32. Sengatan Aneh di Hati

76 22 0
                                    

Hari diadakannya acara kuliah umum akhirnya tiba. Acara itu bertema, "Menciptakan Manusia Berbudaya di Era Milenial."

Dalam acara itu akan terdapat dua sesi penyampaian materi oleh dua pemateri yang berbeda. Sesi pertama akan membahas manusia berbudaya dari perspektif spiritual, sementara sesi kedua akan membahas manusia berbudaya dari pendekatan ilmu sosial.

Kurang dari satu hari pelaksanaan acara, mereka berhasil menyelesaikan persoalan tempat. Rencana awal, mereka hendak menggunakan gedung aula FIB yang pernah digunakan sebagai tempat diselenggarakannya acara ospek pengenalan fakultas tempo hari. Namun, karena gedung itu ternyata dipakai di waktu yang bersamaan oleh pihak lain, pada akhirnya acara seminar dialihkan ke ruang aula perkuliahan yang ada di gedung B.

Mendapatkan perizinan tempat itu pun bukan perkara mudah. Pasalnya ketika acara itu berlangsung, aula hendak digunakan juga oleh Jurusan Sastra Inggris untuk kuliah umum rutin yang diadakan oleh himpunan mereka.

Untungnya, di saat-saat terakhir Rein berhasil meyakinkan ketua himpunan mahasiswa Sastra Inggris untuk bertukar tempat, walaupun awalnya terjadi perdebatan alot di antara mereka.

Pihak Sastra Inggris bersikeras bahwa mereka telah lebih dulu mendapat izin menggunakan aula. Jika pindah ke tempat lain, akan sulit untuk menyesuaikan dengan seluruh peserta. Sebagai informasi, satu angkatan di Sastra Inggris itu bisa berjumlah tiga sampai lima kelas yang setiap kelasnya terdiri dari lima puluhan orang.

Rein memberi masukan jika mereka bisa membagi acaranya dalam dua sesi. Sehingga bisa memakai ruang auditorium di gedung C. Bukan bermaksud meremehkan acara mereka, tetapi sebagai perbandingan Rein menjelaskan bahwa acara Sastra Inggris diadakan untuk kalangan mereka sendiri. Sementara acara BEM akan dihadiri oleh perwakilan BEM seluruh fakultas yang ada di kampus. Mau tidak mau akan mempengaruhi citra fakultas mereka di mata fakultas lain.

Ketua himpunan mahasiswa Sastra Inggris pun paham maksud Rein. Pada akhirnya ia mengalah demi nama baik fakultas mereka.

"Rein itu memang jagonya negosiasi. Orangnya selalu fokus sama solusi setiap ada masalah. Makanya dia cocok untuk departemen hubungan luar," komentar Ghatan yang sempat Raina dengar ketika mereka dapat kabar gembira itu.

Perlahan tetapi pasti, mulai muncul rasa kagum di hati Raina terhadap sosok Rein. Terutama ketenangan sikapnya ketika menghadapi masalah dan pilihan alternatif solusi yang selalu ia tekankan dalam setiap penyelesaian. Jika Luthfi sibuk menyalahkan dirinya yang tidak berkomunikasi dengan baik dan Reza yang hanya berfokus dengan kemungkinan acaranya yang gagal, tetapi Rein fokus pada solusi. Bagaimana mencari alternatif tempat yang tidak jauh dari tempat awal sehingga para peserta tidak kesulitan mencari. Memberikan solusi ini dan itu sehingga akhirnya bisa memenangkan negosiasi. Selain itu memberikan usul untuk menempatkan beberapa panitia sebagai penunjuk arah di pintu gerbang Fakultas Ilmu Budaya.

Sepanjang acara berlangsung Rein pun tampak setia mendampingi Reza bercengkerama akrab dengan para tamu undangan, seperti para dosen FIB yang datang dan perwakilan BEM fakultas lain.

Raina sesekali mencuri pandang ke arah pemuda itu ketika ia tiba di aula setelah mengantarkan peserta. Walaupun hatinya masih sakit karena perkataan Rein tempo hari, tetapi mata itu tidak henti memperhatikan gerak-gerik Rein. Bagaimana pemuda itu berbicara. Bagaimana pemuda itu tersenyum di tengah obrolannya. Juga bagaimana wajah serius penuh atensi pemuda itu tatkala mendengarkan lawan bicaranya.

Setelahnya ia akan kembali ke posnya lagi. Berjaga jika ada peserta yang datang. Ia tidak bertugas sendiri. Ada tim kesekretariatan dan dana usaha yang di hari H acara sudah tidak ada tugas lagi sehingga mereka bisa membantu sebagai penunjuk arah dan mengantarkan peserta ke gedung aula satu per satu.

Menjelang sesi pertama berakhir, tim penunjuk arah memutuskan untuk kembali ke aula karena dirasa peserta sudah tidak ada lagi yang datang. Disisakan beberapa orang panitia putra untuk berjaga-jaga. Sementara panitia putri diperkenankan untuk beristirahat.

Saat itulah Raina bisa bertemu Afia yang bertugas sebagai panitia konsumsi merangkap tim absensi bersama satu orang tim kesekretariatan. Kedatangan Raina ke meja langsung disambut oleh sekotak snack dan sebotol air mineral dari tangan Afia.

"Udah mau selesai, ya?" tanya Raina seraya duduk di lantai koridor sembari menyelonjorkan kakinya. Bolak-balik dari aula yang ada di lantai tiga ke gerbang FIB benar-benar menguras tenaga dan membuat kaki pegal. Namun, Raina merasa senang melakukannya.

"Sepuluh menit lagi break antar sesi," jawab Afia seraya duduk di samping Raina dan meneguk air mineral miliknya sendiri. "Materinya bagus banget."

"Padahal aku panitia, tapi malah enggak bisa ikutin materinya dari awal." Raina berkata sebelum meneguk air mineralnya.

"Nanti ada hand out materinya, kok. Tenang aja."

"Alhamduillah," ujar Raina lega.

"Eh, kamu tahu, enggak, Rain?" tanya Afia tiba-tiba dengan wajah serius dan sok misterius. Tipikalnya jika hendak mengutarakan analisisnya terhadap sesuatu. Raina sudah hafal watak temannya yang satu itu.

"Enggak tahu. Kamu 'kan belum ngomong," seloroh Raina.

"Pembicara sesi pertama itu ayahnya Fara. Temen satu kosan kamu yang Sastra Jepang itu."

Mata Raina melebar usai mendengarnya. "Serius? Kamu tahu dari mana?"

"Tadi, tuh, waktu pembicaranya dateng, Fara yang anter ke sini. Terus waktu lewat di meja absensi, aku sempet denger Fara bilang, 'Ke sini, Yah.', gitu. Menurut kamu apa artinya panggilan itu kalau bukan ayah?"

"Iya juga, sih," ujar Raina agak ragu. Tidak mengira saja jika itu ayahnya Fara. Pantas saja tempo hari Rein bilang kalau Fara diberi tugas menghubungi pembicaranya karena sudah saling kenal.

"Terus, ada satu hal lagi yang aku lihat tadi." Afia berkata lagi masih dengan wajah serius sok misteriusnya.

"Apa?" tanya Raina yang mau tidak mau jadi ikut penasaran.

"Kak Rein ...." Afia menggantung ucapannya untuk menimbulkan efek yang mendramatisir.

Raina celingukan ke sana kemari untuk memastikan tidak ada yang mendengarkan obrolan mereka.

"Kak Rein kenapa?" tanya Raina setengah berbisik karena takut ada yang mendengar.

"Penasaran, ya?" tanya Afia seraya tertawa geli melihat ekspresi Raina yang terkena jebakannya.

"Ish, enggak lucu bercandanya," sungut Raina kesal karena merasa dikerjai.

"Mulai kepo, ya, sama Kek Rein?" goda Afia.

"Sst, mulutnya dijaga. Nanti ada yang denger." Raina kembali celingak-celinguk untuk mengawasi kondisi sekitar.

"Mau tau, enggak, tentang Kak Rein? Kamu pasti kaget."

"Kalau bercandaan aku males." Raina kembali meneguk air mineralnya.

"Dia ternyata kenal juga sama ayahnya Fara. Tadi begitu ketemu langsung senyum semringah dan cium tangan. Menurut kamu, apa artinya itu?"

"Ya mana aku tahu!" sungut Raina lagi karena cerita Afia dipotong-potong.

"Kak Rein, panggil ayahnya Fara 'Ustadz'. Ada kemungkinan, enggak, kalau ayahnya Fara itu guru ngajinya Kak Rein, terus nanti ujung-ujungnya mereka dijodohin? Kan Fara juga tipe-tipe yang enggak mau pacaran gitu. Wah, udah kayak di film-film." Afia bercerita dengan histeris. Memang otak gadis itu sudah dipenuhi oleh drama Korea. Terkadang analisisnya terlalu didramatisir.

Namun, ada sengatan aneh yang terjadi di hati Raina setelahnya. Meskipun ia tahu belum tentu analisis Afia benar, tetapi kenapa rasanya begitu tidak nyaman usai mendengarnya?

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang