37. Nikah Muda

97 25 0
                                    

Ketika Raina tiba di rumah Fara beberapa jam lalu, orang tua Fara belum pulang. Namun, ketika mereka tiba di sore hari, keduanya sudah ada di rumah dan sedang bersantai di halaman rumah sembari menikmati secangkir teh hangat beserta camilannya. Kedatangan mereka disambut hangat.

Rein tidak datang bersama mereka. Ia berhenti dulu di masjid sekitaran sana. Katanya ingin salat berjamaah dulu di masjid baru setelahnya ke rumah Fara.

"Ini Raina yang tempo hari?" sapa ayahnya Fara.

"Iya, Pak." Raina menjawab seraya tersenyum.

Mereka mengobrol sejenak di ruang tamu. Bercerita tentang pengalaman mereka mengajar TPA di desa binaan BEM bersama Rein. Fara terlihat begitu antusias. Itulah yang menjadi salah satu sebab Raina akhirnya menyanggupi tugas itu. Semangat Fara menular ke dirinya.

Camilan sore untuk mereka pun datang, sebagai teman mengobrol yang mulai seru. Ayah Fara bertanya banyak hal, termasuk kenapa Raina memilih jurusan Ilmu Sejarah hingga pekerjaan orang tuanya yang bahkan Fara saja belum mengetahuinya.

"Ayah salah satu pegawai Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah di Jakarta. Kalau ibu, buka usaha kecil-kecilan di rumah," jawab Raina.

"Pantas kamu suka Ilmu Sejarah, ya?"

"Itu salah satunya."

Raina memang suka membaca, terutama buku-buku berbau sejarah. Banyak mendengar cerita sang ayah tentang pekerjaannya. Lalu banyak mendapat informasi jika lulusan Ilmu Sejarah bisa bekerja seperti ayahnya. Informasi itulah yang menyebabkan ia bisa berstatus sebagai mahasiswi Jurusan Ilmu Sejarah sekarang. Juga pemuda yang pernah ia lihat mengaji di bawah pohon akasia itu menjadi salah satu penyebabnya. 

Dari obrolan itu juga Raina jadi mengetahui jika ayah Fara berprofesi sebagai dosen Jurusan Antropologi Sosial di kampus mereka. Pantas saja kemarin didaulat menjadi pembicara karena tema kuliah umum yang diusung sesuai dengan bidangnya.

Tak lupa sang ayah memberi tahu Fara untuk mengajak Raina ke perpustakaan pribadi yang ada di bawah tangga, tepat di sebelah ruang kerja sang ayah.

Sekitar lima belas menit kemudian, barulah Fara berpamitan kepada ayahnya untuk membawa Raina ke kamar. Mereka akan bersiap menunaikan salat Magrib.

Begitu tiba di kamar Fara yang ada di lantai dua, Raina memperhatikan foto-foto yang ada di kamar gadis itu. Kebanyakan foto dirinya bersama teman-teman SMA. Namun, ada beberapa foto yang menarik perhatiannya. Foto Fara bersama ayah, ibu, dan kedua kakak laki-lakinya.

"Kalian tiga bersaudara?" tanya Raina penasaran.

"Iya, tapi tenang aja. Keduanya enggak ada di sini," jawab Fara seraya mengeluarkan satu lipatan gamis harian dari lemari dan menyerahkannya kepada Raina.

"Loh, mereka ke mana memangnya?" tanya Raina seraya menerima gamis itu dari tangan Fara.

"Kakak yang pertama lagi ambil S-3 di Jepang. Terus kakak kedua lagi ambil S-2 di Jogja."

"Oh." Raina mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Jangan naksir sama mereka. Udah ada yang punya semua."

Mata Raina langsung membesar karena terkejut. Memangnya siapa yang bilang Raina naksir mereka?

"Aku cuma nanya, loh. Enggak ada maksud mau jadi kakak ipar kamu," protes Raina.

Fara tertawa geli. "Bercanda, Rain. Aku cuma mau godain kamu. Soalnya beberapa temen SMA-ku yang pernah aku ajak ke sini, pada nanyain karena mereka bilang kakak-kakakku itu layak untuk dijadiin gebetan. Padahal mah, belum tahu aslinya aja mereka."

"Dan aku bukan salah satu dari mereka." Raina pun ikut tertawa. Netranya kemudian menangkap deretan buku dengan topik serupa yang ada di meja belajar Fara.

"Kalau kamu ke sininya sekitar tiga bulan yang lalu, mungkin masih ada kesempatan sama kakak keduaku. Beliau baru menikah tiga bulan lalu."

Kumandang azan di luar sana menginterupsi obrolan seru mereka. Keduanya bergegas untuk menunaikan salat Magrib.

🌧️☔🌧️


Seusai salat Magrib, mereka ke dapur untuk membantu ibunya Fara menyiapkan camilan. Akan ada beberapa tamu yang datang untuk kajian. Hal itu rutin dilakukan sekali dalam satu pekan.

"Tolong kalian antarkan minuman dan makanan ini ke ruang tamu, ya. Letakkan aja di meja. Biar nanti kalau tamunya sudah pada datang, ayah yang membagikannya."

Kedua gadis muda itu mengangguk lalu bergegas melaksanakan perintah sang ibu.

"Kajian tentang apa, Far?" tanya Raina penasaran. Ia kebagian membawa tiga piring berisi pisang goreng cokelat bertabur meses dan keju. Sementara Fara membawa satu teko teh hangat beserta cangkir dan tatakannya.

"Kajian agama, Rain. Kadang membahas soal hadis. Kadang membahas terjemahan Al-Qur'an. Kadang juga membahas sejarah Islam. Kamu tahu, enggak? Kak Rein itu salah satu murid ayahku."

Raina baru paham sekarang kenapa Rein bilang akan ke rumah Fara karena ada urusan. Jadi, karena ada kajian ini? Bukan karena urusan yang selama ini menjadi kecurigaannya akibat analisis Afia. Entah kenapa hati Raina terasa lega begitu mengetahuinya.

Tepat ketika mereka sedang meletakkan makanan dan camilan di meja ruang tamu, ayah Fara pulang bersama Rein. Rupanya mereka bertemu di masjid. Raina sempat bertemu tatap dengan pemuda itu sebelum pergi mengikuti langkah Fara untuk kembali ke dapur. Menyantap makan malam yang sudah disiapkan.

Selama makan malam, mereka banyak mengobrol dengan ibunya Fara. Dari sinilah Raina tahu bahwa ibunya Fara juga berprofesi sebagai dosen, tetapi berbeda universitas dengan mereka.

Benar-benar keluarga idaman, pikir Raina. Ayah dan ibu berprofesi sebagai pendidik. Pendidikan anak-anaknya pun tidak main-main. Bahkan sampai ada yang S-3. Meskipun berasal dari keluarga berada, Fara pun sangat ramah dan bersahabat. Begitu juga dengan orang tuanya. Jikalau boleh mengandaikan hal lain dengan kata sempurna, maka Raina ingin sekali menyematkan kata itu untuk keluarganya Fara.

Selepas makan dan mencuci piring bekas makan mereka, Fara mengajak Raina ke perpustakaan pribadi milik sang ayah. Berbagai judul buku ada di sana. Berderet dalam rak yang memanjang dari dekat pintu masuk hingga jendela di seberang ruangan.

"Ayahku bilang, beliau mengoleksi buku-buku ini dari zaman beliau masih SMA." Fara menjelaskan.

"Wah, pantesan banyak banget. Ini, sih, jumlahnya ribuan kayaknya, ya?" Raina berkata takjub. Seandainya di rumah ada perpustakaan macam begitu, Raina pasti akan betah dan tidak ada keinginan untuk keluar rumah.

"Menurut ayahku, sih, begitu." Fara berjalan ke sudut dekat jendela. Matanya terlihat mencari sesuatu.

Namun, Raina tidak terlalu memperhatikannya. Matanya terlalu takjub melihat deretan judul buku yang ditata begitu apik hingga memanjakan mata.

"Di mana, ya? Perasaan waktu itu terakhir kali di sebelah sini," gumam Fara masih mencari.

Netra Raina terfokus pada deretan judul buku yang menyita atensinya. Tidak menyangka saja ada koleksi buku bertema itu di sana.

Tanpa sadar, Raina mendekati deretan buku itu lalu mengambil salah satunya. Sebuah buku dengan tema menikah muda yang sempat menjadi tren belakangan ini sebagai salah satu solusi bagi anak muda agar tidak terjerumus dalam perzinahan. Sebuah tren yang seperti dua sisi mata uang. Ada dampak positif dan negatifnya.

"Loh, kamu tertarik nikah muda, Rain?" tanya Fara membuyarkan lamunan Raina tentang tren menikah muda.

Seketika wajah Raina terkejut. Tidak siap dengan pertanyaan Fara itu.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang