13. Satu Kelas

120 41 0
                                    

"Jadi, kamu udah nuduh Kak Rein buntutin kamu terang-terangan gitu? Ternyata dia bukan buntutin kamu, tapi emang kosannya searah sama kamu?" Afia mengulangi lagi cerita Raina beberapa saat lalu dengan lebih ringkas. Mereka usai mengikuti jam mata kuliah pertama hari itu dan bersiap mengikuti mata kuliah kedua di ruang aula.

"Iya, Fi." Raina menjawab dengan sedikit rengekan. Rasanya jika mengingat lagi kejadian malam itu, ingin rasanya tidak bertemu lagi dengan Rein. Namun, itu, kan, hal yang tidak mungkin. Meskipun mereka berbeda jurusan, tetapi potensi untuk bertemu akan besar kalau masih berada dalam satu fakultas yang sama.

"Aku enggak kebayang jadi kamu, Rain. Mungkin aku akan langsung kabur saat itu juga." Afia ikut-ikutan bersikap dramatis dengan menutupi separuh wajahnya dengan tangan.

"Ya, itu yang aku lakuin. Aku langsung balik kanan dan ngacir. Udah enggak punya muka lagi aku, tuh," timpal Raina heboh.

"Astaga, astaga! Kok, aku yang jadi deg-degan gini ngebayanginnya." Kini Afia beralih memegangi dadanya.

"Enggak usah dibayangin. Hal yang memalukan juga, enggak pantes buat diinget. Pantesnya dimasukin ke peti besi terus digembok, dikubur dalem-dalem." Raina berkata penuh semangat, bahkan sembari mengepalkan tangannya.

"Tapi, omong-omong, kalau memang Kak Rein mau pulang ke kosannya, kenapa dia lewat gang yang remang-remang itu juga? Kan dia bisa aja lewat gang yang biasa? Kenapa dia ngikutin kamu lewat situ?" tanya Afia keheranan.

Raina pun tertegun. Benar juga perkataan Afia. Ia pun kini jadi ikut bertanya-tanya, kenapa Rein juga lewat gang remang-remang itu?

Saat itulah dari kejauhan netranya menangkap sosok Rein sedang berjalan di ujung koridor. Jika mereka meneruskan perjalanan ke arah yang sama, sudah pasti mereka akan berpapasan. Bagaimana ini? Raina masih belum siap mengatasi rasa malunya. Seketika ia menjadi panik.

"Fi, arah jam dua belas." Raina segera menutupi wajahnya dengan tas ransel.

"Jam dua belas?" Afia yang masih belum mengerti maksud Raina langsung celingukan.

"Itu ... si makhluk es batu." Raina mengintip sedikit dari celah tasnya. Sosok itu semakin mendekat. Untungnya pemuda itu masih fokus dengan layar ponsel di tangannya.

"Hah? Kak Rein?" pekik Afia dengan suara yang tidak bisa dibilang pelan karena begitu terkejut.

Bukannya memberi jalan keluar, kelakuan Afia barusan justru menimbulkan masalah baru. Bagaimana jika pekikan Afia itu didengar oleh yang bersangkutan? Raina tidak mau mengambil resiko terhempas dalam kubangan rasa malu untuk kedua kalinya. Jadi, tanpa aba-aba ia langsung berbalik arah. Bersikap seolah ia tidak mengenal Afia.

Dengan langkah tergesa dan tak memedulikan Afia yang terus-terusan memanggil namanya, Raina pergi menghindar. Ia lupa jika wajahnya masih ia tutupi dengan tas ransel. Hingga tubuhnya menabrak seseorang dan limbung hingga jatuh berdebam di lantai koridor.

"Rain!" pekik Afia untuk kedua kalinya. Tergopoh-gopoh gadis itu menghampiri temannya. Bermaksud untuk menolong. Namun, terlambat. Orang yang ditabrak oleh Raina tadi telah mengulurkan tangannya. Menarik ujung tangan kemeja Raina hingga gadis itu bisa berdiri lagi.

"Maaf, ya, Dil. Enggak sengaja." Raina berujar seraya memakai kembali ranselnya yang terjatuh di lantai.

"Ini yang kedua kalinya. Sekali lagi nabrak, aku kasih payung cantik. Mau?" kelakar Fadil sembari memukul pelan kepala Raina dengan gulungan kertas yang sedang dibawanya.

"Idih, lagaknya udah kayak toko kelontong bagi-bagi payung cantik," ledek Raina sembari tergelak. Perihal kemunculan Rein di ujung lorong sudah dilupakannya.

"Lo lagi, lo lagi. Sering bener, sih, gue ketemu lo. Bosen gue." Afia yang sudah berada di antara mereka langsung mengomentari kehadiran Fadil.

"Sana lo pindah jurusan biar gak ketemu gue lagi," sungut Fadil sembari memukul kepala Afia dengan gulungan kertas sama seperti yang dilakukannya kepada Raina beberapa saat lalu. Namun, untuk Afia ia memukul cukup kuat. Membuat gadis itu terpekik lagi.

"Sakit, tau! Dasar Kudil!" ledeknya kemudian.

"Sini lo potongin gue kambing sama bikinin bubur merah putih. Seenaknya aja ganti nama gue. Mahal tau gak ngasih nama anak, tuh!" protes Fadil yang membuat Raina kembali tertawa terbahak-bahak.

Di kejauhan sepasang mata Rein mengamati semuanya sejak tadi. Sejak Raina berbalik kemudian jatuh karena bertabrakan dengan Fadil, hingga adegan pukul kepala pelan yang diiringi gelak tawa. Ada riak aneh dalam benaknya ketika melihat pemandangan itu. Namun, Rein berusaha membuangnya jauh-jauh. Tidak ingin terusik oleh perasaan sia-sia macam itu.

Ia pun berbelok ke arah tangga menuju aula gedung B. Tempat mata kuliah umum Manusia dan Kebudayaan Indonesia akan berlangsung sebentar lagi. Ia sudah ada janji dengan Prof. Yanuar untuk konsultasi tugas akhirnya.

"Omong-omong, kenapa lari ke arah sini? Bukannya sebentar lagi kita ada kuliah umum MKI di aula?" tanya Fadil usai tawa mereka mereda.

"Nah, itu yang gue heran. Makanya gue ngejer Raina buat mengembalikan dia ke jalan yang benar." Afia menimpali.

"Ye, gue enggak nanya lo. Gue nanya Raina," ledek Fadil seraya menjulurkan lidahnya puas.

"Enggak bisa dibiarin, nih, bocah dua. Bakalan berantem terus enggak udah-udah. Ujung-ujungnya telat, deh, masuk kelas," ujar Raina seraya menggamit tas ransel Fadil dengan tangan kiri dan menarik tangan Afia dengan tangan kanannya. Kemudian menyeret mereka berdua untuk naik ke lantai tiga tempat kuliah umum berada.

"Kita mau digeret ke mana ini, Rain?" tanya Afia setengah protes.

"Kuliah umum," jawab Raina santai. Ia cukup lega ketika berbalik dan tidak menemukan Rein di tempatnya semula. Pemuda itu sudah pergi, jadi Raina tidak perlu menghindar lagi.

Berbeda dengan Afia yang agak protes diseret seperti itu oleh Rain, Fadil justru tenang-tenang saja. Wajahnya tersenyum seolah menikmati momen-momen itu.

Setibanya mereka di ruang aula yang bisa memuat ratusan mahasiswa, Raina baru melepaskan kedua teman satu jurusannya itu. Kondisi aula masih tergolong sepi. Hanya ada belasan mahasiswa dari jurusan lain yang sudah ada di sana. Niat awalnya ia ingin duduk di kursi agak ke tengah. Bagian itu yang biasanya ditempati oleh rekan-rekan satu jurusannya. Namun, langkahnya membeku ketika menemukan sosok Rein sedang duduk di salah satu kursi yang ada di deretan paling belakang.

Belum lagi Raina sempat menyembunyikan wajahnya, Fadil sudah keburu memanggil pemuda itu.

"Kak Rein," sapanya sok ramah. Anehnya justru disambut senyum dan lambaian tangan dari pemuda itu.

Seketika Raina berbalik badan untuk menghindari kontak mata. Pelan-pelan ia menarik Afia untuk duduk di bangku pojok paling depan dekat jendela. Sebisa mungkin harus jauh dari Rein.

"Fi, memangnya kita kuliah umumnya ada bareng sama jurusan Sastra Belanda?" tanya Raina dengan suara agak berbisik.

"Setahuku enggak. Kita barengnya sama Sastra Indonesia, Sastra Sunda, Sastra Inggris, sama Sastra Jepang." Afia menjawab dengan wajah keheranan.

"Terus kenapa makhluk es batu itu ada di sini?" tanya Raina dengan ekspresi wajah memelas. Seolah ingin kabur dari kelas itu dan membolos.

"Apa mungkin dia jadi asistennya Prof. Yanuar?"

"Hah?"

Seketika wajah Raina menjadi bengong. Seperti jiwanya baru saja meninggalkan raga. Tidak tahu harus merespons apa untuk analisis Afia barusan. Maksudnya Rein akan mengajar mereka, begitu? Jika analisis Afia itu benar, lalu nasib mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesianya bagaimana?

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang