38. Sekali Ini Saja

88 24 2
                                    

"Loh, bukannya kamu, Far? Kamu pasti sering baca buku ini, 'kan? Hayo ngaku," balas Raina setelah tersadar dari rasa terkejutnya.

"Hah? Eh?" Fara jadi tergagap. Tidak siap dengan serangan balik yang dilakukan oleh Raina.

"Tuh, 'kan, mencurigakan," goda Raina lagi.

"Itu buku punya kakak pertamaku. Dia yang paling ngebet mau nikah muda, waktu zaman kuliah dulu." Fara menjelaskan agar Raina tidak salah paham.

"Serius? Nikah waktu masih kuliah?" tanya Raina dengan wajah terkejut.

"Iya, serius. Bayangin, beliau menikah semester tujuh. Belum lulus kuliah. Belum punya penghasilan tetap. Belum punya tempat tinggal. Nekat pokoknya. Sampai ayahku itu malu sama calon besannya. Mau dikasih makan apa coba anak gadis orang. Tapi, teteh iparku juga orangnya luar biasa. Waktu menikah beliau baru semester satu. Enggak mundur walaupun kakakku belum punya apa-apa. Akhirnya mereka menikah dan sekarang sudah punya dua anak. Istri dan anaknya ikut diboyong ke Jepang." Fara melanjutkan penjelasannya.

"Jadi, itu sebabnya kamu pilih Sastra Jepang ketimbang Ilmu Sejarah yang disarankan ayah kamu?" Raina menanggapi.

"Itu salah satunya. Selain karena pengen banget bisa ke Jepang, di sana ada kakak aku yang bisa jagain. Beliau 'kan sudah dapat kerjaan tetap di sana. Semua biaya S3-nya ditanggung oleh kantor tempatnya kerja."

"Wah," gumam Raina kagum.

Sempat terlintas keinginan itu juga di hati Raina. Menjelajahi bumi Allah yang lain. Namun, kondisinya apa memungkinkan?

Terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya dan tidak punya saudara atau pun kenalan di luar negeri sana. Ketika mengutarakan niat untuk kuliah di Bandung tempo hari saja, harus melewati perdebatan sengit. Orang tuanya bertanya-tanya kenapa dari sekian banyak universitas bagus di Jakarta, Raina justru memilih Bandung? Pada akhirnya Raina berhasil meyakinkan keduanya untuk memberinya izin kuliah di Bandung.

"Aku berpikir enggak ada salahnya nikah muda. Bukan hanya soal usia atau kematangan finansial yang dibutuhkan, tetapi ilmunya itu yang jauh lebih penting. Jika finansial mapan dan usia sudah matang, tetapi tidak punya ilmu untuk menjalani rumah tangga, akan percuma juga menurutku." Fara mengemukakan pandangannya soal nikah muda.

"Bener juga, ilmunya itu yang paling penting," timpal Raina.

"Jadi, kamu juga ada rencana nikah muda?" Fara menatap Raina seraya menaikturunkan alisnya.

"Aku 'kan enggak bilang gitu," protes Raina seraya meletakkan kembali buku yang ia pegang ke tempatnya semula.

"Iya juga enggak apa-apa." Fara tertawa geli.

Saat itu pintu ruang perpustakaan pribadi terbuka. Muncul ayahnya Fara di ambang pintu.

"Maaf, ya, ganggu kalian ngobrol," ujar sang ayah.

"Eh, kenapa, Yah?" tanya Fara ketika sang ayah berjalan ke arah mereka lalu tangannya terjulur untuk mengambil buku yang tadi dipegang Raina.

"Ada yang mau pinjam buku," jawab sang ayah lagi.

"Ada yang mau nikah? Siapa?" tanya Fara antusias.

"Hush, enggak perlu tahu. Bukan urusan kamu." Sang ayah menjawab seraya memukul pelan kepala putrinya dengan buku yang ia pegang.

Fara langsung pasang wajah manyun sembari mengelus-elus bagian kepala yang baru saja dipukul oleh ayahnya. Setelah itu ayah Fara pun kembali ke ruang tamu. Menyisakan tanya dalam hati Raina. Seperti halnya Fara, ia pun penasaran siapa yang sudah ada rencana untuk menikah? Lalu otaknya mengingat sebuah nama. Sosok yang tadi ia lihat datang bersama ayahnya Fara. Mungkinkah pemuda itu?

🌧️☔🌧️


Tidak setiap hari Raina dan Fara mengajar TPA di desa binaan. Mereka bergantian dengan pengurus BEM lain yang kebetulan bisa membantu. Jadi, Rein telah membuat jadwalnya.
Raina selalu bersama Fara hingga Raina tidak perlu khawatir soal kendaraan. Fara akan selalu membawa scoppy-nya. Namun, tidak setiap jadwal mengajar mereka menginap di rumah Fara. Ada kalanya mereka langsung pulang ke Bandung sore itu juga menggunakan bus. Tidak jarang pula Fara membawa scoopy-nya ke kosan.

Masalah muncul ketika Fara berhalangan untuk mengajar karena ada agenda lain yang tidak bisa ditinggalkan. Seperti ada perubahan jadwal mata kuliah yang mendadak sehingga Fara baru menyelesaikan jam kuliahnya setelah Asar.

Seperti hari itu, Fara memberi tahu Raina bahwa ia tidak bisa ikut mengajar karena harus mengerjakan tugas kelompok. Raina bisa apa? Ia tidak bisa memaksa Fara untuk selalu bisa menemaninya.

Maka dengan perasaan yang campur aduk Raina pergi mengajar seorang diri tanpa Fara. Ia berpikir, toh, nanti ada Rein yang membantunya walaupun mereka tidak pergi bersama.

Jika harus naik bus seorang diri, Raina tidak begitu masalah. Yang membuatnya sedikit gelisah adalah ketika harus naik ojek ke lokasi. Ia belum pernah berboncengan motor dengan orang asing. Namun, semua perasaan tidak enak itu harus ditepisnya. Ia luruskan kembali niatnya melakukan ini untuk mencari pahala dan berdoa agar langkahnya diberi keringanan.

Semuanya pun berjalan lancar sampai Raina tiba di musala. Ia selalu mengusahakan datang sebelum azan Asar sehingga bisa menunaikan salat Asar berjamaah. Anak-anak pun demikian agar setelah menunaikan salat, mereka bisa langsung mulai mengaji. Itu cara agar mereka selesai tidak terlalu sore.

Begitu Raina tiba, sudah ada Rein di sana. Sedang mengaji seorang diri di musala dan duduk agak membelakangi pintu masuk musala. Membuat tulisan di belakang jaket yang dipakainya terlihat separuh. Raina mengenali jaket itu.

Dada Raina kembali bergemuruh. Matanya berkaca melihat pemandangan itu. Seolah nyata seperti yang ia lihat beberapa tahun lalu. Penampilan dan posisi yang sama persis pernah ia lihat sebelum ini. Yang membedakan hanya suasana sekitar. Jika dulu ia melihatnya di bawah pohon dengan tiupan angin sepoi-sepoi, kini ia melihatnya di salam musala yang terasa sejuk. Kali itu juga ia bisa mendengar suara merdu Rein ketika mengaji.

Ya Allah, sebentar saja. Izinkan hamba menikmati keindahan makhluk ciptaan-Mu. Sekali ini saja. Pinta Raina di dalam hati.

Untuk sejenak dunia Raina terasa lambat berputar. Hanya ada dirinya dan Rein saat itu. Dihiasi oleh suara merdu alunan ayat suci Al-Qur'an. Raina tidak ingin semuanya cepat berakhir. Namun, seperti ada suara lain dalam hatinya yang terdengar begitu kuat menggema.

"Memandangi lawan jenis dengan hasrat yang belum halal itu dosa, Rain."

Cepat gadis itu tersadar lalu beristigfar dalam hati.

"Assalamu'alaikum." Raina mengucap salam dan seketika Rein menghentikan bacaan Al-Qur'annya. Ia menjawab salam Raina seraya menoleh sebentar. Pemuda itu celingukan setelahnya.

"Kamu dateng sendiri?" tanya Rein ketika tidak menemukan Fara bersama Raina.

"Iya, Kak. Fara ada urusan jadi enggak bisa ikut ngajar hari ini," jawab Raina sambil tertunduk. Tidak berani lagi melihat wajah Rein khawatir khilaf seperti tadi.

Suasana hening. Rein tidak bertanya lagi. Raina pun berusaha untuk tidak acuh. Beranggapan bahwa mereka hanyalah dua orang asing yang kebetulan saling kenal. Tidak lebih.

Beberapa saat kemudian, terdengar pengeras suara dinyalakan. Raina tahu Rein sedang bersiap untuk mengumandangkan azan Asar.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang