60. Restu Ayah

96 12 1
                                    

"Kamu pulang naik apa?" tanya Rein ketika Raina pamit ingin pulang.

"Busway."

Mereka terdiam lagi. Sesekali berjalan saling pandang, lalu serentak mengalihkan tatapan ke tempat lain.

"Saya anter sampai halte, boleh?" tanya Rein ragu-ragu.

"Ini 'kan masih siang, Kak. Lagipula, Jakarta mah saya udah hafal daerah-daerahnya. Hampir dua puluh tahun saya tinggal di sini." Raina tersenyum.

"Masih pengen ngobrol banyak sebenernya," ujar Rein seraya mengacak-acak rambut bagian belakangnya dengan gugup. Berusaha untuk tersenyum walaupun ada sorot kekecewaan di matanya.

"Suatu saat nanti, kalau memang udah saatnya dan Allah mengizinkan, kita bisa ngobrol sepanjang waktu." Raina tertunduk malu setelah mengucapkan kalimat itu.

Rein kembali tersenyum. Ada semburat merah yang hadir di wajah pemuda itu. Raina benar. Sekarang belum saatnya keinginan itu terwujud.

"Hati-hati, ya. Kasih kabar kalau udah sampai rumah."

Raina mengangguk. Rein berbalik pergi dengan langkah pelan. Seolah berharap Raina memanggilnya.

"Kak Rein, tunggu!" seru Raina membuat seulas senyum mengembang di wajah Rein. Ia pun berbalik. Sebisa mungkin menyembunyikan rasa senangnya.

"Saya masih bingung soal membuat esai untuk program homestay. Apakah sama dengan esai untuk daftar beasiswa?"

Rein teringat dengan berkas-berkas yang ia bawa dalam tasnya. Ia pun segera menyerahkan beberapa lembar kertas itu kepada Raina.

"Kamu boleh bawa berkas saya untuk contoh. Itu motivation letter sama esai yang saya buat waktu daftar beasiswa S2 tempo hari. Saya buat dalam dua bahasa. Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda."

"Wah, makasih banget, Kak." Raina menerimanya dengan mata berbinar hangat. Rein pun tanpa sadar tersenyum melihat ekspresi itu.

"Ada lagi yang butuh dibantu?" tanya Rein dengan senyum ramah.

"Soal keluarga angkat selama di sana. Kita bisa pilih atau sudah ditentukan, ya, Kak? Apa di sana ada keluarga muslim?"

Hal yang sempat menjadi perdebatan dengan sang ayah tempo hari. Siapa tahu saja Rein punya banyak informasi.

"Biasanya ditentukan oleh pihak kampus. Diambil dari keluarga-keluarga yang mengajukan diri jadi keluarga angkat pelajar dan mahasiswa luar negeri."

"Gitu, ya?"

"Saya ada kenalan satu keluarga muslim. Istrinya orang asli Indonesia, sementara suaminya orang Belanda asli yang mualaf. Nanti kamu hubungi saja. Kalau sudah oke, kamu bisa ajukan ketika mengumpulkan berkas. Setahu saya, kalau kita sudah punya kenalan orang yang tinggal di sana, bisa mengajukan untuk dijadikan keluarga angkat kita. Mau saya kasih kontaknya sekarang?"

"Boleh, Kak."

"Saya kirim ke nomor kamu, ya." Rein berkata seraya mengeluarkan ponselnya.

Raina benar-benar tidak menyangka, kegalauannya berhari-hari kemarin langsung hilang ketika ia bertemu dengan Rein. Tadinya ia bahkan hampir menyerah dan ingin melupakan program homestay itu karena perkara menjaga hijab. 

"Sudah," ujar Rein seraya menatap Raina yang masih terdiam dengan mata berkaca-kaca.

"Sekali lagi, terima kasih banyak, Kak."

🌧️☔🌧️


Sejak pertemuan mereka terakhir kali, Rein jadi sering menghubungi Raina lewat pesan. Raina pun selalu membalas untuk bertanya tentang kata-kata Bahasa Belanda yang tidak ia mengerti. Setelah itu bahasan mereka akan dengan alaminya berubah ke hal-hal yang bersifat pribadi.

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang