36. Mengagumi Dalam Diam

81 26 0
                                    

Raina datang ke sana bersama Fara. Gadis itu sangat antusias ketika Raina menceritakan semuanya, seperti yang sudah disampaikan oleh Rein. Ia bahkan sampai berniat membawa motor scoopy dari rumahnya yang ada di wilayah Cibiru. Jaraknya lumayan dekat ke lokasi yang akan mereka tuju.

Dari Bandung mereka naik bus kemudian mampir dulu ke rumah Fara untuk mengambil scoopy-nya. Itu pertama kalinya Raina berkunjung ke rumah Fara.

"Kamu serius mau bawa scoopy, Far?" tanya Raina tak yakin mengingat medan yang diceritakan Rein berada di lereng perbukitan.

"Jangan remehin scoopy aku, ya, Rain. Gini-gini, udah pernah aku bawa ngebolang sampe Gegerkalong." Fara membanggakan motor cokelat muda kesayangannya itu.

Raina yang belum tahu betul medan daerah Gegerkalong seperti apa hanya menatap takjub. Jika dijadikan perbandingan begitu, tentunya medan wilayah Gegerkalong lebih parah. Begitu pikir Raina.

Mereka janjian dengan Rein di ujung jalan tempat pemberhentian angkot. Akan menuju lokasi bersama-sama, mengingat Raina dan Fara belum tahu lokasinya sama sekali.

Rein pun datang dengan membawa sepeda motor yang entah milik siapa. Setahu Raina, pemuda itu tidak pernah membawa kendaraan pribadi ketika beraktivitas di kampus atau pun di sekitaran kosan. Paling tidak, itu yang Raina lihat selama ini.

Rein tidak bercanda ketika mengatakan desa binaan mereka lokasinya berada di lereng bukit dan agak ke pelosok. Benar-benar lereng bukit yang ketika menuju lokasinya harus beberapa kali melalu jalan yang menanjak. Untungnya tidak terlalu curam sehingga scoopy milik Fara bisa membawa mereka ke tempat tujuan dengan selamat.

Apa yang Rein katakan tentang semangat dan antusias anak-anak di sana yang begitu bersemangat belajar, memang benar. Binar mata mereka menjelaskan segalanya ketika Rein menceritakan kisah salah satu sahabat nabi di sela kegiatan mengaji. Hari itu, Rein bercerita tentang kisah Bilal bin Rabah.

"Jadi, siapa yang bisa menyimpulkan, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kisah Bilal?" Rein mengakhiri ceritanya dengan sebuah pertanyaan.

Seorang anak yang terlihat paling tua di antara mereka mengangkat tangan dengan malu-malu.

"Coba Lilis," ujar Rein menyebut nama anak itu.

"Pantang menyerah, Kak. Walaupun halangannya banyak."

"Iya, bener jawaban Lilis. Walaupun disiksa, dan bahkan nyaris terancam nyawanya, Bilal tetap mempertahankan keimanannya." Rein menanggapi.

"Enggak kayak kita, atuh, ya, Kak," celetuk anak perempuan yang duduk di sebelah Lilis. Namanya Ela.

"Kita memangnya gimana, Ela?" tanya Rein seraya tersenyum. Meneduhkan sekali. Raina sampai terkesima. Namun, setelahnya ia langsung beristigfar dan segera mengalihkan perhatiannya ke Ela.

"Ibadahnya males-malesan. Padahal mah, enggak sesusah Bilal dulu mesti sembunyi-sembunyi mau solat, teh." Ela menjelaskan dengan logat Sundanya yang kental.

Kalimat yang begitu mengena di hati. Raina jadi merasa tertampar kanan kiri oleh ucapan gadis kecil itu.

Raina sudah pernah mendengar atau pun membaca kisah tentang Bilal ini. Namun, cerita kali ini meninggalkan kesan yang mendalam bagi dirinya. Bukan hanya karena ceritanya disampaikan oleh Rein, tetapi juga ia jadi berkaca tentang perasaannya ketika menerima tugas mengajar itu dari Rein tempo hari.

Gadis itu jadi teringat ketika Rein memberi tahu kondisi desa tempat mereka akan mengajar. Sempat ada niatan untuk menolak dengan alasan lokasi yang cukup jauh. Padahal lokasi desa itu masih bisa dijangkau oleh kendaraan. Jauh berbeda dengan beberapa daerah di pedalaman nusantara yang sering masuk berita televisi ketika anak-anak sekolah harus bertaruh nyawa menyeberangi sungai berarus deras agar bisa mengenyam pendidikan.

Berkaca lagi dengan kisah Bilal. Dengan segala keterbatasannya bahkan bertaruh nyawa, Bilal bisa tetap beribadah dengan keimanan yang begitu maksimal. Betapa malunya ia dengan segala fasilitas dan kenyamanan beribadah yang ada masih suka menunda waktu salat. Bahkan kadang suka terlewat jika kelelahan dan tanpa sengaja tertidur. Ketika azan berkumandang juga, terkadang masih sibuk dengan urusan-urusan duniawi.

"Kakak berharap, setelah kalian denger kisah tentang Bilal ini, kalian enggak males-malesan lagi ngajinya, salatnya, ibadah yang lainnya juga. Harus semangat. Bilal dengan segala keterbatasannya aja bisa, kita juga bisa. Ayuk, kita semangat!" Rein berkata dengan riang yang langsung disambut sorakan dari anak-anak penuh semangat.

Sosok Rein di tengah anak-anak berbanding terbalik dengan sosok Rein ketika pertama kali Raina mengenalnya. Dulu, Raina melihat Rein sebagai sosok yang dingin, tidak ramah, angkuh, dan kaku. Sekarang, sosok Rein di mata Raina terlihat hangat, ramah, dan bersahabat. Raina tidak tahu apakah Rein yang begitu cepat berubah karena menyesuaikan keadaan, ataukah cara pandangnya terhadap Rein yang berubah?

Yang jelas, Raina mulai mengagumi sosok itu. Di tengah keterbatasan waktu yang ia punya---mengerjakan skripsi, bekerja paruh waktu, dan sebagainya---Rein masih bisa menyempatkan diri berbagi ilmu dengan adik-adik yang antusias belajar agama itu.

Sungguh, Raina merasa malu jika masih mengeluh. Kondisinya jauh lebih baik untuk bisa bermanfaat bagi sesama dan berbuat lebih banyak lagi.

"Ada lagi yang bisa jawab?" Terdengar Rein kembali bertanya.

"Enggak minder, Kak," jawab seorang anak laki-laki bertubuh tambun yang duduk di dekat jendela musala.

"Bener banget, tuh. Bilal ngajarin kita supaya jangan minder. Walaupun tubuhnya kurus, tinggi, dan berkulit hitam, tetapi prestasinya di mata Allah luar biasa. Bahkan jadi salah satu orang yang sudah dijamin masuk surga. Ada yang mau masuk surga bareng Bilal, enggak?" tanya Rein lagi yang langsung disambut oleh teriakan antusias anak-anak. Beberapa anak bahkan sampai berdiri dari duduknya.

"Saya, Kak!"

"Saya!"

"Saya mau kayak Bilal!"

"Saya mau masuk surga!"

Teriakan anak-anak itu bersahut-sahutan. Begitu berisik, tetapi terdengar indah. Apalagi ada Rein di tengah-tengah mereka. Bagai seorang ayah yang sedang dikelilingi oleh anak-anaknya.

Seketika Raina melihat sosok Rein dikelilingi oleh cahaya. Waktu seolah berputar lambat dalam dunianya. Raina tidak tahu, apakah ini ulah setan yang menjadikan indah pemandangan di hadapannya sehingga jantungnya jadi berdebar aneh begitu. Ataukah memang Allah yang mengirimkan getaran itu karena kesalehan yang terpancar dari sosok Rein.

Raina mengagumi Rein hingga matanya tak mampu berpaling dari sosok itu.

"Oke, tenang dulu. Tenang!" teriak Rein untuk mengalahkan suara keributan mereka.

"Sst, pada mau pulang, enggak?" Fara ikut menenangkan untuk meredakan kegaduhan itu.

Bagai disihir, ketika mendengar kata pulang, sontak anak-anak langsung terdiam dan duduk dengan rapi di tempatnya masing-masing. Mengaji hari itu pun berakhir tepat pukul lima sore.

Kedua gadis muda dan satu orang pemuda itu langsung bersiap pulang ketika sudah tidak ada lagi anak-anak yang tersisa di musala.

"Terima kasih banyak untuk hari ini," ujar Rein kepada dua gadis muda itu.

"Sama-sama, Kak. Kami juga seneng ketemu mereka yang antusias belajar." Fara yang menanggapi.

"Maaf, ya, saya enggak bisa antar kalian pulang. Ada satu agenda yang harus dilakukan sekitaran sini. Hati-hati di jalan. Usahakan sampai di kosan sebelum Magrib." Rein berkata lagi.

"Kami enggak pulang ke Bandung, kok, Kak. Mau mampir dulu ke rumah dan menginap. Besok pagi-pagi kami baru ke Bandung."

Pemuda itu berpikir sejenak. "Kalau gitu kita bareng aja. Soalnya saya juga mau ke rumah kamu."

Raina menatap Rein dan Fara bergantian. Ada keperluan apa Rein ke rumah Fara? Apa analisis Afia tempo hari benar? Kenapa rasanya hati Raina cenat-cenut seperti ada duri tak kasat mata yang menusuk-nusuk.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang