33. Analisis Afia

89 25 1
                                    

Raina terus memperhatikan gerak-gerik Rein gara-gara ucapan Afia tentang pemuda itu dan Fara. Seolah ingin membuktikan bahwa analisis Afia itu benar. Padahal tidak ada jaminannya. Selama ini kedua manusia itu tidak pernah terlihat dekat.

Namun, salah satu analisis Afia soal pembicara materi pertama adalah ayahnya Fara, terbukti benar seusai acara sesi satu berakhir.

Gadis itu keluar bersama orang yang kata Afia adalah ayahnya. Diikuti oleh Reza dan Rein di belakangnya. Ketika melewati meja absen, tiba-tiba Fara menghentikan langkahnya.

"Ayah, tunggu dulu," ujar Fara.

Lelaki yang dipanggil ayah itu pun menghentikan langkahnya. Wajahnya terlihat teduh. Walaupun ada beberapa helai rambut berwarna putih yang menghiasi kepala, tetapi kesan muda dan energik begitu melekat padanya. Bentuk mata dan raut wajahnya begitu mirip dengan Fara.

"Fara mau ngenalin seseorang. Teman satu kos Fara yang waktu itu pernah Fara ceritain ke Ayah."

Raina mengerjapkan matanya lalu dengan refleks celingukan ke sana kemari. Untuk memastikan ada tidak teman kos Fara selain dirinya di sana. Tidak ada. Hanya ada dirinya.

"Ini Raina." Fara mengenalkan Raina seraya menuntun ayahnya untuk mendekat ke arah Raina.

Raina yang terkejut langsung berdiri dengan gelagapan.

"Oh, yang ambil Jurusan Ilmu Sejarah itu?" tanya ayahnya Fara seraya tersenyum ke arah Raina.

"Iya, Pak," jawab Raina seraya membalas senyumnya dengan canggung.

"Fara ini saya suruh daftar ke Ilmu Sejarah dulu. Tapi, malah masuknya ke Sastra Jepang," ujar sang ayah lagi.

"Ayah aku ini penggemar sejarah, Rain. Jangan kaget, ya, sewaktu-waktu beliau ke kosan kita terus ajak kamu diskusi soal sejarah," ujar Fara seraya agak berbisik, tetapi masih cukup kuat untuk didengar oleh sang ayah. Namun, sang ayah hanya tersenyum mendengarnya.

"Kapan-kapan main ke rumah Fara. Di rumah banyak koleksi buku Sejarah yang bisa kamu baca," ujar ayahnya Fara lagi.

"Iya, Pak."

Selang beberapa detik kemudian secara tidak sengaja mata Raina bertemu tatap dengan mata Rein. Pemuda itu ketahuan sedang memperhatikannya. Namun, kali ini Rein yang lebih dulu mengalihkan pandangan.

Ketika ayahnya Fara berpamitan, datanglah pemateri kedua yang ternyata kenal juga dengan ayahnya Fara. Mereka asyik mengobrol di dekat meja absensi peserta. Semua orang jadi ikut berkumpul di sana. Tidak terkecuali Fadil yang datang membawa kamera di tangannya.

Ketika tiba di hadapan Raina, pemuda itu mengarahkan kameranya seperti biasa. Namun, sebelum Fadil sempat mengambil gambar wajah Raina, gadis itu telah lebih dulu menghindar.

"Fi, aku ke toilet dulu, ya."

"Oke."

Rein sempat mendengar ucapan Raina dan melihat gadis itu pergi. Sementara Fadil yang merasa sikap Raina itu agak berbeda, langsung mendekati Afia.

"Fi, Raina kenapa?" tanyanya penasaran.

"Kenapa apanya?" balas Afia tak acuh.

"Kayak menghindari gue, deh."

"Ya, lo pikir aja sendiri kenapa. Gue tau lo ada rasa sama Raina, tapi lo terlalu agresif. Raina enggak nyaman."

Fadil tidak bertanya lagi. Pemuda itu tampak berpikir lalu kembali melanjutkan tugasnya untuk mendokumentasikan acara.

🌧️☔🌧️

Ketika Raina kembali ke meja absensi peserta untuk menemani Afia, kondisi sudah sepi. Afia duduk seorang diri karena tadi Raina sempat melihat rekan Afia pergi ke toilet juga.

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang