26. Sosok Berjaket BEM

92 24 0
                                    

Usai pekan ujian tengah semester selesai, departemen kajian strategis BEM akan mengadakan sebuah kuliah umum sebagai program terakhirnya di masa kepengurusan yang sekarang. Rencana untuk acara ini sudah sempat dibahas ketika rapat umum BEM tempo hari.

Departemen yang menjadi penanggung jawab acara memang kajian strategis, tetapi karena acara ini dibuka untuk umum, maka tim departemen yang lain ikut terlibat di dalamnya. Tidak terkecuali departemen hubungan luar.

Sudah dua kali departemen itu mengadakan rapat untuk pembagian tugas tanpa ketua departemennya hadir. Posisinya digantikan oleh Luthfi. Padahal Raina masih sering melihat pemuda itu beraktivitas di sekitaran kampus.

Beberapa kali ia melihat Rein di perpustakaan ketika sedang mengerjakan tugas kelompok atau sekadar ingin membaca buku. Jika kebetulan mereka berada di sudut yang sama, Raina akan berpindah tempat secepat yang ia bisa. Ia masih kesal dengan interaksi terakhir mereka di kantin dekat masjid kampus. Sebisa mungkin ia tidak ingin terlihat berada di dekat pemuda itu. Khawatir membuat orang-orang yang melihatnya menjadi salah tafsir.

Dari kabar angin yang beredar di kampus, Rein sedang mengejar target untuk lulus tiga setengah tahun. Wisuda November tidak sempat ia kejar karena rencana penelitian skripsi pertamanya ditolak. Satu-satunya harapan untuk memenuhi targetnya itu adalah mengejar wisuda gelombang dua di bulan Februari tahun depan. Tidak heran jika ia sering kali berdiam diri di perpustakaan dan tidak banyak lagi terlibat di kegiatan non akademik.

Ketidakhadiran Rein dalam rapat departemen mereka beberapa waktu terakhir ini cukup membuatnya lega. Ia tidak perlu menanggung malu atas segala bentuk interaksinya dengan pemuda itu selama ini. Jikalau pepatah mengatakan kondisi orang yang sudah tidak merasakan malu lagi dengan ungkapan urat malunya putus, untuk kasus Raina belum separah itu. Belum putus benar, tetapi sudah tebal berkarat.

Siang itu Raina sudah bersiap untuk ikut rapat BEM membahas acara kuliah umum, tetapi di koridor gedung B ia berpapasan dengan Julian.

"Raina mau ke mana?" tanya Julian dengan senyum ramahnya yang khas.

"Mau rapat, Kak." Raina menjawab dengan canggung. Setiap kali bertemu dengan Julian, ia akan teringat dengan jaket kepengurusan BEM itu. Kadang ia masih berpikir bisa saja pemuda yang ia lihat waktu itu adalah Julian. Apalagi saat itu Julian juga sedang memakai jaket yang sama.

"Rapat himpunan? Yuk, kita bareng ke sekretariatnya."

"Sekarang, Kak?" tanya Raina bimbang. Di saat yang bersamaan ia harus ikut rapat BEM juga.

"Iya. Memangnya Fadil enggak kasih tahu kamu kalau hari ini ada rapat persiapan pergantian pengurus baru?"

Sejak kejadian di kantin dekat masjid itu juga Raina agak menjauhi Fadil. Ia kesal karena pemuda itu menjadikannya sebagai bahan lelucon bersama Mahesa. Jadi, sebisa mungkin Raina menghindari interaksi dengannya.

"Enggak, Kak. Mungkin dia lupa." Raina beralasan.

"Mau bareng?" tanya Julian lagi.

Merasa tidak enak menolak, Raina akhirnya memutuskan untuk ikut rapat himpunan. Selama menyusuri koridor gedung B, mereka saling diam. Ketika hampir berbelok di ujung koridor, barulah Julian memecah keheningan.

"Kamu tumben enggak bareng Afia?"

"Dia pulang duluan, katanya ada keperluan keluarga," jawab Raina.

"Jadi, enggak ikut rapat?" Julian bertanya lagi, walaupun ia sudah tahu jawabannya.

Mereka terdiam lagi. Ketika mulai menapaki tangga di ruang pertunjukan terbuka, Raina memberanikan diri bertanya.

"Kak, boleh tanya sesuatu, enggak?" tanya Raina ragu.

"Tentang himpunan?"

"Bukan. Tapi, soal jaket yang Kakak pakai."

Raut wajah Raina mungkin bisa terlihat tenang, tetapi tidak dengan suara detak jantungnya. Ia penasaran setengah mati siapa sosok pemuda yang ia lihat itu. Siapa tahu dengan bertanya kepada Julian, ia bisa mendapat sedikit informasi tambahan.

"Kamu suka sama jaket ini?" tanya Julian seraya tersenyum geli.

"Enggak, kok, Kak." Raina ikut tersenyum canggung. Bagaimana harus memulainya?

Mereka sudah hampir tiba di puncak tangga. Tinggal berbelok ke kanan dan berjalan sedikit melewati sekretariat himpunan jurusan lain, maka mereka akan tiba di sekretariat jurusan Ilmu Sejarah.

"Terus, kenapa kamu penasaran soal jaket ini?" tanya Julian seraya menghentikan langkahnya karena Raina yang tiba-tiba berhenti.

"Apa Kakak pernah duduk di bawah pohon itu sambil baca Al-Qur'an dan pakai jaket ini?" tanya Raina seraya menunjuk ke arah deretan pohon akasia yang menaungi wilayah undakan tangga paling atas.

Bukannya menjawab Julian justru tertawa lagi. Merasa geli sendiri dengan pertanyaan Raina.

"Gimana jawabnya, ya?" tanya Julian bingung seraya mengelus-elus dagunya untuk berpikir. "Saya mah malu kalau baca Al-Qur'an di depan umum. Bacaan saya enggak begitu bagus."

"Oh, jadi enggak pernah, ya, Kak?"

"Memang kamu pernah lihat ada yang begitu?" tanya Julian penasaran.

"Iya."

"Mungkin yang kamu lihat orang lain."

"Apa Kakak tahu siapa kira-kira orang yang kemungkinan punya kebiasaan itu?"

Julian tertawa lagi. Lalu menatap Raina sembari menggeleng-gelengkan kepala karena tidak habis pikir. Ada orang yang sebegitu terobsesinya dengan pemilik jaket kepengurusan BEM angkatannya itu.

"Yang punya jaket ini ada puluhan. Saya enggak mungkin tanyain mereka satu-satu, kan?"

Kalimat terakhir Julian itu membuat Raina berpikir. Benar juga apa yang dikatakan oleh seniornya itu. Beberapa waktu lalu Raina juga sempat melihat tiga orang mahasiswi Ilmu Budaya yang memakai jaket itu. Tak lama setelahnya, ada dua orang mahasiswa yang ia tidak tahu angkatan dan jurusannya.

Sejauh ini, satu-satunya orang yang memiliki jaket itu dan Raina kenal dengan orangnya, ya, Julian. Pemuda itulah satu-satunya harapan Raina untuk mencari tahu perihal jati diri orang yang telah mencuri hatinya beberapa tahun silam.

Julian sudah lebih dulu beranjak ke arah sekretariat. Raina pun segera menyusul. Namun, netranya tidak sengaja melihat ke arah ruang sekretariat BEM di lantai dua. Dengan terpaksa untuk kali ini Raina lebih memilihi rapat himpunan.

Lalu tiba-tiba muncullah sosok Rein yang berdiri di koridor ruang sekretariat. Kedua tangannya bertumpu di pagar koridor. Netranya menyapu pemandangan di bawah sana dan fokusnya berhenti ketika tiba pada sosok Raina.

Mereka bertatapan selama sekian detik sebelum Raina lebih dulu mengalihkan pandangannya. Gadis itu mempercepat langkah ke arah sekretariat himpunan seraya bersyukur dalam hati bahwa pilihannya untuk ikut rapat himpunan adalah pilihan yang tepat karena Rein ternyata hadir di rapat BEM.

Namun, karena tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti tempo hari, Raina harus memberi kabar akan ketidakhadirannya.

Sejenak ia menjadi bimbang. Haruskah ia izin langsung ke ruang BEM? Namun, ia tidak ingin bertemu Rein. Jika memberi kabar lewat pesan pun, ke mana pesan itu harus ia kirim? Ke Luthfi sebagai penanggung jawab sementara, atau ke Rein?

Satu hal yang menjadi pertimbangan Raina adalah karena Rein sudah melihat keberadaannya, jadi ia putuskan untuk mengirim kabar itu kepada Rein. Agar Luthfi tidak perlu menjelaskan lagi nantinya.

To: Si Makhluk Es Batu
Aslkm, Kak. Mohon maaf saya izin tidak hadir rapat karena harus rapat himpunan di waktu yang bersamaan. Terima kasih.

Raina bahkan sampai menahan napasnya ketika menekan tanda kirim. Lalu mengembuskan napasnya dengan lega ketika pesan itu sudah terkirim.

Tidak sampai lima detik, rupanya Rein langsung membuka pesan itu dan membacanya. Namun, seperti tipikal Rein sebelumnya, pemuda itu tidak membalasnya.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang