27. Surat Undangan

107 28 0
                                    

"Hah? Aku jadi apa?" Raina bertanya syok ketika Fara datang ke kamarnya malam itu selepas salat Isya untuk memberitahukan hasil rapat BEM tadi sore.

"Kamu jadi penanggung jawab sebar undangan ke seluruh fakultas," jawab Fara mengulangi pemberitahuannya.

"Sama kamu?"

"Enggak. Aku bertugas menghubungi pembicara."

"Wow, keren!" ucap Raina takjub. Sejak dulu ia selalu kagum dengan salah satu tugas humas yang satu itu. Seolah menjadi ujung tombak acara dengan menjembatani antara acara dan bintang acaranya.

"Kebetulan aku kenal dengan pembicaranya." Fara tersenyum.

"Tadi rapatnya cuma bahas itu?" tanya Raina lagi penasaran. Berhubung Rein sama sekali tidak membalas pesannya, Raina jadi ingin tahu reaksi pemuda itu.

"Iya. Pembagian tugas aja. Kamu kenapa enggak dateng rapat tadi?" tanya Fara kemudian yang jelas membuat Raina mengernyitkan dahinya. Memangnya Rein tidak memberitahukan alasannya?

"Aku udah izin sama Kak Rein."

"Oh, soalnya tadi beliau enggak bilang apa-apa."

Kenapa selalu begitu? Kenapa seolah ada sebuah benteng besar nan tinggi di antara mereka? Kenapa sikap Rein sedingin itu bahkan ketika di luar ospek sekalipun? Bukankah sikap seperti itu membuat orang lain berpikir yang tidak-tidak? Tidak bisakah pemuda itu bersikap sewajarnya saja? Sehingga Raina tidak perlu menerka-nerka apa yang pemuda itu pikirkan? Ia terlalu misterius untuk ditebak.

Namun, setelahnya Raina tersadar. Untuk apa coba ia merasa penasaran dengan Rein yang misterius? Pemuda itu saja belum tentu memikirkannya. Memangnya siapa Raina? Sampai seorang Rein mau memikirkannya? Bagi Rein, mungkin Raina tak ubahnya seperti seorang mahasiswa baru tak taat aturan yang berisik. Juga terlalu penuh tangki percaya dirinya.

Mengingat semuanya, Raina seperti ingin terjun bebas jungkir balik di udara.

"Terus, untuk surat undangan dan daftar fakultas yang akan dikasih undangan, aku bisa minta ke siapa? Di setiap fakultas juga aku harus menghubungi siapa untuk kasih undangannya?" tanya Raina berusaha membuang jauh pikiran anehnya tentang Rein.

"Loh, Kak Rein belum hubungi kamu? Katanya nanti untuk teknis penyebaran undangannya beliau langsung yang akan jelasin ke kamu."

Tuh, kan. Mulai lagi, deh, makhluk adam bernama Reinaldi Mirza ini. Raina tidak habis pikir kenapa tidak langsung diberi tahu saja ambil suratnya ke siapa. Jadi, Raina tidak perlu lagi berurusan langsung dengan Rein. Jika Rein tidak kunjung menghubunginya, mau tidak mau Raina yang harus mengambil inisiatif.


🌧️☔🌧️

Seharusnya Raina sudah pulang ke kosan sejak tadi. Namun, ia sengaja berlama-lama duduk di perpustakaan setelah usahanya keliling ke sana kemari mencari Rein tidak membuahkan hasil.

Raina tidak akan mencari Rein jika saja pemuda itu tidak berbuat ulah. Di pertengahan antar dua jam kuliah, Raina memutuskan untuk datang ke sekretariat BEM. Bertanya soal surat undangan yang harus ia sebar. Biasanya kan yang bertanggung jawab perihal surat menyurat adalah sekretaris dan departemen kesekretariatan. Satu-satunya tempat yang mudah untuk menemui mereka ya, ruang sekretariat. Kebetulan saat itu Raina lihat pintu ruangannya terbuka. Jadi, ia bergegas ke sana.

Namun, apa yang Raina dapat, sungguh di luar dugaan.

"Semua suratnya udah diambil sama Rein," ujar Dita yang menjabat sebagai sekretaris.

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang