42. Gang Remang-remang

90 21 0
                                    

"Fadil udah belok ke kosannya, Kak?" tanya Raina yang ternyata sejak tadi menunggu Rein di bawah tiang lampu jalanan.

Rasa penasaran dari banyak tanya dalam benaknya belum terjawab, sementara ada Fadil di antara mereka. Mau tidak mau Raina harus menunggu sampai Fadil tiba di kosannya terlebih dahulu baru ia bisa leluasa mengobrol dengan Rein.

"Sudah," jawab Rein seraya menatap Raina canggung.

"Kenapa Kakak muncul? Padahal tadi saya lagi usaha buat ngusir Fadil biar dia pulang duluan."

"Buat ngasih tahu dia gimana caranya berinteraksi dengan lawan jenis. Biar dia enggak sembarangan lagi deketin kamu secara fisik," jawab Rein seraya menyeberangi gang itu. Jadi, posisi mereka ketika mengobrol sembari berjalan adalah Raina di sisi sebelah kiri gang, sementara Rein di sisi sebelah kanan gang. Mereka jalan bersama, tetapi tetap menjaga jarak.

"Terus, dia ngerti?" tanya Raina tidak habis pikir. Memangnya dengan begitu Fadil akan langsung mengubah sikapnya?

"Setidaknya kewajiban saya untuk memberitahu sesama saudara sudah gugur. Perkara dia berubah atau enggaknya, itu urusan dia."

Hening tercipta di antara mereka. Hanya terdengar langkah kaki mereka diiringi oleh suara jangkrik. Sesekali terdengar sapaan Rein kepada warga sekitar yang kebetulan sedang duduk di tepi gang.

Penduduk sana sebenarnya sangat ramah. Awalnya Raina sempat kaget ketika ia sedang terburu-buru ke kampus dan berpapasan dengan salah satu warga yang tidak dikenalnya, ia disapa dengan ramah seolah mereka telah mengenal sebelumnya. Tadinya Raina sempat berpikiran negatif dengan sikap ramah mereka. Maklum saja, di kota besar tempat tinggal Raina rata-rata penduduknya individualis. Jika tidak saling kenal, ya, tidak saling bertegur sapa.

Namun, beberapa bulan tinggal di wilayah itu, Raina jadi paham bahwa sikap itu memang telah menjadi tradisi warga sana. Makanya ketika ia lewat dan ada warga yang sedang duduk-duduk di tepi gang, Raina tidak ragu untuk melakukan hal seperti yang Rein lakukan. Awalnya memang terasa canggung. Namun, demi kesopanan dan tata krama karena ia tinggal di wilayah orang lain, Raina mulai membiasakan dirinya.

"Gang ini aman dilalui malam hari. Tapi, enggak di gang satunya lagi yang remang-remang itu. Sebisa mungkin jangan lewat sana kalau sudah malam." Rein membuka percakapan lagi setelah mereka melewati beberapa orang warga tadi.

"Kenapa, Kak? Apa memang tempatnya rawan?" tanya Raina penasaran.

"Banyak orang nongkrong di sana. Kadang suka ada yang main kartu. Minum-minum juga. Tempatnya juga 'kan dekat lapangan. Jadi, minim penerangan."

Kebetulan Rein membahas soal itu. Sekalian saja Raina ingin menuntaskan rasa ingin tahunya mengenai kejadian tempo hari.

"Terus, kenapa waktu itu Kakak lewat sana juga?"

"Ya, karena kamu lewat sana. Coba, apa jadinya kalau saya enggak ngikutin kamu. Ada dua laki-laki yang ngajak kamu ngobrol, 'kan? Napas mereka bau alkohol waktu itu."

Raina tertegun mendengar penjelasan Rein. Perasaannya campur aduk antara ngeri dan terkejut sekaligus. Ia sampai tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa menit. Otaknya terus membayangkan bagaimana nasibnya jika malam itu tidak ada Rein. Mungkin kedua lelaki itu akan mengejarnya sampai kosan atau paling parahnya mereka berhasil menangkapnya dan melakukan hal yang tidak-tidak.

Seketika kaki Raina menjadi lemas. Rasanya tidak punya tenaga untuk berjalan.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Rein khawatir melihat Raina berjalan pelan. Tidak bertenaga seperti sebelumnya.

"Gimana bisa enggak apa-apa setelah denger cerita Kakak tadi?" balas Raina dengan suara yang bergetar. Tangisnya hendak pecah, tetapi berusaha keras untuk tidak menangis di depan Rein.

Rein memutuskan untuk tidak bicara lagi. Membiarkan Raina menenangkan dirinya. Kesunyian di antara mereka justru membuat Raina tidak bisa menahan tangisnya. Terlihat wajah gadis itu tertunduk. Sesekali terlihat tangannya menyeka air mata yang jatuh tanpa suara.

"Coba waktu itu Kakak enggak ngikutin saya dari pangkalan bus, masjid, terus warung makan. Saya enggak akan sengaja lewat jalan lain untuk buktiin kalau Kakak memang enggak lagi ngikutin saya atau enggak." Raina berkata dengan nada kesal.

Rein langsung menatap Raina dengan tatapan melongo. Kenapa terkesan dirinya yang bersalah?

"Kamu nyalahin saya?" tanya Rein tidak terima.

"Iya, semua gara-gara Kakak ngikutin saya. Lain kali kalau memang mau jalan bareng itu bilang. Biar orang enggak salah sangka," cecar Raina dengan wajah yang sudah basah.

"Yang ngikutin kamu siapa? Kan saya udah bilang, saya mau pulang ke kosan. Terus liat kamu malah belok ke gang itu. Tahu begitu, saya jalan lurus aja terus. Enggak usah peduliin kamu bakalan diganggu sama orang-orang itu atau enggak," sungut Rein merasa kesal karena disalahkan.

Raina menatap Rein dengan mata yang masih berkaca. Merasa kesal dengan diri sendiri yang terlalu percaya diri mengira jika Rein benar-benar membuntutinya. Kalimat Rein barusan seolah telah menjatuhkannya dalam jurang kenyataan yang menyakitkan. Dirinya yang salah, bukan Rein.

Terlihat Rein menghela napasnya. Menatap Raina dengan tatapan kesal. Ditolong bukannya berterima kasih malah menyalahkan. Baginya, jalan pikiran perempuan itu memang sulit dimengerti.

Tidak ingin disalahpahami lagi, Rein pun kembali berjalan. Langkahnya terlihat cepat seolah ingin meninggalkan Raina di sana.

Raina tersadar. Gadis itu segera membersihkan wajah dari air mata. Berjalan secepat mungkin agar bisa menyusul langkah Rein. Masih ada satu hal lagi yang harus ditegaskan agar tidak ada salah paham lagi di antara mereka. Raina sudah lelah dengan segala kesalahpahaman yang ada.

"Kak Rein, tunggu!" teriak Raina dengan sedikit berlari.

Pemuda itu menghentikan langkahnya kemudian menatap Raina yang mulai mendekat. Ia menunggu Raina dalam diam.

"Apa lagi?" tanya Rein tak acuh, tetapi matanya tidak henti menatap gerak-gerik Raina yang sedang sibuk mengatur napas.

"Kenapa Kakak malem itu peduli sama saya? Saya cuma mau tanya itu supaya malem ini saya bisa tidur nyenyak karena enggak salah paham lagi," jawab Raina di tengah napasnya yang terengah.

"Maksud kamu?" tanya Rein keheranan. Ia juga harus berhati-hati. Salah ucap sedikit bisa disalahpahami lagi.

"Apa alasan Kakak peduli sama saya, sama dengan alasan Kakak peduli sama Fadil? Saling mengingatkan dan saling menjaga karena kita sesama muslim? Apa Kakak juga akan melakukan hal yang sama kalau orang itu bukan saya?"

Sebenarnya pertanyaan itu sangat sederhana dan mudah dijawab. Namun, entah kenapa ketika melihat tatapan Raina kepadanya membuat mulut Rein terasa kelu.

"Iya," jawab Rein singkat.

"Alhamdulillah, saya lega kalau begitu," ucap Raina seraya tersenyum lalu menyodorkan salah satu bungkusan yang ada di tangannya.

"Apa ini?" tanya Rein keheranan.

"Saya traktir makan malem sebagai ucapan terima kasih karena udah kasih tumpangan hari ini. Juga terima kasih karena udah nolong saya malam itu."

Usai memastikan Rein menerima bungkusannya, Raina berjalan mendahului. Meninggalkan Rein yang menatapnya keheranan.

Sejak mengenal Raina, ada sebuah kesan yang selalu terpatri dalam benak pemuda itu ketika mengingatnya. Raina itu sulit ditebak.

🌧️☔🌧️


[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang