34. Berdamai

89 27 2
                                    

Raina mendekati Rein dengan langkah pelan. Pemuda itu berdiri membelakangi Raina sembari membereskan tas ranselnya. Baru saja mereka selesai membenahi kursi di ruang aula agar kembali rapi.

"Kak, ini ada titipan dari Kak Julian," ucap Raina begitu ia sudah berdiri tepat di belakang Rein.

Pemuda itu menoleh dan menatap tiga buah buku yang Raina sodorkan.

"Terima kasih," ujarnya seraya menerima ketiga buku itu kemudian memasukkannya ke tas.

Setelahnya tak terjadi percakapan lagi. Rein pikir, Raina sudah selesai dengan urusannya. Namun, usai membenahi tasnya, ia terkejut ketika menemukan Raina masih belum beranjak.

"Ada lagi?" tanya Rein keheranan.

"Maaf."

Hanya satu kata itu yang mampu keluar dari mulut Raina atas segala pikiran negatif tentang Rein yang selama ini memenuhi kepalanya.

Rein mengerjap. Ia kembali teringat dengan pesan berisi permintaan maaf Raina sebelum ponselnya hilang tempo hari. Dirinya belum sempat membalas.

"Maaf untuk apa?" tanya Rein ragu. Sampai detik itu ia belum tahu Raina meminta maaf untuk hal apa.

"Soal rapat yang terlambat dan ... soal ponsel Kakak yang ilang. Maaf, saya sempat berburuk sangka."

"Oh, itu. Sudah saya maafkan." Rein berkata canggung.

Rein celingukan. Perlahan rekan-rekan mereka sudah meninggalkan ruangan. Ia merasa tidak nyaman jika hanya berdua dengan Raina di sana. Dalam hati berharap agar Raina cepat menyelesaikan percakapan mereka. Namun, gadis itu masih saja bergeming di tempatnya.

"Ada lagi?" tanya Rein bermaksud ingin segera menyudahi obrolan mereka.

"Kakak enggak mau minta maaf?" tanya Raina di luar dugaan. Rein bahkan sampai melongo dibuatnya.

"Minta maaf?" tanya Rein bingung.

"Saya, kan, udah minta maaf. Kenapa Kakak enggak mau minta maaf juga? Enggak adil namanya."

"Saya harus minta maaf soal apa?"

"Soal handuk ingus saya yang Kakak buang tanpa izin."

Rein nyaris saja tertawa jika ia tidak segera mengendalikan dirinya. Kejadian berbulan-bulan lalu itu masih saja diingat. Luar biasa memang makhluk hawa di hadapannya itu.

"Nanti saya ganti."

"Itu handuk kenang-kenangan dari salah satu teman terbaik saya di SMA. Enggak ada yang bisa menggantikan kenangannya." Raina berkata dengan raut wajah sedih.

"Ya, terus saya harus gimana? Harus saya cari di tempat sampah? Itu udah berbulan-bulan lamanya. Mungkin juga udah dibakar sama petugas kebersihan."

"Terus kenapa Kakak buang? Kenapa enggak disimpen terus dikembalikan setelah selesai hukuman?" protes Raina.

Rein menghela napasnya seraya beristigfar dalam hati. Kenapa makhluk perempuan itu suka sekali membahas hal yang sudah lama berlalu? Lalu tidak jelas tujuannya apa.

"Itu benda kotor, Raina. Siapa yang mau simpan handuk penuh ingus begitu. Banyak virusnya."

Wajah Raina langsung cemberut. Merasa tersinggung karena Rein bilang handuk ingusnya banyak virus, tetapi tidak bisa juga menyangkal. Perkataan Rein benar.

"Udah enggak mau minta maaf, sekarang malah bikin orang tersinggung dengan bilang banyak virusnya. Bener, sih, banyak virusnya. Tapi, bisa enggak, jangan terlalu jujur gitu ngomongnya," gerutu Raina.

"Ya udah, saya minta maaf." Rein berkata pasrah. Ingin pembicaraan tidak jelas tujuannya itu segera berakhir.

"Soal kamus?" Raina berkata lagi. Rupanya masih belum selesai urusan.

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang