51. Obrolan Antarpria

84 17 0
                                    

"Ish, kalian ini berduaan aja. Enggak boleh tau. Harus ada batasan interaksi antara perempuan dan laki-laki." Tiba-tiba Fadil muncul dan duduk di antara Rein dan Raina.

Ucapan Fadil itu terasa menyindir Rein yang pernah memberitahunya tentang interaksi dengan lawan jenis. Rein pun terlihat kikuk. Apalagi ketika Fadil dengan usil menatap Rein sampai memiringkan kepalanya.

Suasana hati Raina jadi bertambah buruk. Dadanya sudah bergemuruh. Sementara matanya terasa penuh dengan sesuatu yang hendak tumpah. Namun, ia tidak boleh menumpahkannya di sana saat itu.

"Katanya harus menjaga pergaulan antar lawan jenis. Enggak boleh terlalu dekat." Fadil berkata lagi dengan nada sok polos.

Rein terlihat meneguk ludahnya. Sementara Raina tampak mendongakkan wajah, berusaha agar cairan yang menumpuk di matanya tidak jatuh.

"Masih ada jarak sebelum kamu datang." Rein membela diri.

"Oh, gitu." Fadil mengangguk-anggukkan kepalanya seperti anak kecil yang baru saja diberitahu sesuatu oleh orang tuanya.

"Saya juga enggak sembarangan main sentuh." Rein melanjutkan.

"Kalau sentuhannya fisik memang enggak. Saya tahu itu, Kak. Tapi, gimana kalau sentuhannya langsung ke hati? Apa itu tetap diperbolehkan?"

Rein terdiam. Ia menatap Fadil yang balas menatap tajam kepadanya. Sementara Raina sudah tidak kuat lagi menahan gejolak yang ada.

"Kamu ini ngomong apa, sih, Dil? Dateng-dateng malah ngelantur," gerutu Raina.

"Kamu juga, Rain." Kini Fadil beralih kepada Raina. Menatap gadis itu lekat dan menemukan netranya berkaca. Ia tahu Raina sedang menahan tangis.

"Aku kenapa?" tanya Raina seraya memalingkan wajahnya dari Fadil.

"Kamu ngejauhin aku, tapi kamu enggak ngejauhin Kak Rein. Kamu suka, ya, sama Kak Rein?"

"Enggak!" pekik Raina nyaris berteriak. Ia tahu reaksinya  berlebihan, tetapi hal itu refleks dilakukan sebagai bentuk pertahanan diri.

Fadil tersenyum mendengar penyangkalan Raina. Seharusnya tidak sereaktif itu jika memang tidak ada apa-apa.

"Aku enggak tahu kenapa kamu namain Kak Rein di ponsel kamu Kakak Agen Perubahan. Yang jelas, kamu memang jadi berubah setelahnya. Aku cuma bisa berharap perubahan itu ke arah yang baik."

Wajah Raina memucat tatkala Fadil membocorkan soal nama Rein di ponselnya. Raina tidak terlalu memikirkan bagaimana pemuda itu bisa tahu. Ia lebih memikirkan bagaimana reaksi Rein soal itu. Namun, reaksi pemuda itu biasa saja. Seolah sudah mengetahuinya.

Tepat ketika itu, Raina melihat sekelebatan Fara di dekat bilik suara. Sepertinya sudah selesai memberikan hak pilihnya. Ia tampak sendirian. Tidak bersama teman-teman satu jurusannya seperti yang terlihat selama ini.

Muncul ide melarikan diri di benak Raina tatkala suasana di antara mereka berubah menjadi tidak nyaman. Perasaannya yang sedang campur aduk, tidak bisa merespons kondisi sekitar dengan maksimal. Ia takut justru nanti tanpa sengaja menunjukkan perasaannya. Bisa gawat jika Rein tahu.

Maka, kemunculan Fara dalam jarak pandangnya ia jadikan alasan untuk pergi.

"Fara!" teriak Raina tiba-tiba di tengah obrolannya dengan Fadil dan Rein.

Gadis yang memakai jilbab warna hijau muda itu menoleh lalu melambaikan tangannya. Raina bergegas membalas.

"Saya duluan, ya. Ada urusan dengan Fara." Pamit Raina kemudian pergi dengan tergesa


🌧️☔🌧️

"Jadi begitu, ya, Kak? Cara mainnya langsung menyentuh ke hati?" sindir Fadil setelah Raina menjauh dari mereka. Gadis itu sudah menghilang di balik panggung ruang pertunjukan terbuka bersama Fara.

"Saya enggak ngerti maksud kamu." Rein menanggapi dengan malas. Terlihat pemuda itu hendak berdiri dan beranjak pergi.

"Enggak ngerti atau pura-pura enggak ngerti? Saya tahu, kok, Kakak ini orang yang paham sekali tentang bagaimana menjaga sikap dengan lawan jenis. Sejauh ini yang saya tahu pergaulan Kakak selalu terjaga. Enggak seperti saya ini yang sukanya colak-colek untuk cari perhatian dengan orang yang saya sukai." Fadil menatap Rein tajam.

Rein mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia memilih untuk tetap di sana. Mendengarkan segala ocehan Fadil tentang kekecewaan akan persepsinya sendiri soal pergaulan Rein dan Raina yang selama ini menurutnya selalu terjaga.

"Terus, dengan bicara begitu, apa yang kamu harapkan?" tanya Rein kemudian.

"Permainan yang adil."

Rein tertawa mendengarnya. Sebelum kemudian pasang wajah geram seraya mengepalkan kedua tangannya.

"Raina itu bukan mainan, Fadil!"

Ada nada tegas dalam ucapan Rein. Kekesalan juga begitu tampak.

"Bukankah seharusnya kalimat itu lebih cocok untuk Kakak sendiri? Kakak enggak mungkin pacaran, tapi terus kasih harapan sama Raina. Apa itu namanya bukan mempermainkan?"

"Saya jauh lebih serius dari itu. Kalau kamu suka sama Raina dengan niat hanya untuk pacaran, lebih baik berhenti dari sekarang! Raina bukan bahan untuk main-mainan begitu."

Kini giliran Fadil yang tertawa dengan keras. Merasa geli dengan ucapan Rein. Ia bahkan sampai bertepuk tangan sebagai apresiasi karena baginya ucapan Rein itu tak ubahnya seperti dialog dalam novel atau film.

"Memang Kakak siapanya Raina sampai sebegitunya mengatur hidup Raina? Enggak boleh deket sama si A, enggak boleh pacaran sama si B?" tanya Fadil di tengah tawanya.

"Saya adalah orang yang ingin menjaga Raina dengan tulus. Meskipun nanti takdir Allah berkata lain, setidaknya saya sudah menunaikan kewajiban saya sebagai sesama muslim."

Tawa Fadil berhenti. Wajahnya berubah serius.

"Tolong, Kak. Jangan bersembunyi di balik kedok agama. Mengatasnamakan kewajiban sebagai sesama muslim untuk membenarkan kelakuan Kakak. Secara fisik memang kalian menjaga jarak. Tapi, siapa yang tahu di belakang itu? Ada nomor ponsel dan aplikasi pesannya. Ada kegiatan yang sama karena berada dalam satu organisasi. Belum lagi, tempat tinggal berdekatan yang bisa aja secara kebetulan ketemu di warung makan. Juga jangan lupakan ada dua hati manusia yang memang kodratnya untuk merasakan cinta. Seperti yang Kakak bilang, godaan setan itu jauh lebih dahsyat dari yang bisa manusia kira. Inget, Kak. Allah Maha Melihat semuanya."

Kalimat panjang Fadil telah menghempaskan Rein dalam kenyataan yang begitu menyakitkan. Pemuda itu telah menamparnya dengan rangkaian kalimat kebenaran. Hanya satu hal yang tidak bisa ia terima karena pemuda itu yang mengingatkannya. Orang yang bahkan tidak bisa menjaga tangannya untuk tidak menyentuh lawan jenis.

"Kamu benar. Allah Maha Melihat dan Maha Tahu apa yang ada di dalam hati hamba-Nya. Maka dari itu, Allah juga tahu hati mana yang lebih ingin menjaga Raina."

Usai mengucapkan tiga kalimat itu, Rein pergi meninggalkan Fadil. Ia pergi dengan hati yang penuh amarah. Marah kepada diri sendiri, marah kepada nafsunya yang tidak terkendali. Marah karena ia baru menyadarinya setelah diingatkan oleh Fadil. Ia sungguh malu. Bagaimana ia harus menghadap Rabb-nya nanti?

Napas Rein memburu. Seiring dengan matanya yang mulai memanas. Cairan itu sudah mengumpul di ujung mata, siap untuk jatuh.

"Maafkan hamba-Mu yang penuh khilaf ini, Ya Allah."

Sementara Fadil hanya bisa menghela napas usai kepergian Rein. Keluar sudah semua yang dipendamnya selama ini. Ada rasa bersalah, tetapi Rein yang lebih dulu memulainya. Fadil hanya berusaha untuk mengikuti alur.

Ia bisa membaca perasaan keduanya hanya dengan melihat cara mereka berinteraksi. Ia pun tahu tidak ada harapan lagi untuknya. Namun, bolehkah ia tetap berharap? Bukankah nasib saja masih bisa berubah karena usaha manusia?


🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang