62. Mengambil Keputusan

66 12 0
                                    

Sejak mengikuti kajian keputrian rohis, Raina banyak merenung. Materi yang disampaikan selama acara itu berlangsung telah mengubah pola pikirnya secara drastis. Dirinya jadi bisa memandang perasaannya kepada Rein secara objektif dan realistis.

Sejak awal ia sadar ada sesuatu yang salah di antara mereka. Namun, salah satu sisi hatinya yang sudah terpapar virus merah jambu menyangkal itu semua sehingga perasaan Raina jauh mendominasi ketimbang logika.

Berawal dari rasa penasaran, kemudian berusaha mencari tahu, interaksi yang intens karena terlibat dalam suatu urusan---dalam kasus Raina satu organisasi---telah menjadikan mereka terbiasa bersama. Jika keberadaan salah satunya tidak ada, maka rasanya seperti ada yang hilang. Begitulah gejala awal dari perasaan yang sudah terjangkit virus merah jambu. Raina sadar ia sudah terpapar sejak lama.

Ceritanya menjadi lain ketika orang yang ia cintai mengetahui perasaannya dan bahkan memiliki perasaan yang sama. Seharusnya perasaan itu menjadi rahasianya saja. Seharusnya Raina memendam perasaan itu di lubuk hatinya yang terdalam. Karena sejatinya perasaan cinta hanya layak diperuntukkan bagi pasangan halalnya.

Jikalau Rein sudah berniat ingin menikahinya bukan berarti perasaan itu seketika berubah menjadi halal karena belum ada ikatan apa pun di antara mereka. Namun, yang belakangan ini Raina rasakan mereka seperti sudah saling memiliki.

Padahal berdasarkan materi yang ia dapat ketika mengikuti kajian, menikah dalam usia muda bukanlah satu-satunya solusi untuk meredam virus merah jambu ini. Memang ada beberapa pasangan yang menikah muda dan berhasil mengarunginya selama belasan bahkan sampai puluhan tahun. Namun, tidak sedikit pula yang gagal karena faktor kesiapan mental, dan faktor-faktor lainnya.

Benar kata ayahnya tempo hari bahwa menikah itu bukan main-main. Menikah itu separuh agama. Balasannya surga jika berhasil menjalaninya dengan baik. Namun, bukankah untuk mendapatkan surga tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan? Jika sesuatu yang imbalannya rumah atau mobil senilai milyaran saja susah dilakukan, apalagi ini yang imbalannya surga. Sesuatu yang kenikmatannya tidak bisa dibandingkan dengan nikmat apa pun yang ada di dunia ini. Bahkan dunia dan seisinya saja tidak ada apa-apanya.

Tidak mudah menjalani pernikahan. Raina merasa belum cukup ilmu, belum siap secara mental, dan yang paling penting belum mendapat restu sepenuhnya dari sang ayah sehingga rasanya sangat berat untuk melangkah lebih jauh.

Tidak ada jalan lain selain harus mengakhirinya lebih cepat. Agar hati-hati mereka bisa lebih terjaga. Agar bekas luka yang ditimbulkan tidak terlalu dalam. Agar tidak ada yang tersakiti. Agar semuanya tidak terlambat. Yang terpenting lagi, agar Allah ridho dengan segala apa yang mereka lakukan.

Di tengah isakan tangisnya dalam sujud-sujud panjang di sepertiga malam, Raina telah memutuskan. Hatinya semakin mantap untuk menyerahkan semuanya kepada Sang Pengatur Kehidupan. Berusaha sekeras mungkin untuk percaya bahwa jika mereka memang berjodoh, Allah akan menyatukan mereka dengan cara apa pun yang tidak akan terduga.

Untuk sekarang, Raina rasa langkah yang akan ia ambil ini yang paling tepat.

🌧️☔🌧️

Seluruh mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah angkatan Raina sudah berkumpul di pelataran parkir gedung dekanat. Semua membawa tas keperluannya masing-masing untuk melaksanakan kegiatan KKL di Provinsi Banten selama kurang lebih tiga hari.

Bus yang akan membawa rombongan sudah siap sejak tadi. Namun, mereka belum juga naik ke atasnya. Para dosen penanggung jawab sedang mengecek kelengkapan peserta dan beberapa hal lainnya. Termasuk memberi pengarahan mengenai apa saja yang akan mereka lakukan selama di sana dan ke mana saja mereka akan berkunjung.

Satu-satunya hal yang membuat mereka bersorak senang adalah ketika kepala prodi mereka mengatakan bahwa sebelum kembali ke Bandung, mereka akan mampir ke Pantai Carita, Anyer. Tentu saja informasi itu membuat semuanya kegirangan. Mengingat di Bandung sendiri tidak memiliki wisata pantai. Berkunjung ke pantai menjadi satu hal yang dinanti-nantikan.

"Kamu lesu banget, kayak enggak semanget gitu mau KKL," ujar Afia ketika melihat Raina hanya terdiam. Ia bahkan tidak tersenyum sama sekali ketika teman-temannya yang lain bersorak senang.

"Iya, gitu?" tanya Raina seadanya.

"Kenapa, sih?" tanya Afia gusar. "Masih masalah Kak Rein? Maaf, ya, itu salahku."

"Ya Allah, Fi. Aku udah lupain itu. Jangan diungkit lagi."

Afia berpikir Raina masih murung karena peristiwa sebelum liburan tempo hari. Ketika secara tidak sengaja Afia membeberkan kriteria cowok idaman Raina yang ciri-cirinya sudah diketahui oleh Rein kalau orang itu adalah dirinya. Padahal sudah berkali-kali Raina bilang itu bukan salah Afia sepenuhnya.

"Itu bukannya Prof. Yanuar, ya?" tanya salah seorang teman satu jurusan Raina yang perempuan.

Setahu mereka Prof. Yanuar itu dosen Jurusan Antropologi Sosial yang kebetulan mengisi mata kuliah Manusia dan Kebudayaan Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya. Sementara jurusan Antropologi Sosial sendiri adanya di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Afia yang penasaran langsung menoleh ke arah deretan para dosen yang berkumpul di depan barisan mereka.

"Rain, itu bukannya Kak Rein, ya?"

Darah Raina langsung berdesir hebat ketika mendengar nama itu disebut. Dengan refleks, Raina pun menoleh ke arah deretan para dosen. Benar saja. Pemuda itu ada di sana. Membawa tas seperti yang lainnya. Apa yang dilakukan Rein di sana?

"Perjalanan kita kali ini akan ditemani sama Prof. Yanuar. Kebetulan beliau sedang ada penelitian tentang Banten. Jadi, nanti yang mau tanya-tanya jika berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat Banten, bisa diskusi dengan beliau, ya. Beliau siap ditanya-tanya, katanya." Terdengar kepala jurusan mereka menjelaskan tentang keberadaan Prof. Yanuar dalam rombongan mereka.

"Apa mungkin Kak Rein jadi asisten penelitiannya Prof. Yanuar?" Afia mulai berspekulasi.

"Memang ada hubungannya Antropologi sama Sastra Belanda?" Raina menyangsikan analisis Afia kali ini.

"Lah, terus ngapain dong itu makhluk es batu di situ?"

"Entah." Raina mengedikkan bahunya tak acuh. Berusaha untuk tidak ambil pusing soal keberadaan Rein. Ia sedang dalam fase menganggap Rein sebagai pemuda biasa seperti halnya ia menganggap Fadil, Tito, Dimas, dan teman-teman sekelompoknya yang lain.

Ketika Raina menoleh ke arah depan lagi, tatapan mereka bertemu. Ada banyak tanda tanya dalam sorot mata itu. Raina tahu, tetapi tidak sanggup untuk menjawabnya.

Sejak ia punya keputusan soal perasaan dan hubungan mereka belakangan ini, Raina nyaris tidak pernah lagi membalas pesan-pesan dari Rein. Apalagi telepon dan panggilan video.

Pesan terakhir yang Rein kirimkan kepadanya dan belum ia balas hingga detik itu adalah pesan dua hari yang lalu saat Rein memberitahunya hari itu ia sidang skripsi. Rein meminta doa agar semuanya diperlancar. Meskipun Raina tidak membalas pesan itu, tetapi doa terus mengalir untuk Rein.

Melihat tatapan itu, Raina langsung memalingkan wajahnya. Tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Raina harus benar-benar menjaga hatinya kali ini jika ingin benar-benar melepaskan Rein. Melepaskan untuk kebaikan mereka bersama.

Rasanya begitu menyiksa, tetapi Raina yakin lambat laun rasa sakitnya  akan berkurang. Seperti halnya orang yang tertusuk jarum. Awalnya sakit, bahkan berdarah. Namun, perlahan rasa sakit itu akan hilang. Ia pun berharap bisa seperti itu.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang