50. Patah Hati

91 20 4
                                    

Suasana pencalonan ketua BEM yang baru semakin memanas. Kampanye yang sudah digelar sejak sebulan lalu kini mencapai puncaknya. Seluruh warga Fakultas Ilmu Budaya berbondong-bondong menggunakan hak pilihnya.

Begitu juga Raina dan Afia. Seusai ujian mata kuliah pengantar ilmu sejarah, mereka langsung ke stan pemilihan yang diadakan di dekat ruang pertunjukan terbuka. Sesekali Afia merutuki kesalahannya menjawab salah satu soal.

"Padahal tadi aku udah mau jawab kalau bukunya Clifford Geertz yang The Social History of an Indonesian Town sebagai salah satu contoh tulisan yang menggunakan pendekatan sejarah untuk antropologi. Tapi, aku ganti jadi demografi soalnya 'kan dia bahas juga soal pendirian kota yang ditelitinya baru dibuka bersamaan dengan pembukaan perkebunan. Aku pikir fokusnya ke sana."

"Wajarlah, Fi. Kita 'kan belum pernah baca bukunya secara lengkap. Baru pernah tahu sedikit pembahasannya di bab sejarah dan ilmu-ilmu sosial. Mana kita tahu buku itu fokusnya ke mana. Ya sudahlah, udah selesai juga ujiannya."

Raina menghela napas karena jawabannya juga salah. Ia malah menjawab buku itu contoh pendekatan sejarah untuk sosial ekonomi karena ada juga pembahasan soal perusahaan pertanian.

Ketika mereka tiba di tempat pemungutan suara, mereka berpapasan dengan Rein di sana. Pemuda itu langsung tersenyum begitu melihat Raina.

"Ciye, disenyumin sama makhluk es batu yang udah mencair esnya jadi es krim. Manis banget," ledek Afia dengan suara berbisik.

Usai membalas senyum itu, Raina mencubit pelan lengan Afia dengan gemas.

"Ngeledeknya nanti aja, bisa enggak? Kalau enggak ada orangnya," ujar Raina dengan suara yang berbisik.

Afia hanya tertawa kecil mendengarnya. Mereka pun segera mendaftarkan diri untuk mendapat surat suara. Ada tiga kandidat calon ketua BEM kali ini. Salah satunya adalah jurusan Sastra Jepang yang menurut kabar beredar baru kembali dari Jepang usai mengikuti program homestay selama satu tahun di sana.

Raina jadi teringat kembali dengan formulir yang sudah ia dapatkan dari program itu. Sama sekali belum ia sentuh lagi. Ia juga belum menemukan saat yang tepat untuk bercerita kepada ayah dan bundanya. Rencananya ketika pulang liburan semester nanti baru Raina akan membahasnya di rumah.

Satu hal yang mencengangkan lagi ketika di detik-detik terakhir pendaftaran calon ketua BEM tempo hari, nama Julian masuk dalam kandidatnya. Raina masih ingat ketika tim sukses Julian---salah satunya adalah Fadil---meminta kartu tanda mahasiswa satu angkatan mereka sebagai bentuk dukungan.

Bisa ditebak, siapa pilihan Raina dan Afia pada pemilu ketua BEM kali ini. Meskipun Afia masih kesal karena Julian sudah tidak jomlo lagi, tetapi untuk urusan dukung mendukung begitu, ia tetap menjadi penggemar setia yang nomor satu. Ia bahkan sempat protes dengan Fadil dan teman-temannya kenapa tidak mengajak dirinya masuk dalam jajaran tim sukses.

Fadil yang memang musuh bebuyutan Afia, menjawab dengan entengnya. "Rusuh kalau ada elo, mah, Fi. Bukannya jadi ajang dukungan, malah jadi ajang fangirl."

Raina masih ingat bagaimana hari itu Afia mencak-mencak dengan begitu kesal. Bahkan ingin melumat Fadil jadi adonan perkedel.

Usai keluar dari bilik suara, Afia memisahkan diri dari Raina karena Danish memanggilnya. Entah ada urusan apa. Mungkin soal perekrutan anggota BEM atau soal laporan pertanggungjawaban.

Raina yang masih belum ingin pulang, duduk di salah satu undakan semen yang ada di ruang pertunjukan terbuka. Dari sana, ia bisa melihat jelas panggung pertunjukan yang digunakan sebagai lokasi bilik suara. Seseorang mendekatinya dan lalu duduk dengan mengambil jarak satu setengah meter di sisi kanan.

"Akhir pekan ini kita laporan pertanggungjawaban." Rein membuka percakapan di antara mereka.

"Gimana, Kak, rasanya mau ninggalin BEM?" tanya Raina menanggapi. Kepengurusan kali ini adalah kepengurusan terakhir Rein di BEM, sebelum ia benar-benar fokus dengan skripsinya.

"Enggak gimana, gimana," jawabnya santai.

"Selama beberapa tahun ada di dalamnya, pasti punya banyak kesan dan kenangan yang mendalam. Enggak sedih, gitu, Kak?"

"Sedih ada, tapi enggak sampai pingin nangis terus jadi berat ninggalin BEM."

Tatapan Rein menerawang jauh ke arah bilik suara yang begitu ramai dipenuhi oleh warga FIB. Raina pun memberanikan diri menoleh ke arah Rein. Berusaha menahan debar jantungnya yang terasa ingin berlari.

"Apa rahasianya bisa seikhlas itu, Kak?" tanya Raina netra yang berfokus ke wajah Rein. Pemuda itu tersenyum mendengar pertanyaan Raina lalu menoleh.

"Yakin bahwa semua yang lagi kita jalani adalah bagian dari proses kehidupan. Datang dan pergi. Ada dan tidak ada. Lahir dan mati. Semua udah ada yang mengatur. Kita siapin aja ruang hati seluas yang kita mampu untuk menerima semuanya dengan lapang. Sedih, kecewa, dan perasaan negatif lainnya itu wajar dan enggak apa-apa kita rasain. Itu manusiawi. Dari sana 'kan kita belajar tentang makna kebalikannya. Ketika kita sedih, kita jadi tahu betapa nikmatnya bahagia. Ketika kita lagi kehilangan, kita jadi tahu betapa berharganya sesuatu yang hilang itu untuk kita. Ketika kita gagal, kita jadi tahu betapa memuaskannya kata sukses itu."

Terlihat binaran kagum di mata Raina ketika ia menatap Rein. Baru kali ini mereka mengobrol secara intens dan Raina jadi tahu pola pikir Rein seperti apa.

Sebelum rasa kagum itu tumbuh semakin menjadi, Raina segera mengalihkan tatapannya ke arah lain. Tatapan mata Rein barusan telah membuat jantungnya tidak baik-baik saja.

"Kamu sendiri, apa udah punya rencana ke depannya? O, ya. Program homestay yang tempo hari gimana?" tanya Rein antusias.

"Saya enggak pernah buat rencana hidup kayak yang Kakak lakukan," jawab Reina teringat dengan obrolan Rein bersama seniornya di kantin dekat masjid kampus tempo hari. Saat Rein ditanya kenapa ingin cepat lulus.

"Termasuk kuliah di kampus ini?"

"Kalau itu lain ceritanya. Ada sebabnya kenapa saya bisa ada di sini sekarang dengan kondisi yang seperti ini. Tapi, memang saya enggak pernah merencanakan secara spesifik kayak Kakak mau lulus kuliah tiga setengah tahun."

Terlihat Rein tersenyum lebar. "Seberapa banyak kamu denger pembicaraan kami waktu itu?"

"Ah, itu ... enggak sengaja, Kak," jawab Raina kikuk. Ia merasa malu karena sudah ketahuan mencuri dengar.

"Sebenernya apa yang mereka sangka itu enggak sepenuhnya salah."

"Maksud Kakak?" tanya Raina bingung.

"Soal ingin menikah."

Jantung Raina kembali tidak baik-baik saja. Rasanya kali ini hingga melorot ke lambung. Menekan ulu hati. Sakit.

"Oh. Sudah ada calonnya, Kak?" tanya Raina dengan mulut yang kelu. Tidak menyangka jika obrolan mereka akan berakhir di hal menyakitkan seperti itu.

Rasanya seperti sedang dibawa terbang tinggi, kemudian dijatuhkan tiba-tiba hingga amblas ke dalam tanah.

"Sudah."

Kini tak hanya ulu hatinya yang nyeri, tetapi dadanya juga sesak. Apakah ini yang namanya patah hati? Inikah yang diceritakan Fadil tempo hari? Beginikah rasanya? Jika sebegini sakitnya, bolehkah Raina  menginginkan obat yang juga diinginkan Fadil?

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang