10. Ego Laki-laki

154 45 2
                                    

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika Raina akan duduk bersebelahan dengan pemuda itu di bus yang akan mengantarnya pulang ke kosan di dekat area kampus. Dari sekian banyak bangku di bus itu, kenapa harus bangku di sebelah Raina yang kosong sehingga pemuda itu yang mendudukinya sekarang?

Pemuda itu adalah Reinaldi Mirza yang wajahnya terlihat begitu dingin bagi Raina. Pemuda yang beberapa waktu belakangan ini sering muncul di mana-mana. Membuat Raina merasa kesal sendiri karena teringat perlakuan pemuda itu sejak masa ospek yang menurutnya cukup menyebalkan.

Kondisi itu tentu membuat dirinya tidak nyaman. Tidak ada Afia di sana yang bisa Raina mintai tolong untuk menggantikan posisinya. Tidak juga beberapa teman seangkatannya yang lain. Mereka duduk berpencar dan asyik mengobrol masing-masing. Sementara Raina harus puas bercengkerama dengan sepi dan rasa canggung.

Beruntung gadis itu duduk di tepi jendela. Sehingga ia tidak perlu bersusah payah mengalihkan wajahnya dari Rein. Cukup menoleh saja ke jendela dan menikmati pemandangan yang tersaji di luar sana.

Tidak jauh berbeda dengan Raina. Rein pun berusaha untuk bersikap tak acuh dengan gadis yang duduk di sampingnya. Pemuda itu memasang earphone di telinga dan mendengarkan musik dari ponselnya. Bersikap seolah ia tidak mengenal Raina sama sekali.

Selama hampir separuh perjalanan kondisi itulah yang menaungi mereka. Sampai pada waktu kondektur bus mulai berkeliling meminta ongkos kepada para penumpang, Raina baru menyadari jika Rein sudah terlelap di sebelahnya. Kepala pemuda itu menyandar ke sandaran kursi dan matanya terpejam.

Pak kondektur sudah sampai ke kursi tempat mereka duduk. Raina mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan.

"Dua, ya, Neng?" tanya si bapak kondektur seraya melirik ke arah Rein yang masih tenang di alam mimpinya. Raina mengerti maksud si bapak.

Raina pun ikut melirik ke arah Rein yang tampak pulas. Mana ia dengar segala hiruk-pikuk di sekitarnya sementara telinganya ia sumpal dengan suara musik. Seketika hatinya menjadi dongkol teringat saat tragedi rebutan kamus tempo hari. Bukankah pemuda itu sempat menyindirnya karena mendengarkan musik sembari beraktivitas? Kini lihat dirinya sendiri. Juga melakukan hal yang sama.

"Satu aja, Pak." Raina menanggapi ucapan si bapak kondektur.

Si bapak kondektur yang tadinya tenang, kini sibuk mencari kembalian di antara tumpukan uang yang ada di tangannya. Berkali-kali menghitung lalu menatap Raina dengan tatapan bingung.

"Belum ada kembaliannya, Neng."

"Ya udah, Pak. Keliling aja dulu," ucap Raina seraya tersenyum maklum.

Si bapak kondektur langsung melanjutkan aktivitasnya menghampiri penumpang satu per satu untuk menagih ongkos dan meninggalkan sosok Rein begitu saja. Raina jadi kembali melirik pemuda itu dengan kesal. Enak saja jika dirinya harus membayari ongkos pemuda itu. Raina pun melengos dan melanjutkan acara menikmati pemandangan di luar jendela.

Namun, selang beberapa menit kegiatannya kembali terusik karena merasakan pergerakan di sebelahnya. Rein baru saja mengubah posisi duduknya miring ke arah Raina. Tangannya mendekap erat tas kamera yang sejak tadi ia letakkan di pangkuan dengan tali yang tergantung di pundak.

Dalam posisi seperti itu, Raina bisa melihat wajah tidur Rein dengan jelas. Untuk pertama kalinya Raina bisa melihat dengan jelas bagaimana hidung bangir dan alis tebal itu menghiasi wajah Rein. Pemuda itu sangat tampan sebenarnya, tetapi kalah dengan sikap arogan dan menyebalkannya itu.

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang