39. Diantar Pulang

82 23 0
                                    

Jika menuju lokasi banyak terdapat tukang ojek di pangkalan, berbeda halnya jika hendak ke jalan raya tempat rute angkot dan bus berada. Tidak ada pangkalan ojek di sekitar musala tempat mereka mengajar. Raina tidak memperhitungkan kemungkinan itu karena selama ini selalu menumpang scoopy Fara.

Sore itu mereka selesai mengajar lebih lambat dari biasanya. Jelas saja terlambat karena tenaga pengajarnya berkurang satu. Hingga nyaris pukul setengah enam sore musala berangsur sepi.

Dengan langkah terburu Raina meninggalkan musala. Jikalau ia harus menghadapi kemungkinan terburuk tidak mendapat ojek, ia berharap bisa sampai ke tempat pemberhentian angkot sebelum Magrib.

Sekitar lima menit berjalan, Raina tidak juga menemukan tukang ojek yang lewat. Kalau pun ada yang lewat, sudah ada penumpangnya. Raina semakin membulatkan tekadnya untuk berjalan kaki.

Tak lama, Rein lewat di samping Raina bersama sepeda motornya. Pemuda itu sama sekali tidak berhenti sekadar menawarkan tumpangan. Raina tidak kesal atau marah. Ia paham kenapa Rein melakukan hal itu. Tidak mungkin mereka berboncengan dalam satu motor.

Jika Rein menawarkan tumpangan pun, Raina tidak akan mau. Ia juga paham hukum berboncengan dengan lawan jenis yang belum halal seperti apa. Apalagi jantung Raina akan tidak baik-baik saja jika melihat Rein mengenakan jaket itu. Tadi saja ia sampai tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Raina menoleh ketika ada sepeda motor yang berhenti di sampingnya. Seketika ia menghentikan langkah. Terkejut ketika mengetahui pengendara motor itu adalah Rein.

"Kak Rein?" gumam Raina canggung.

"Ayo naik," ujarnya seraya memindahkan tas ransel yang semula ia pakai di depan untuk menghalau dadanya dari serangan angin. Tas itu ia pakai di belakang agar ketika Raina duduk di belakangnya, mereka tidak bersentuhan secara langsung.

"Saya jalan aja, Kak. Kalau agak kebut, mungkin nanti sampai di jalan raya pas azan Magrib." Sesuai rencana awal, Raina menolak tawaran itu.

"Kamu bercanda?" tanya Rein seraya menatap Raina serius. Tanpa senyum sama sekali. Aura koordinator tim disiplinnya seolah kembali.

"Enggak, Kak," jawab Raina tegas.

"Pakai motor aja butuh waktu lima belas menit. Apalagi jalan kaki. Kamu sampai ke jalan raya itu sudah lewat Magrib. Belum nunggu angkot atau busnya. Kamu mau kemalaman di jalan?"

"Ya, mau gimana lagi? Memang begini kondisinya," ujar Raina pasrah.

"Dan kamu mau membuat saya merasa bersalah karena sudah menyeret kamu ke situasi ini?"

"Saya enggak ada niatan gitu, Kak. Tapi, kalau Kakak merasa begitu, ya, saya bisa apa. Udah, ya, Kak. Saya mau jalan lagi. Keburu Magrib." Raina melengos lalu meninggalkan Rein.

Rein bersikeras. Ia kembali menyusul Raina dan berhenti di sebelahnya.

"Naik!" perintahnya tanpa basa-basi lagi.

"Kok, Kakak maksa, sih?" protes Raina.

"Ini kondisi darurat. Lebih berbahaya lagi kalau cewek jalan sendirian di hari yang sudah gelap. Saya enggak ada niatan jahat sama kamu." Rein meyakinkan.

Raina terdiam. Tekad tak ingin menerima tawaran Rein mulai goyah. Apalagi melihat kesungguhan Rein dan tatap khawatir yang terpancar dari matanya.

"Bener, enggak apa-apa?" tanya Raina masih bimbang. Seolah pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya sendiri.

"Kalau kamu masih keras kepala, saya jadi beneran pengen nyulik kamu."

Raina menoleh ke arah lain. Berusaha menyembunyikan senyumnya yang perlahan muncul. Untuk apa Rein menculiknya? Bisa dipastikan pemuda itu akan pusing tujuh keliling karena harus meladeni Raina memperdebatkan hal-hal kecil yang tidak penting.

Perlahan Raina naik ke motor. Ia duduk menyamping. Wajahnya masih menyunggingkan senyum. Tidak menyadari jika Rein bisa melihat senyum itu dari kaca spion. Tanpa sadar, pemuda itu pun ikut tersenyum dari balik kaca helmnya.

Selama beberapa menit pertama perjalanan mereka dihiasi oleh kesunyian. Rein fokus dengan jalanan di hadapannya, sementara Raina fokus dengan pemandangan yang mereka lalui. Ada pemandangan perumahan penduduk nun jauh di sana yang lampunya mulai bekerlipan. Ada hamparan kebun-kebun singkong dan jagung di pinggiran jalan desa. Ada juga hamparan sawah yang padinya baru saja dipanen.

Sesekali Raina tampak memejamkan mata menikmati terpaan angin dingin yang menerpa wajah. Sesekali juga ia tersenyum ketika melihat pemandangan yang memanjakan matanya. Semua ekspresi itu dinikmati Rein melalui kaca spion.

Ketika Raina menoleh ke arah spion, pemuda itu cepat-cepat mengalihkan tatapannya ke sembarang arah. Disertai dengan degupan jantung yang iramanya berkali lipat dari biasanya.

Suasana menjelang Magrib membuat udaranya terasa semakin dingin. Raina lupa tidak membawa jaket sehingga ia harus menahan terpaan angin ketika menyapa tubuhnya. Untung laju motor Rein tidak terlalu kencang. Raina menyadari, jalan mereka terlalu pelan. Namun, saat hendak protes, Rein keburu angkat bicara.

"Kamu lihat sendiri, 'kan, daerah ini punya potensi besar dari hasil alamnya. Tapi, letaknya yang jauh dari ibu kota kabupaten, membuat daerah ini agak tertinggal dari daerah yang lain dari segi pembangunan." Rein membuka percakapan di antara mereka.

"Saya pikir daerah ini masih masuk wilayah administratif Kota Bandung." Raina menanggapi.

"Enggak. Ini udah masuk wilayah kabupaten. Cuma, letaknya di perbatasan."

"Oh."

Mereka terdiam lagi. Tidak menemukan topik untuk diobrolkan.

"Kak, saya mau tanya, boleh?" tanya Raina memberanikan diri beberapa menit kemudian.

"Ya?"

"Apa Kakak pernah duduk di bawah pohon akasia dekat masjid fakultas pakai jaket yang sekarang Kakak pakai?"

Rein terdiam. Coba menggali lagi dalam ruang memori di otaknya. Dulu ia memang sering menghabiskan waktu di tempat itu untuk menyelesaikan target bacaan Al-Qur'annya satu juz setiap hari. Ia melakukannya di sela-sela jam antar mata kuliah, atau ketika menunggu rapat BEM.

"Kenapa memangnya?" tanya Rein keheranan.

"Cuma mau meyakinkan satu hal. Pernah enggak, Kak?" tanya Raina lagi.

"Dulu cukup sering," jawab Rein seraya menatap kaca spion lagi kerena penasaran dengan reaksi Raina atas jawabannya.

"Bener berarti," gumam Raina seraya tersenyum. Suaranya memang tidak terdengar, tetapi Rein bisa menangkap gerak bibir dan senyum itu.

"Saya anter sampai kosan, ya." Rein berkata lagi setelahnya.

Terlihat wajah terkejut Raina. Itu artinya mereka akan berboncengan seperti itu dalam waktu yang lebih lama. Apa kabar jantung Raina di dalam sana?

"Enggak usah, Kak. Cukup sampai tempat pemberhentian angkot aja." Raina kembali menolak. Hari sudah menjelang Magrib begitu bus ke arah Bandung sudah tidak beroperasi lagi. Jadi, jalan satu-satunya adalah dengan naik angkutan kota yang akan mampir di terminal Cicaheum terlebih dahulu.

"Hari gini bus udah enggak ada."

"Iya, Kak. Saya tahu. Makanya saya naik angkot aja."

"Mampir ke terminal dulu?"

"Ya, mau gimana lagi. Kecuali saya punya angkot pribadi."

"Enggak. Saya anter aja. Kita nanti berhenti sebentar salat Magrib."

"Saya enggak enak." Raina berkata ragu.

"Terminal itu daerah rawan, Raina. Enggak baik seorang gadis di tempat begitu malam-malam, sendirian lagi. Saya akan merasa bersalah kalau terjadi apa-apa sama kamu sepulang dari kegiatan ini." Rein berkata tegas.

Ada getar tak kasat mata yang Raina rasakan usai mendengar kalimat Rein barusan. Pemuda itu mengkhawatirkannya. Meskipun Raina sadar jika itu hanya sebagai wujud tanggung jawab seorang kepala departemen terhadap staf di bawahnya, tetapi sikap Rein itu telah menumbuhkan satu lagi benih perasaan asing dalam hati Raina.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang