkan semua air mata yang ia tahan sejak tadi. Meluapkan semua emosi yang terasa menggelegak di dalam dada. Membuatnya merasa tidak nyaman.

Kenapa ia harus mendengar kabar itu ketika perasaannya kepada Rein mulai tumbuh? Apakah ini semacam teguran dari Allah karena Raina berani merasakan perasaan cinta yang belum seharusnya ada? Cinta yang belum halal. Rasanya begitu sesak hingga Raina menelungkupkan wajahnya. Terisak pelan hingga bahunya berguncang.

Saat itulah sebuah tangan menepuk pundaknya pelan. Perlahan Raina mendongak untuk melihat siapa orang itu.

"Gimana aku bisa ninggalin kamu kalau kamu lagi kacau begini?" tanya Fara sembari menyodorkan sebungkus tisu kepada Raina.

Gadis itu memutuskan untuk kembali. Bayangan wajah yang kuyu, juga binaran kesedihan di mata Raina membuat Fara tidak enak hati. Benar saja begitu ia kembali, ditemukannya Raina sedang terisak seorang diri.

Raina mengambil selembar tisu lalu menutupi wajahnya dengan itu. Isakannya semakin kuat ketika Fara kembali menepuk-nepuk pelan pundaknya.

"Keluarin aja semuanya. Aku di sini, kok. Nanti kalau udah siap cerita, aku dengerin. Kalau pun enggak siap, juga enggak apa-apa," ujar Fara lembut.

Selama beberapa saat hanya suara isakan Raina yang terdengar. Gadis itu menumpahkan semuanya. Guncangan bahunya semakin hebat tatkala kelebatan kenangan bersama Rein itu hadir dalam benaknya.

Sekitar sepuluh menit lamanya, tangis Raina mereda. Wajah gadis itu memerah juga basah. Sesekali ia menyeka ingusnya dengan tisu pemberian Fara.

"Mau cerita?" tanya Fara lembut ketika melihat Raina sudah agak tenang.

"Aku ...." Raina ragu sejenak. Apa Fara akan menceramahinya kali ini jika ia bercerita soal perasaannya? Namun, Raina sedang tidak siap menerima nasihat dalam bentuk apa pun saat itu.

"Kalau enggak bisa cerita sekarang, enggak apa-apa." Fara menatap Raina seraya tersenyum. Melihat senyum itu Raina jadi yakin Fara bukan tipe orang yang suka menasihati orang lain dengan frontal.

Maka dengan sedikit keberanian yang ia kumpulkan, Raina mulai bercerita.

"Aku kena virus merah jambu," ujar Raina lirih.

Wajahnya tertunduk. Sesekali kembali menyeka wajahnya yang basah dengan tisu. Semakin salah tingkah ketika Fara belum juga merespons. Sempat ia menyesal. Harusnya jika curhat masalah seperti ini ke Afia saja. Fara bukan orang yang tepat. Namun, semua anggapannya itu sirna ketika Fara tiba-tiba tertawa.

"Ya Allah, Raina. Masalah itu ternyata. Aku pikir masalah apa sampai nangisnya sesenggukan gitu," ucap Fara ketika melihat Raina menatapnya keheranan.

"Kamu, kenapa ketawa?"

"Eh, maaf, ya. Bukan bermaksud menertawakan kamu. Aku pikir masalahnya berat banget."

"Ini serius, Far."

"Iya, iya, aku tahu. Wajar, kok, kalau manusia jatuh cinta. Enggak ada yang salah. Terus kenapa kamu sampai nangis gitu?"

Raina terdiam. Lidahnya bahkan kelu untuk membahasnya. Namun, ia harus membagi segala kegelisahannya itu kepada orang lain. Siapa tahu saja dengan berbagi, rasa sesak di dadanya bisa berkurang.

"Beliau mau menikah dan sudah ada calonnya."

Fara pun terdiam. Raut wajah yang tadinya ceria pun ikut berubah sendu. Seolah bisa ikut merasakan sesaknya sang lawan bicara.

"Maaf, Rain. Aku enggak tahu. Aku pikir ini cuma jatuh cinta biasa layaknya remaja pada umumnya."

"Enggak apa-apa, Far. Mungkin akunya aja yang lebay." Raina melipat-lipat tisu yang sudah basah dengan air matanya.

"Ini yang pertama?"

Raina mengangguk. Segala sesuatu jika itu pertama, tentu akan meninggalkan kesan tersendiri dan sulit dilupakan.

"Apa karena aku merasakan cinta yang belum halal, makanya Allah menghukumku kayak gini? Tapi, kenapa rasanya sesakit ini? Kenapa jatuh cinta itu rasanya sesakit ini?" Raina kembali terisak. Air matanya kembali tumpah. Jika boleh memutar waktu kembali, akan ia jaga benar-benar hatinya agar tidak jatuh dalam pesona si virus merah jambu.

"Allah menciptakan cinta untuk manusia bukan sebagai hukuman. Cinta diciptakan agar kita bisa merasakan yang namanya keindahan. Jika kita merasakan sakit, itu akibat dari perbuatan kita yang sudah keluar jalur." Fara tersenyum menatap Raina yang wajahnya kembali penuh dengan air mata.

"Seperti yang aku bilang tadi, enggak ada yang salah dengan jatuh cinta. Itu manusiawi. Malah justru patut dipertanyakan kalau manusia enggak pernah merasakan cinta. Kitalah yang membuat pilihan apakah cinta itu bisa menyakiti kita atau membahagiakan kita."

Raina menyeka lagi air matanya. Menatap Fara yang kembali menepuk-nepuk lembut pundaknya.

"Jadi, enggak apa-apa kalau aku sedih karena patah hati? Aku tahu ini konyol dan seharusnya enggak begini. Tapi, ...." Raina tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya.

"Aku paham. Untuk sekarang, diterima aja dulu perasaan yang lagi kamu rasain. Setelahnya baru bisa mikirin gimana ke depannya."

"Aku bodoh banget, ya. Nangis cuma karena hal beginian." Raina merutuki dirinya sendiri.

"Enggak bodoh. Cuma lagi merangkul emosi kamu sendiri. Aku tahu kalimat ini, tuh, klise banget. Tapi, enggak ada salahnya diyakini. Setiap orang sudah ada jodohnya masing-masing. Sudah tertulis jauh hari sebelum kita ada di dunia. Jadi, enggak perlu khawatir. Jikalau nanti jadinya bukan dengan yang kita inginkan, percayalah itu yang terbaik untuk kita. Sebaliknya, jikalau dia memang jodoh kita, mau sejauh apa pun, sesulit apa pun, Allah akan mendatangkannya kepada kita dengan cara-cara yang enggak pernah kita duga."

"Kamu bener," respons Raina seraya tersenyum.

"Inget, indah atau sakitnya mencintai, itu pilihan kita sendiri."

Keduanya saling tersenyum. Hati Raina terasa lebih ringan kini. Wajahnya juga sudah lebih ceria.

"Kamu mau enggak ikut acara keputrian di rohis fakultas?" tanya Fara setelah agak lama mereka terdiam.

"Acara apa?"

Sejak berhijrah ketika duduk di tahun kedua SMA-nya, Raina sering ikut kajian keputrian rohis setiap pekannya. Namun, ketika di bangku kuliah, ia lebih tertarik dengan kegiatan di BEM.

"Temanya tentang virus merah jambu. Bagaimana virus itu bisa timbul dan bagaimana cara menyiasatinya. Masih dalam pembahasan teknis acaranya. Tapi, insya Allah akan diadakan awal semester genap di Bulan Januari.  Target pesertanya adalah mahasiswa baru kayak kita karena 'kan lagi masa transisi dari remaja ke dewasa muda. Pasti gejolaknya lagi tinggi-tingginya." Fara menjelaskan panjang lebar.

"Oke. Nanti kabarin aku lagi, ya, kalau udah dekat hari H-nya."

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang