68. Surat Undangan

82 18 0
                                    

Jangan lupa klik tanda bintang di sudut kiri bawah sebelum membaca, ya.
Ayok, dukung cerita ini biar semakin banyak yang baca.

🌧️☔🌧️

Satu keputusan besar lain yang Raina buat adalah mengundurkan diri dari BEM. Pertama, Raina sedang tidak ingin berurusan dengan Fara. Kedua, segala sesuatu tentang BEM hanya akan mengingatkannya pada kenangan bersama Rein. Terlalu banyak kenangan mereka di sana.

Namun, ketika Raina mengutarakan niat itu kepada Julian, pemuda itu malah mengatakan hal yang membuat Raina kembali memikirkan keputusannya.

"Serius kamu mau mengundurkan diri?" tanya Julian dengan nada kecewa. Padahal ia tahu kinerja Raina baik di BEM atau pun di himpunan mahasiswa jurusan mereka.

Raina sosok yang bertanggung jawab dan bisa diandalkan dalam tugasnya. Tentu saja Julian tidak ingin kehilangan anggota tim yang menurutnya punya potensi besar seperti Raina.

"Iya, Kak."

"Kamu mengundurkan diri bukan karena Rein, 'kan?" tanya Julian lagi.

Wajah Raina seketika menjadi pucat. Apa yang pemuda itu ketahui tentang dirinya dan Rein? Apa Julian tahu tentang yang terjadi di antara mereka selama ini?

"Kenapa Kakak bisa ambil kesimpulan begitu?" tanya Raina berusaha sebisa mungkin untuk tenang.

Apa yang terjadi antara dirinya dan Rein cukuplah menjadi rahasia mereka saja. Jikalau ada orang lain yang tahu, setidaknya orang itu adalah teman dekat yang bisa dipercaya seperti Afia.

"Rein 'kan udah enggak ada di BEM lagi. Mungkin aja kamu juga jadi enggak semanget di BEM karena enggak ada dia."

Raina mengerjap gugup. Sepuluh persennya benar, sih. Namun, sisanya bukan itu alasannya.

"Bukan itu, kok, alasannya, Kak." Raina menanggapi dengan lirih.

"Beberapa hari lalu juga ada yang mengundurkan diri. Katanya mau berhenti kuliah."

"Siapa, Kak?" tanya Raina penasaran. Jangan katakan kalau orang itu Fara. Jika benar, semakin menguatkan dugaan Raina kalau sebentar lagi gadis itu akan menikah.

Menikah muda. Entah kenapa menjadi isu yang melekat di diri Fara. Mungkin karena sudah ada pengalaman dari kakaknya atau buku-buku yang dibacanya. Ah, entahlah. Perasaan Raina jadi semakin tidak enak saja.

"Jurusan Sastra Jepang. Namanya Fara. Bukannya dia satu departemen sama kamu, Rain? Dia anggota departemen hubungan luar."

Rasanya lutut Raina menjadi lemas. Benar dugaannya kalau orang itu Fara.

"Iya. Tapi, saya enggak tahu kalau dia ada rencana berhenti dari BEM, Kak. Apalagi berhenti kuliah. Dia 'kan baru semester dua."

"Jadi, kamu beneran mau berhenti juga?" Julian meyakinkan sekali lagi.

Raina berpikir lagi. Jika Fara tidak ada di BEM lagi, tidak masalah, 'kan? Raina bisa tetap berada di sana tanpa perlu menghindar-hindar lagi.

"Saya pikirkan lagi, ya, Kak."

Namun, setelahnya hati Raina menjadi tidak tenang. Bertanya-tanya sendiri kenapa Fara bisa memutuskan untuk berhenti kuliah? Lalu Raina teringat Rein yang sedang menunggu pengumuman beasiswa S2. Mungkin panggilan itu sudah datang dan setelah keduanya menikah, mereka akan ke Belanda bersama. Hati Raina kembali merasa nyeri.

Pekan lalu gadis itu berpamitan dengan seluruh penghuni kos karena akan pulang ke rumah dan tidak kos di sana lagi.

Raina ada di kamarnya, tetapi ia tidak keluar menemui Fara. Berpura-pura tidak sedang ada di kamar. Kondisi pintu kamar yang terkunci menyebabkan seluruh penghuni kos mengira jika Raina sedang berada di luar sehingga Fara melewatkan kamarnya begitu saja ketika berpamitan.

Maka Fara pun pergi tanpa berpamitan dengan Raina. Mungkin gadis itu berpamitan dengan Raina lewat pesan, tetapi nomor Fara sudah Raina blokir karena masih belum siap menerima kenyataan. Begitu juga dengan nomor Rein. Seolah ingin membuang mereka berdua dari hidupnya. Terkesan jahat dan tindakan pengecut. Namun, kondisi hati Raina jauh lebih penting untuk saat itu.

Suatu hari nanti, jika Raina sudah bisa menerima kenyataan, tidak menutup kemungkinan kalau ia akan membuka lagi pintu silaturahim di antara mereka.

"O, ya, Rain. Pekan depan Rein wisuda. Beberapa anak BEM angkatan kemarin mau dateng. Kamu mau ikut?" ujar Julian begitu Raina sudah pergi meninggalkannya beberapa langkah.

"Kak Rein? Wisuda?" tanyanya setengah melamun.

"Kalau mau ikut, kita berangkat sama-sama dari sini. Kumpul di sekretariat BEM. Hari itu mungkin terakhir kali kita bisa ketemu Rein."

"Memangnya kenapa, Kak?"

"Kamu belum denger kabarnya? Saya pikir kalian udah cukup deket untuk tahu kabar satu sama lain."

Seandainya Julian tahu kalau Raina sedang berusaha menghilangkan semua kenangan tentang Rein dan memutus kontak dengan pemuda itu.

"Kami enggak sedekat itu, kok."

"Dia mau lanjut S2 ke Belanda."

Setelah ta'aruf, Fara berhenti kuliah, Rein ke Belanda, maka yakin sudah Raina kalau memang semuanya berkaitan. Mungkin ia tinggal menunggu undangan saja.

Raina menghela napas dengan berat. Seolah sang oksigen terasa begitu enggan meninggalkan rongga pernapasannya. Seenggan Raina menerima kenyataan yang harus dihadapinya.

"Lihat nanti, ya, Kak. Takutnya saya ada jadwal lain. Kalau misal mau ikut bareng, tinggal dateng ke sekretariat BEM aja, 'kan?" ujar Raina menanggapi.

Sepanjang perjalanan pulang ke kosannya, gadis itu menatap kosong ke arah jalanan aspal yang membentang. Lalu lalang kendaraan terasa seperti debu beterbangan di sekelilingnya. Terasa nyata, tetapi samar dalam penglihatan. Pikirannya campur aduk menjadi satu.

Harapannya ketika bisa lulus kuliah di kampusnya sekarang untuk bertemu seseorang yang telah mencuri hatinya memang tercapai, tetapi kisah setelahnya tidak berakhir seperti yang diharapkan.

Seharusnya Raina sadar, konsekuensi inilah yang akan ia hadapi akibat keputusannya. Namun, menyesal tidak ada gunanya lagi saat ini. Tidak akan mampu mengubah keadaan.

Begitu tiba di depan pintu kamar kosnya, Raina terkejut melihat sebuah undangan terselip di bawah pintu kamarnya. Perlahan ia mengambil undangan berwarna hijau muda yang terbungkus plastik dan terbalut pita cokelat itu.

"Tadi Fara ke sini," ujar salah seorang teman kosnya ketika melihat Raina pulang. "Nyariin kamu. Katanya mau kasih undangan."

"Ini udah aku terima," jawab Raina lesu seraya memperlihatkan undangan yang ada di tangannya.

"Beneran enggak nyangka, dia pindah dari kosan dan pulang ke rumah karena mau nikah."

Kalimat temannya itu bagai angin lalu di telinga Raina. Setengah melamun ia membuka pintu kamar dan tidak lagi menghiraukan teman satu kosnya.

Di dalam kamar, ditatapnya undangan bertuliskan inisial nama calon pengantin dan tanggal acaranya. Inisialnya F dan R. Sudah jelas itu Fara dan Rein. Dengan perasaan yang kesal bercampur sedih, Raina lempar undangan itu ke sudut kamarnya. Lalu ia terisak sejadinya. Untuk meluapkan semua rasa sesak yang selama ini ditahannya.

Ia memang menolak Rein, tetapi ia juga manusia biasa yang tidak bisa melupakan perasaannya dalam waktu singkat. Perasaannya untuk Rein masih tetap ada dan akan tersimpan rapi entah sampai kapan. Jika ada cara kilat untuk menghilangkan perasaan itu dalam waktu singkat, Raina pasti akan mempelajarinya.

Namun, cara itu tidak pernah ada. Raina tetap harus melalui proses menyakitkan ini dan berharap seiring berjalannya waktu, ia bisa bangkit dan menyembuhkan luka yang ditinggalkan oleh proses itu seorang diri.

Di tengah isak tangisnya itu, Raina beringsut ke arah meja belajar. Membuka sebuah map yang ia simpan di sana. Mengeluarkan beberapa lembar berkas yang pernah Rein pinjamkan kepadanya tempo hari untuk keperluan mendaftar program homestay.

Raina harus mengembalikan berkas itu dan bertemu Rein untuk terakhir kalinya. Juga mengambil lagi hatinya yang sudah Rein curi. Agar tidak ada lagi penyesalan di kemudian hari.

🌧️☔🌧️




[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang