18. Flashback

346 77 22
                                    

Beberapa tahun lalu.

"Aduh, di mana, sih?" keluh Raina sembari menggerak-gerakkan kakinya. Kadang setengah berjongkok, kadang berdiri. Wajahnya pun sesekali terlihat meringis tak nyaman. Sebutir peluh mulai tampak di dahinya. Padahal udara sekitar cukup sejuk untuk berpeluh.

Sejak tadi ia mondar-mandir di area itu. Rasanya sudah di ujung tanduk, tetapi ruangan bertuliskan toilet dengan tanda gambar perempuan di daun pintunya belum juga ia temukan. Padahal tadi salah seorang kakak mahasiswa yang ditanyainya menunjuk ke arah tempat ia berdiri.

Apa ia dikerjai? Namun, ini bukan musim ospek. Ia hanya seorang gadis berseragam abu-abu yang sedang mengikuti kunjungan study tour sekolah ke kampus itu dan sekarang sedang mencari toilet untuk menuntaskan hajatnya yang begitu mendesak.

Iya, hanya itu.

Rasanya keterlaluan sekali jika ada yang berniat mengerjai. Namun, orang iseng mana yang sengaja ingin mengerjainya? Mungkin imajinasinya saja yang sudah kacau akibat desakan hajat yang semakin menjadi.

Di tengah rasa putus asanya, Raina terus berjalan tak tentu arah. Berharap di tengah perjalanannya ia bisa menemukan tempat yang ia cari. Sembari bertanya-tanya dalam hati kenapa tempat yang ia lalui ini begitu sepi? Tak ada seorang mahasiswa pun yang ia lihat berkeliaran di sekitar sana.

Kakinya terus melangkah hingga ia
melihat masjid tak jauh dari gedung tempat ia berada. Ia berpikir mungkin di masjid itu ia bisa menemukan toilet. Segera diseberanginya koridor beralas ubin itu dengan langkah terburu. Begitu menemukan toilet di masjid itu, Raina mengembuskan napas dengan sangat lega.

Tak sampai lima menit waktu yang ia butuhkan untuk menyelesaikan hajatnya. Setelah mencuci tangannya terlebih dahulu, ia keluar dan berdiri di pelataran masjid. Seketika ia bingung. Tadi ia datang dari arah mana? Ia lupa karena terlalu fokus menahan desakan di bawah sana sehingga tidak memperhatikan sekitar.

Matanya mengedarkan pandangan. Siapa tahu ada orang yang bisa ia tanyai. Namun, tidak ada orang di dekatnya saat itu. Ia pun berjalan mendekati sebuah gedung yang terletak paling dekat dengan masjid. Samar-samar ia mendengar seseorang sedang bernyanyi dengan suara sumbangnya. Diiringi dengan petikan gitar dan sesekali dihiasi oleh suara tawa. Raina yakin ada orang di depan gedung itu yang bagian belakang bangunannya berhadapan dengan bangunan masjid.

Hingga pandangannya jatuh kepada sesosok pemuda yang sedang duduk di bawah pohon akasia seorang diri tak jauh dari pelataran. Mulutnya komat-kamit melantunkan ayat-ayat dari mushaf yang sedang dibacanya.

Wajah pemuda itu tidak terlihat jelas karena agak membelakanginya. Suaranya terdengar samar-samar karena terbawa angin yang sedang berembus sepoi-sepoi. Satu hal yang melekat erat dalam ingatan Raina adalah jaket yang dipakai oleh pemuda itu.

Di bagian lengan jaketnya ada bordiran bendera Indonesia. Sementara di bagian punggung jaket pemuda itu ada sebuah tulisan yang terpotong. Raina hanya bisa melihat kata agen yang juga dibordir. Raina penasaran sehingga ia bergerak ke arah belakang pemuda itu agar bisa membaca tulisannya dengan utuh. Agen Perubahan. Dua kata itulah yang tertulis di bagian belakang jaket bomber berwarna hitam itu.

Gadis itu tertegun sejenak menatap sang pemuda dan tanpa sadar sejak saat itu hatinya telah tercuri. Sehingga membuatnya merasa harus kembali ke kampus itu suatu hari nanti untuk menyelamatkan hatinya.

Pemuda itulah alasannya berhijrah menutup aurat dan memutuskan untuk meneruskan pendidikannya di Fakultas Ilmu Budaya.

🌧️☔🌧️


"Rain," panggil Afia ketika melihat sahabatnya itu terdiam dengan mata menerawang. Saat itu mereka sedang duduk di teras masjid kampus selepas salat Asar. Menemani Afia menunggu rapat departemennya dimulai.

"Eh, iya, kenapa, Fi?" tanya Raina gelagapan.

"Cerita kamu belum selesai. Memangnya ada apa sama jaket yang dipakai kak Julian?" Afia bertanya dengan binar mata penasaran.

Raina mengatakan akan menceritakan semuanya kepada sahabatnya itu seusai Julian menjelaskan perihal jaket yang dipakainya. Namun, di tengah-tengah cerita Raina terdiam sejenak ketika ingatannya sampai pada sosok pemuda yang sedang mengaji di bawah pohon akasia kala itu.

Siapa pemuda itu? Bagaimana kabarnya sekarang? Apa sosok pemuda yang Raina lihat itu adalah Julian? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuatnya terdiam cukup lama.

"Iya, kayak aku pernah lihat jaket itu di suatu tempat. Kayak enggak asing gitu. Mungkin aku pernah lihat waktu study tour ke sini dulu."

Raina tidak menceritakan semuanya karena harus menjaga hati Afia. Ia belum bisa memastikan bahwa orang yang ia lihat beberapa tahun lalu itu apakah Julian atau orang lain. Mengingat jawaban Julian tentang jaket itu beberapa waktu lalu sangat tidak memuaskan rasa ingin tahunya.

Julian mengatakan jaket itu adalah jaket kepengurusan BEM ketika ia pertama kali menjadi pengurus. Bisa jadi orang yang Raina lihat bukanlah Julian. Bisa jadi pengurus yang lain atau bahkan senior yang sudah lulus dari kampus. Ia tidak ingat jelas bagaimana perawakan pemuda itu.

"Jangan-jangan waktu kamu study tour ke sini terus denger orang nyanyi-nyanyi dengan suara sumbang itu kak Julian?" tanya Afia lagi. Teringat akan cerita Raina yang terhenti di tengah jalan tadi.

"Bisa jadi. Aku enggak lihat jelas mukanya." Raina menjawab tak acuh. Ia tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini lagi. Pikirannya cukup kacau membayangkan seandainya saja orang yang ia lihat waktu itu benar Julian. Bagaimana harus menghadapi Afia ke depannya?

"Rencana kamu apa abis ini?" tanya Afia seraya memakai sepatu ketsnya. Bersiap untuk meninggalkan masjid kampus.

"Pulang aja, deh, ke kosan. Rapatnya kan enggak jadi."

"Aku duluan kalau gitu, ya. Udah mau jam empat." Afia berpamitan pergi sekretariat BEM untuk mengikuti rapat PSDM.

Raina pun mulai beranjak dari sana. Berjalan seorang diri menyusuri jalan setapak beralaskan batako menuju ruang terbuka pertunjukan budaya dengan undakan tangga yang ada di kanan kirinya. Pikirannya kembali melayang ke masa itu, ketika ia masih memakai seragam abu-abu. Berdiri di tempatnya sekarang dengan kebingungan.

Lalu seperti deja vu, Raina melihat sesosok pemuda sedang duduk di bawah pohon akasia. Sama persis seperti yang pernah dilihatnya dulu. Posisi pemuda itu duduk agak membelakanginya. Mulutnya berkomat-kamit membaca mushaf yang sedang dipegangnya. Yang membedakan hanya pemuda yang sekarang tidak memakai jaket yang menarik perhatian Raina.

Perlahan gadis itu tersenyum menatapnya. Membayangkan pemuda yang waktu itu ada di sana. Dengan membayangkannya saja hati Raina sudah seperti dipenuhi oleh kupu-kupu.

Lalu sebuah suara dari arah belakang Raina berdiri membuyarkan semua dunia imajinya.

"Rein, belum pulang?" tanya suara itu kepada pemuda yang sedang dipandangi Raina sejak tadi.

"Rein?" tanya Raina pelan tanpa sadar.

Sosok pemuda itu menoleh ke arah orang yang memanggilnya, tepat searah dengan posisi Raina berdiri saat itu. Tatapan mereka sempat bertemu sekian detik sampai Raina yang mengalihkannya lebih dulu.

Dengan tergesa gadis itu berjalan menuruni undakan tangga ruang pertunjukan terbuka. Jantungnya jadi berdebar dua kali lipat usai mengetahui bahwa pemuda yang dipandanginya sejak tadi adalah Rein.

Mungkinkah, pemuda itu?

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang