28. Gaya Komunikasi

85 25 0
                                    

Perut Raina keroncongan. Siang tadi ia lupa makan karena sibuk mencari Rein di kampus. Hal terbodoh yang pernah ia lakukan.

Ia pun memutuskan untuk membeli makan malam lebih awal. Selepas salat Asar ia pergi ke warung makan yang ada di dekat kosannya. Biasanya ia akan membeli makan sebelum Magrib atau bahkan setelah Magrib.

Ada untungnya ia ke warung lebih awal karena kondisi di sana masih sepi. Tak perlu mengantre atau berdesak-desakan seperti biasanya. Ia bisa bebas leluasa memilih lauk yang ia inginkan karena masih banyak pilihan.

Ketika hendak membayar makanannya, datanglah seorang pembeli lain. Namun, Raina tidak begitu memperhatikan. Ia malah terlalu fokus dengan ocehan si ibu warung yang asyik bercerita tentang harga bahan pokok di pasar.

Begitu Raina berbalik, ia berpapasan dengan orang yang baru saja datang itu. Raina tidak terlalu memperhatikan itu siapa karena ia berjalan seraya menunduk. Begitu juga dengan orang tersebut. Keduanya nyaris saja bertabrakan jika Raina tidak segera menghentikan pergerakannya.

Orang itu tidak kunjung bergerak. Jadi, Raina memutuskan untuk bergeser ke arah kanan. Tanpa disangka, orang itu juga ikut bergeser ke arah kanan. Raina mengubah arahnya. Ia bergeser ke sebelah kiri. Orang itu juga bergeser ke sebelah kiri. Mungkin hanya kebetulan. Jadi, Raina bergeser lagi ke kanan. Orang itu masih mengikuti langkahnya.

Sekali atau dua kali bisa saja hanya kebetulan mereka mengambil arah jalan yang sama. Namun, jika sudah tiga kali, rasanya sungguh aneh. Maka Raina pun mendongak untuk melihat siapa orang yang menghalangi jalannya sejak tadi.

Pupil Raina membesar ketika mengenali orang yang sedang berdiri di hadapannya. Pemuda itu pun sama terkejutnya ketika melihat Raina.

Sejenak mereka saling diam hingga akhirnya Raina yang memutuskan untuk beranjak. Ia bergeser ke arah kanan dan Rein tidak bergerak sama sekali.

"Raina," panggilnya ketika Raina sudah sampai di pintu warung.

Waktu seolah berhenti dalam dunia Raina. Itu kali kedua Rein menyebutkan namanya. Kali pertama ketika di ruang eksekusi saat Raina menerima hukuman. Namun, kali ini entah kenapa rasanya begitu berbeda.

"I-iya?" tanya Raina terbata seraya menghentikan langkahnya kemudian menoleh dengan gerakan pelan. Pasalnya ia ragu-ragu apa benar Rein yang barusan memanggil namanya?

"Bisa ngomong sebentar?" tanya Rein lagi.

"Di sini, Kak?" tanya Raina lagi.

Rein tampak celingukan ke arah bangku yang biasa digunakan untuk pembeli makan di tempat.

"Di sana?" Rein berkata lagi dengan nada bertanya.

Raina melirik sekilas ke arah deretan bangku panjang itu. Lalu tatapannya menyapu sekitar. Hanya mereka berdua? Tidak ada orang lagi di sana, kecuali ibu pemilik warung yang sedang sibuk merapikan tatanan makanan dagangannya. Dalam beberapa waktu ke depan warung ini akan segera diserbu oleh pembeli yang mencari makan malam.

"Bu, numpang duduk sebentar, ya." Rein meminta izin kepada ibu pemilik warung.

"Sok atuh Kasep." Ibu pemilik warung mengizinkan seraya tersenyum ramah.

Tanpa menunggu jawaban dari Raina, Rein berjalan lebih dulu dan memilih bangku di paling ujung dekat pintu masuk. Posisi yang lebih dekat dengan Raina berdiri saat itu. Dengan langkah ragu Raina pun mengikutinya dari belakang.

Keduanya sudah duduk saling berhadapan. Namun, tidak tampak ingin memulai pembicaraan. Rasanya begitu canggung dan tidak nyaman.

"Sudah dapat kabar dari Fara?" tanya Rein memecah keheningan.

"Sudah," jawab Raina datar. Jika sebelum ini rasanya Raina begitu kesal dan ingin marah-marah, tetapi kali ini ia seolah kehilangan nyali ketika berhadapan dengan orangnya langsung.

"Kapan rencananya mau mulai jalan?"

"Gimana mau jalan? Bahan yang mau disebar juga enggak ada," sungut Raina.

"Ada di saya semua undangan dan daftar fakultas yang harus diberi undangan."

"Oh."

Raina berlagak tidak tahu. Padahal 'kan ia sudah tahu dari Dita tadi siang.

"Sanggup keliling ke belasan fakultas sendirian?"

Pertanyaan itu membuat Raina menatap Rein tepat ke matanya. Jujur saja, bagi Raina pertanyaan itu tak ubahnya seperti ungkapan rasa ketidakpercayaan secara tidak langsung.

"Kakak meragukan saya?" tanya Raina sedikit tersinggung.

"Memang saya bilang begitu?" Rein bertanya balik.

"Bisa enggak, sih, Kak? Kakak enggak bikin orang salah paham?"

"Salah paham gimana?" tanya Rein tidak mengerti.

"Bener kata kak Mahesa tempo hari. Kakak, tuh, kalau ngomong suka enggak jelas, enggak tuntas. Terus slow respons banget lagi kalau komunikasi, tuh. Buat orang jadi menerka-nerka sendiri dan berpikir yang enggak-enggak. Capek tau, Kak. Soalnya saya bukan cenayang yang bisa nebak isi kepala Kakak. Bisa tahu apa yang Kakak mau," oceh Raina panjang lebar. Akhirnya emosi yang ia pendam selama ini bisa ia keluarkan sedikit demi sedikit.

Sementara Rein hanya bisa pasang wajah melongo tidak mengerti. Ia tidak tahu letak kesalahannya di mana. Ia juga merasa tidak ada yang salah dengan kata-katanya barusan.

Rein menghela napas sembari menatap Raina tidak mengerti.

"Sudah selesai?" tanya Rein kemudian.

"Sudah."

"Sekarang giliran saya yang bicara. Siapa coba yang ucapannya enggak jelas dan enggak tuntas? Bukannya kamu ...."

"Seharusnya ketika bertanya, Kakak, tuh, tanyanya gini, 'Kamu sanggup sebarin undangan ke belasan fakultas sendirian? Kalau enggak sanggup, biar saya bantu.' Begitu, Kak. Jadi, kan orang lain enggak salah paham ngira Kakak meragukan kemampuan saya. Begini, begini, saya udah sering ikut longmarch waktu di SMA. Sanggup saya jalan keliling kampus."

"Saya memang mau ngomong begitu," protes Rein.

"Terus kenapa berhenti sampe di sana pertanyaannya? Kenapa dipotong?"

"Ya, itu memang gaya ngomong saya begitu."

"Harus diubah, Kak. Biar orang enggak salah paham."

"Terus siapa kamu berhak atur-atur saya?"

Raina tertohok dengan pertanyaan itu. Siapa dirinya? Benar juga. Raina tidak berhak mengatur-atur apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh Rein. Gadis itu terdiam selama beberapa saat seolah telah ditampar oleh kenyataan.

"Ya, saya cuma kasih saran biar enggak ada korban salah paham lagi," gumam Raina begitu pelan. Sehingga Rein sampai mengernyitkan dahinya untuk mengerti maksud perkataan Raina.

"Memang siapa korbannya?" tanya Rein setelah mengerti maksud perkataan Raina.

"Banyak. Kak Mahesa, Fadil, saya juga ...." Suara Raina semakin melirih ketika menyebutkan dirinya.

"Ini, nih, yang saya enggak terlalu suka kalau berkomunikasi dengan perempuan. Omongannya berbelit-belit ke sana kemari, enggak bisa dimengerti. Sekalinya enggak dimengerti, mereka akan marah," balas Rein.

"Kok, jadi ngomentarin sifat perempuan, sih, Kak?" protes Raina. Gadis itu jadi merasa emosi lagi. Perutnya yang sudah lapar semakin bertambah lapar.

"Kamu duluan yang mulai," balas Rein lagi.

"Udah selesai belum ceramahnya? Kalau udah, mana undangannya? Saya mau pulang. Kelamaan duduk berdua di sini nanti muncul fitnah lagi." Raina membuang tatapannya ke lantai dengan wajah cemberut.

"Saya juga terpaksa ngobrol di sini. Enggak ada pilihan lain."

Raina menatap Rein lagi. Kali ini dengan tatapan super kesal. Rein pun membalas dengan tatapan yang sama. Lalu tiba-tiba muncul dua buah bunyi yang menghiasi keheningan di antara mereka. Bunyi itu adalah suara protes perut mereka yang lapar.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang