71. Seandainya Saja

74 17 0
                                    

Sebenarnya Raina tidak ingin merepotkan semua orang. Apalagi membuat panik kedua orang tuanya yang langsung pergi ke Bandung begitu mendengar kabar dari ibu kos bahwa Raina pingsan di warung makan. Kejadian yang memalukan jika diingat.

Ketika Fadil dibantu membawa Raina ke rumah sakit terdekat, ada beberapa warga yang berinisiatif memberi kabar ibu kos Raina bahwa salah satu penghuni kosnya harus dibawa ke rumah sakit karena pingsan dua kali.

Saat itulah ibu kos Raina berinisiatif memberi tahu orang tuanya. Padahal Raina sudah melarang Fadil dan Afia untuk memberi tahu orang tuanya. Namun, kini keduanya sudah berada di rumah sakit. Mereka tiba pukul sembilan malam. Sang ayah sendiri yang menyetir mobil dari Jakarta.

Hari sudah larut dan orang tua Raina sudah datang. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Afia dan Fadil di sana sehingga keduanya pamit undur diri.

"Kamu pulang naik apa, Fi?" tanya Raina khawatir. Sudah selarut itu, tidak ada lagi bus yang beroperasi. Jika naik angkot, Raina tidak tega membiarkan temannya itu seorang diri.

"Aku yang anter Afia," sahut Fadil.

"Kalian naik apa?" tanya bunda yang ikut khawatir.

"Bisa naik angkot atau taksi."

"Bunda temani Raina, ya. Biar ayah yang antar mereka pulang."

"Enggak usah repot-repot." Fadil hendak menolak. Sejak tadi ia terlihat kurang nyaman. Namun, ayah Raina langsung menepuk pundaknya seraya mengajak mereka untuk jalan bersama.

"Kalian udah bantu Raina sejauh ini. Mana mungkin om biarkan kalian pulang naik taksi. Enggak apa-apa. Biar om antar pakai mobil, ya."

Mereka tidak bisa lagi menolak. Sementara Raina langsung merasa lega.

Sepeninggal mereka, bunda mendekati Raina dan menatapnya khawatir.

"Apa kata dokter, Mbak?"

"Kecapean, Bun," jawab Raina merasa enggan. Ia sungguh merasa bersalah telah membuat ayah dan bunda sampai jauh-jauh datang ke Bandung. Seolah kepercayaan yang mereka berikan untuk Raina merantau jauh dari rumah telah ia sia-siakan.

"Ya Allah." Bunda langsung memeluk Raina dengan erat dan mengelus kepalanya dengan sayang.

"Maaf, ya, Bun. Padahal aku enggak apa-apa beberapa hari lagi juga pulih. Tapi, ayah sama Bunda sampe jauh-jauh dateng ke sini."

"Ayah kamu panik banget, Mbak. Bunda aja sampe ikutan panik lihatnya. Tadinya malah mau ke sini sendiri. Bunda maksa ikut karena khawatir. Namanya orang panik, takutnya enggak konsentrasi nyetirnya."

Semakin saja Raina merasa bersalah. Setelah adegan peluk-pelukan itu bunda pun menyuruh Raina untuk beristirahat. Namun, Raina tidak bisa tidur. Kepalanya banyak hal berkelebatan tanpa lelah. Ia sampai berpikir apa minta diresepkan obat tidur saja agar bisa beristirahat.

Sekitar satu jam kemudian, ketika Raina sudah hampir memejamkan matanya, Afia mengirim pesan.

Afi_Cute
Maaf, Rain. Aku cerita semuanya ke ayah kamu. Beliau terus mendesak dan aku enggak enak kalau diem aja. Tapi, aku enggak cerita detil, kok. Nanti mungkin ayah kamu akan tanya-tanya lagi sama kamu.

Saat itu, barulah Raina mengerti maksud sang ayah kenapa ingin mengantar Afia dan Fadil pulang. Rupanya ingin mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya. Sang ayah tahu benar jika putri semata wayangnya adalah orang yang tangguh dan tidak mudah tumbang. Tentu ia merasa heran kenapa Raina bisa sekacau ini hingga pingsan dan masuk rumah sakit.

Untungnya, sekembalinya sang ayah dari mengantar Afia dan Fadil pulang, pria paruh baya itu tidak bertanya apa-apa lagi. Ia bahkan menyuruh Raina untuk beristirahat ketika melihat sang putri belum juga memejamkan mata selarut itu.

Bahkan Raina sempat curi dengar ketika baru saja memejamkan matanya.

"Mau ke mana, Yah?" tanya bunda.

"Mau ke dokter jaga. Tanya kondisinya. Kalau memungkinkan, besok kita bawa Raina pulang ke Jakarta."

Raina diam saja. Tidak tahu harus merespons apa atas keputusan sang ayah itu. Ia sudah sangat lelah secara fisik dan psikisnya.

🌧️☔🌧️

Setelah melalui berbagai pemeriksaan---termasuk pemeriksaan darah dan kondisi lambung---Raina diperbolehkan pulang menjelang tengah hari.

Dokter memberi banyak catatan, mengingat Raina akan melalui perjalanan yang lumayan jauh. Termasuk merekomendasikan untuk pergi ke rumah sakit yang ada di Jakarta apabila gejalanya tidak segera membaik dalam tiga hari ke depan.

Raina sempat meminta untuk pulang ke kosan saja, tetapi sang ayah bersikeras akan membawanya pulang ke rumah dengan alasan di kosan tidak ada orang yang merawatnya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasrah. Lagipula tubuhnya memang masih terasa lemas. Nafsu makan juga masih belum ada.

Dalam perjalanan ke Jakarta itulah sang ayah mulai melancarkan interogasinya. Begitu melewati pintu tol, dimulailah pembicaraan itu.

"Kamu sampai nge-drop begitu karena patah hati?" tanya sang ayah seraya melirik kaca spion tengah mobil. Bayangan Raina yang terduduk lemas di kursi belakang tampak di sana.

Bunda yang duduk di kursi depan samping ayah menyetir langsung refleks menoleh ke belakang. Seakan ikut bertanya dengan tatapan matanya yang penuh penasaran itu.

Raina tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Ia sendiri masih bingung dengan perasaannya yang campur aduk. Bahkan kemarin waktu Raina menyibukkan dirinya, ia sempat lupa kalau sedang patah hati. Namun, ternyata membawa dampak yang buruk bagi kesehatan fisiknya.

"Mbak, kamu ditanya ayah." Bunda mengingatkan ketika Raina hanya terdiam.

"Ayah udah tahu semuanya, 'kan? Afia udah kasih tahu aku kalau ayah menginterogasi dia dan Fadil." Raina akhirnya buka suara.

"Laki-laki bukan hanya dia di dunia ini, Raina." Sang ayah berujar tegas.

Bahkan cara ayahnya memanggil namanya begitu mengingatkan Raina dengan cara Rein memanggil dirinya. Gadis itu menghela napas dengan berat. Logikanya setuju dengan perkataan sang ayah, tetapi hatinya berkata lain. Saat itu, perasaan di dalam hatinyalah yang mendominasi.

"Aku tahu, Yah. Tapi, ini ranahnya perasaan. Bukan logika."

"Terus kamu masih berharap sama laki-laki yang sudah menikah? Kamu mau hancurin rumah tangganya atau gimana?" Sang ayah tampak mulai emosi. Bunda langsung cepat-cepat mengelus lengan ayah dengan lembut untuk menenangkannya.

Raina terdiam lagi. Perkataan sang ayah seolah telah membangunkannya lagi dari mimpi.

"Raina butuh waktu, Yah. Enggak mungkin bisa lupa secepat itu." Sang bunda angkat bicara.

"Mau berapa lama? Apa perlu ayah pindahin kamu kuliah di kampus lain biar enggak keinget lagi sama dia setiap kuliah?"

Raina menatap sang ayah dari kaca spion dengan tatapan terkejut. Bukan melarikan diri seperti itu satu-satunya jalan keluar. Masih banyak cara lain. Bundanya benar kalau Raina hanya butuh waktu dan kepercayaan untuk dirinya bisa bangkit lagi.

"Enggak, Yah. Susah payah aku bisa diterima di sana. Mana mungkin aku keluar gitu aja," tolak Raina kemudian.

"Kalau gitu tunjukin ke ayah kalau kamu bisa dipercaya. Jangan ada lagi cerita nge-drop karena masalah cowok. Jangan ada lagi cerita patah hati. Jangan ada lagi cerita lama-lama dalam suasana melankolis. Hidup kamu masih panjang. Masih banyak hal-hal berharga lainnya yang bisa kamu lakukan. Kalau memang sudah siap menikah dengan segala konsekuensinya, menikahlah. Cari laki-laki lain yang kamu suka. Ayah enggak akan melarang kamu lagi."

Ucapan sang ayah itu terasa bagai angin segar bagi Raina. Ia tahu dibalik sikap tegasnya sang ayah begitu menyayanginya.

Namun, ada satu penyesalan yang terasa mengganjal di hatinya. Jika saja izin sang ayah untuk dirinya menikah diberikan lebih awal, mungkin saat ini dirinya yang bersama Rein.

Seandainya saja.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang