56. Pemikiran Panjang

50 9 0
                                    

"Kalau saya jawab enggak mau?"

"Alasannya?"

"Kakak ngajak saya nikah kayak mau ngajak saya main kelereng," seloroh Raina dengan rasa keterkejutan masih menyelimuti kepalanya sehingga tidak bisa lagi berpikir bagaimana seharusnya menanggapi ucapan Rein.

"Saya serius, Raina. Kenapa jadi bahas kelereng, sih? Apa perlu hari ini juga saya ikut kamu pulang untuk nemuin orang tua kamu?" Rein berkata dengan wajah serius dan suara yang tegas.

"Tu-tung-tunggu dulu, Kak. Ssst!" protes Raina seraya memberi isyarat agar Rein memelankan suaranya. Pasalnya penumpang yang ada di sebelah kursi mereka baru saja menoleh.

"Kenapa?" tantang Rein.

"Kakak enggak boleh ngikutin saya pulang. Memangnya saya udah bilang iya?" protes Raina dengan wajah waspada.

"Ya terus kamu maunya saya gimana supaya kamu percaya kalau saya bukan lagi ngajak kamu main kelereng!"

"Pelan-pelan, Kak, ngomongnya. Jangan ngegas," ujar Raina lagi dengan suara nyaris berbisik.

"Saya serius!" Rein berkata pelan, tetapi dengan nada tegas.

"Iya, Kak. Saya paham. Tapi, semua ini terlalu tiba-tiba."

"Buat saya enggak tiba-tiba. Berbulan-bulan saya mikirin ini. Sampai galau, sampai skripsi saya kacau. Jadwal wisuda juga mundur. Rencana hidup saya juga jelas bergeser-geser. Semua gara-gara kamu."

"Kok, jadi saya yang salah?" tanya Raina dengan nada protes.

"Kamu dan segala kelakuan kamu itu terlalu berisik di kepala saya. Kengiang-ngiang terus, tau-tau muncul tanpa diminta. Merusak konsentrasi."

Kini Raina menganga. Tak bisa berkata apa-apa. Semuanya terlalu mencengangkan dan membingungkan.

"Coba Kakak pikirkan lagi, Kakak kesel, kan, sama semua keberisikan saya? Siapa tahu keputusan Kakak itu cuma emosi sesaat karena kesel sama saya." Raina berkata hati-hati. Tak berani lagi ia menatap wajah Rein. Kini ia hanya bisa berpuas hati menatap ujung jemari kakinya yang terbalut kaos kaki.

"Ini bukan keputusan sesaat. Ini keputusan yang saya ambil berdasarkan perenungan selama berbulan-bulan. Perhitungan matang.  Minta petunjuk Allah. Juga hasil diskusi dengan beberapa orang dan mereka memang menyarankan untuk segera dihalalkan saja secepatnya jika sudah siap."

Kini Raina bukan lagi menganga. Mulutnya seperti terkunci. Rasanya kelu sekali lidahnya untuk sekadar menanggapi.

Melihat Raina hanya terdiam, Rein menghela napasnya. Ia tahu, gadis itu pasti sedang syok.

"Maaf, kalau ini di luar ekspektasi kamu," ujar Rein yang juga ikut tertunduk. Matanya sibuk menatap sepasang kakinya yang tertutup sandal gunung.

"Lebih tepatnya ini di luar nalar saya, Kak." Raina mengoreksi.

"Saya bukan tipe lelaki kayak di novel-novel atau di film-film yang melamar perempuan dengan cara romantis. Buat saya niat tulusnya yang terpenting. Kalau kamu berharap itu dari saya, maaf, saya bukan tipe orang yang seperti itu."

"Saya juga enggak pernah berharap dilamar dengan cara pasaran begitu," balas Raina seraya melayangkan pandangannya ke luar jendela kereta kemudian menghela napas.

Rein menoleh sekilas ke arah Raina, kemudian tertunduk lagi seraya mengulum senyum. Sesuai dugaannya, Raina bukan tipe gadis kebanyakan.

"Terus, apa kita ... mau ta'aruf dulu?" tanya Rein seraya mengaitkan kedua jemarinya dengan gugup. Sejak tadi Raina belum menunjukkan tanda-tanda akan menerima ajakannya menikah. Apa ia ditolak? Kenapa tiba-tiba Rein jadi merasa gugup begitu? Lebih gugup dari menunggu keputusan kapan skripsinya akan lulus untuk ikut sidang.

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang