74. Hal Yang Terlupa

77 15 0
                                    

"Kamu enggak lagi bercanda, 'kan, Fadil?" tanya Raina kemudian.

"Menurut kamu?"

"Kalau kayak gitu, apa bedanya sama digantungin?"

Fadil tertawa mendengar pertanyaan Raina. Respons yang sama sekali tidak pernah Raina duga.

"Ya, aku mana berani kalau ajak kamu nikah sekarang. Kuliah aja belum lulus, hidup masih dibiayain ibu."

"Makanya hidup yang bener. Jangan kecewain ibu kamu. Jangan males-malesan kuliah. Jangan mikirin cewek. Mending kamu pikirin bener enggak teori konspirasi yang bilang kalau Hitler pernah tinggal di Indonesia. Siapa tahu aja 'kan hasil penelitian kamu bisa membawa kemajuan penting untuk dunia penulisan sejarah. Jangan banyak ngerokok juga, uangnya ditabung buat masa depan." Raina malah memberi ceramah panjang lebar. Gemas dengan Fadil yang tengil itu.

Sudah tahu belum siap, malah mengajak orang menikah. Hal serius begitu dibuat bercanda. Sungguh tidak lucu.

Pemuda itu kini justru tertawa keras mendengar ceramah Raina.

"Kamu kayak ibuku kalau lagi ceramah."

"Jadi, aku kayak emak-emak, ya?" sindir Raina seraya berkacak pinggang.

"Cara ceramahnya. Kamu udah cocok jadi emak-emak," ledek Fadil terlihat sangat puas.

"Makasih, aku memang calon emak-emak yang awet muda."

Fadil tertawa makin keras, sementara Raina langsung terdiam. Kenapa ia malah jadi centil begitu? Terlalu banyak bersama Afia, sifat temannya yang satu itu jadi menular kepadanya. Cepat ia beristigfar. Tidak boleh lagi begitu di depan lawan jenis. Apalagi itu Fadil, pemuda yang jelas memiliki perasaan khusus kepadanya.

"Dil, jangan berharap sama aku, ya. Kalau kamu kayak gitu malah jadi beban buatku." Raina berkata setelah tawa Fadil mereda.

Fadil menatap Raina begitu dalam. Pikirannya berkelana mencari penyebab kenapa sosok gadis itu begitu istimewa baginya. Hanya karena sebuah permen yang pernah diberikan dulu agar dirinya berhenti merokok. Rasanya tidak masuk di akal.

"Kalau aku berubah kayak Kak Rein, apa perasaan kamu bakal berubah juga?" tanya Fadil setelah lama terdiam.

"Jangan, Dil. Jangan berubah cuma karena supaya orang lain suka sama kamu. Jadilah versi terbaik dari diri kamu sendiri. Suatu saat nanti kamu juga akan dapat seseorang yang baiknya sepadan sama kamu. Itu udah janji Allah."

"Kenapa kamu malah ngomong kayak gitu?"

Raina mengernyit keheranan. "Aku lagi ngasih saran!" tukas Raina agak kesal. Kambuh lagi tengilnya.

"Woy, ayo makan! Ngapain mojok berduaan di sana?" teriak Afia dari pintu musala. Memang gadis yang satu itu tidak kenal tempat. Masih ada beberapa orang yang sedang salat, ia malah berteriak-teriak.

"Iya, berisik!" sungut Fadil.

Raina hendak beranjak ketika Fadil kembali buka suara.

"Rain."

Raina menoleh dan menantikan kalimat selanjutnya dari pemuda itu.

"Jangan berkecil hati karena ditinggal seseorang. Masih ada orang yang perasaannya tulus sama kamu. Mungkin bahkan masih banyak selain aku di luaran sana yang siap nerima kamu. Perasaanku ke kamu jangan dijadiin beban, ya. Anggap aja sebagai penghiburan kalau masih ada, kok, yang sayang sama kamu walaupun enggak bisa menggantikan posisi Kak Rein."

Raina tersenyum mendengarnya.

"Makasih, Fadil. Kamu juga jangan berkecil hati, ya. Suatu saat nanti kamu akan ketemu sama seseorang yang lebih baik. Yang bisa nerima kamu dan kalian bisa saling melengkapi jika saatnya tiba. Kamu enggak usah khawatir, aku udah enggak apa-apa."

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang