01. Handuk Ingus

841 121 90
                                    

Matahari masih belum menampakkan dirinya dengan sempurna. Membuat udara di pagi hari yang penuh kabut itu terasa dingin menusuk tulang. Namun, kondisi itu tidak menghalangi aktivitas di kampus yang sekarang sedang ramai dipadati oleh segerombolan manusia berseragam putih abu-abu dengan segala macam atribut aneh khas ospek.

Raina Azura, berada di antara mereka. Memakai topi dari kertas karton berbentuk kerucut layaknya topi penyihir. Dengan tanda pengenal besar yang terbuat dari karton di bagian dada bertuliskan nama diri, nama kelompok, dan pasfoto hitam putih berukuran 4x6. Juga pita berwarna biru langit sebagai lambang warna Fakultas Ilmu Budaya menjadi penghias di sebelah kanan dan kiri kepalanya yang terbalut kerudung putih.

Gadis itu sudah bersin-bersin sejak tadi. Hidungnya seperti tertusuk oleh udara dingin hingga memerah dan berair. Selain itu, beberapa hari ini ia memang sedang flu akibat perbedaan cuaca yang mencolok antara Kota Bandung dan kota tempat asalnya.

Ketika ia tiba di pelataran gedung kantor dekan, sudah banyak rekan-rekan seperjuangannya yang berkumpul. Sembari sesekali menyeka cairan kental yang keluar dari hidungnya dengan handuk kecil, Raina menghampiri Afia. Teman pertamanya sejak menginjakkan kaki di kampus pekan lalu. Gadis ceria itu tiba-tiba menghampirinya dan mengajaknya berkenalan.

"Hidung kamu merah banget, loh, Rain," ujarnya khawatir.

"Iya, nih. Aku lagi kena flu akut," sahut Raina yang kemudian kembali bersin. Ujung hidungnya semakin memerah.

"Izin aja sama tim medis," usul Afia iba.

"Dan jadi bulan-bulanannya tim disiplin?" Raina tersenyum simpul. "Enggak, deh, aku gak mau cari masalah di masa pengenalan kampus. Kamu tahu, kan, di masa-masa kayak gini rentan banget dicari-cari kesalahannya. Lagian cuma flu doang. Enggak akan buat mereka kasian sama aku."

Ini hari ketiga mereka menjalani ospek tingkat fakultas. Mereka dikelompokkan tidak berdasarkan jurusan, melainkan dikelompokkan secara acak. Beruntung Raina bisa sekelompok dengan Afia yang sudah dikenalnya sejak hari pertama ospek sebagai teman satu jurusan.

Selang beberapa belas menit kemudian, acara apel pagi pun dimulai. Setelah pembukaan dan sedikit pengarahan dari panitia acara, koordinator tim disiplin memasuki lapangan. Mereka sudah hafal betul apa yang akan terjadi setelahnya.

"Tundukkan kepala kalian!" Sang koordinator berwajah seperti dementor penghisap kebahagiaan itu memberi komando. Segera saja suara teriakan dari arah belakang terdengar bersahutan.

Para pasukan tim disiplin yang wajahnya tidak pernah tersenyum itu pun berkeliling mencari mangsa.

"Tunduk!"

"Tunduk semua!"

"Tunduk yang bener!"

"Jangan manja, ya. Nunduk aja enggak bisa!"

"Tunduk!"

Tidak ada yang berani menantang. Semua mahasiswa baru yang berjumlah ratusan itu serentak menundukkan kepalanya. Bertanya-tanya dalam hati entah apa lagi yang akan menjadi bahan untuk mencari kesalahan kali ini.

"Keluarkan semua isi tas kalian!" teriak sang komandan lagi.

Serentak ratusan pasang tangan membuka tasnya sendiri dan menjatuhkan seluruh isinya ke lantai yang dilapisi batako itu. Barang-barang berserakan. Ada yang tercampur dengan milik teman di sebelahnya. Ada yang mental entah ke mana. Ada juga yang tidak kunjung keluar dari tas karena menyangkut.

"Aduh, ponsel aku!" pekik salah satu gadis dari kelompok lain yang berbaris di sebelah Raina. Secara sengaja salah satu panitia membuka tasnya secara paksa karena gadis itu telat mengikuti komando.

"Bawa ponsel?!" sentak tim disiplin. Salah satu benda yang sangat dilarang untuk dibawa saat ospek. Terang saja tanda pengenal gadis itu langsung disita dan mau tidak mau ia mengikuti sang kakak panitia tim disiplin menjauh dari barisan.

"Udah dibilang, jangan bawa barang selain yang disuruh sama panitia!" teriak seorang tim disiplin perempuan yang berjalan di sela barisan dekat kelompok Raina.

"Tim disiplin, cek semuanya. Kalau ada barang yang enggak disuruh panitia untuk dibawa, langsung eksekusi!" Terdengar suara lantang sang koordinator kembali menggema.

Sosok dingin tanpa senyum itu pun mulai ikut berkeliling memeriksa barang bawaan para mahasiswa baru yang sudah berserakan tak tentu arah.

"Rain, handuk kecil kamu," bisik Afia yang berbaris di samping Raina.

"Mosok diambil, sih? Aku, 'kan lagi pilek, Fi."

"Tapi, itu, 'kan gak ada di daftar yang disuruh sama panitia."

Raina sempat berpikir sejenak untuk menyembunyikan handuk yang sudah penuh dengan ingusnya itu. Namun, ia kalah cepat dengan seseorang yang kini berjongkok di hadapannya. Dari postur tubuhnya ia tahu kalau orang itu adalah koordinator tim disiplin.

Tangan pemuda itu bergerak mengambil handuk yang sudah penuh dengan ingus kering Raina. Ia menjepitnya dengan ibu jari dan telunjuk seolah benda yang sedang ia pegang itu adalah benda yang menjijikkan.

Please deh, cuma handuk untuk bersihin ingus mau disita juga? Untuk apa coba?

Pemuda itu mendongakkan wajahnya. Netra mereka bertemu. Tatapan tajamnya seperti mampu menembus dinding pertahanan Raina. Seketika aura di sekeliling mereka menjadi dingin. Teriakan-teriakan di sekitar mereka terdengar semakin membuat horor suasana.

Ternyata benar rumor yang Raina dengar tentang sosok koordinator tim disiplin itu. Wajah jutek dengan rahang keras. Tatapan mata tajam di bawah naungan alis yang tebal. Aura dementor penyedot kebahagiaannya sangat terasa. Cocok sudah. Pantas saja jadi koordinator tim disiplin.

"Apa ini?" tanyanya dengan suara dingin yang terdengar rendah dan dalam. Membuat orang yang mendengarnya jadi merinding sendiri.

"Handuk, Kak," jawab Raina berusaha setenang mungkin.

Tanpa berkata apa-apa lagi, pemuda itu mengambil tanda pengenal Raina. Ia bahkan tidak bertanya dulu handuk kecil itu untuk apa. Walaupun sebenarnya tidak usah bertanya juga seharusnya ia sudah mengerti. Toh tadi ia sempat mengernyit juga tatkala jemarinya yang panjang itu dengan jijik memegang handuk penuh ingus milik Raina.

"Itu cuma untuk bersihin ingus, loh, Kak." Raina masih berusaha membela diri saat Rein beranjak dan berjalan di sebelahnya.

Tak ada respons apa pun dari makhluk dingin bak patung lilin itu. Namun, tatapan matanya mampu menjelaskan semuanya kalau Raina harus segera ke barisan mahasiwa bermasalah atau ia akan menanggung konsekuensi yang lebih berat.

Raina menyerah. Ia tidak mau memperpanjang masalah. Mau membela diri seperti apa juga ia tetap salah karena barang itu memang tidak ada di daftar barang yang diperintahkan oleh panitia untuk dibawa. Ia harus jadi orang yang bertanggung jawab dengan kesalahannya 'kan?

"Rain," bisik Afia ketika Raina hendak beranjak pergi.

"Sst, enggak apa-apa." Raina berusaha menenangkan temannya yang tampak khawatir itu.

Setelah melirik sekilas ke arah Afia yang merasa iba kepadanya, akhirnya Raina keluar barisan dan bergabung bersama rekan-rekan lain yang bernasib sama dengannya. Entah apa yang akan terjadi kepadanya setelah ini.

Satu hal yang pasti, Raina akan mendapatkan hukuman atas kesalahan yang tidak sengaja diperbuatnya. Ia sudah siap menjadi korban bulan-bulanan tim disiplin untuk seharian ini.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang