77. Meluruskan Niat

115 17 0
                                    

Butuh waktu sekitar tiga bulan sampai kabar gembira berikutnya datang. Pengumuman siapa saja yang lolos program homestay sudah keluar dan Raina masuk di antara lima orang mahasiswa terpilih untuk berangkat periode semester ganjil.

Di antara kelima orang itu, hanya Raina yang berasal dari jurusan Ilmu Sejarah. Dengan lolosnya Raina, semakin saja membuat Tito dan kawan-kawan bersemangat untuk mengikuti jejaknya. Mereka berlomba-lomba untuk mendaftar program itu.

Namun, satu hal yang tidak mereka tahu jika lolosnya Raina tidak lepas dari surat rekomendasi yang dibuat oleh calon keluarga angkatnya. Ternyata itu faktor yang cukup membantu. Raina beruntung sekali karena dipertemukan oleh calon keluarga angkat yang begitu baik. Mereka seperti penjamin bagi Raina selama ia berada di Belanda dan itu tentu menjadi nilai tambah bagi dirinya untuk lolos verifikasi sebagai peserta homestay.

Begitu pengumuman keluar, Raina segera menyiapkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan selanjutnya untuk membuat paspor dan visa. Di antara syarat untuk bisa keluar negeri, visa inilah yang cukup  memakan waktu lama. Waktu tunggu keluar visa bisa antara satu hingga dua pekan. Jadi, sebisa mungkin diurus minimal sebulan sebelum jadwal keberangkatan.

Sementara jadwal keberangkatan dan tiket pesawat sudah diatur semuanya oleh pihak kampus tempat Raina akan belajar selama satu tahun di sana. Salah satu kampus terbaik yang ada di Kota Amsterdam.

Dokumen-dokumen keberangkatannya selesai tepat ketika semester tiganya di kampus selesai. Jadi, Raina langsung mengurus cuti kuliah untuk satu tahun ke depan. Sekaligus berpamitan dengan teman-temannya yang lain. Yang paling histeris adalah Afia. Ia sampai berurai air mata.

"Rain, nanti aku sama siapa selama kamu enggak ada?" rajuknya sembari menyeka air mata beserta ingusnya dengan ujung jilbab bagian dalamnya.

"Kan masih ada Tito sama Fadil."

"Yang ada aku stress sama mereka mah. Bisa menua sebelum waktunya."

"Ah, lebay, lo!" cibir Tito.

"Emang lo enggak sedih mau ditinggal Raina?" tanya Afia dengan wajah sewot ke arah Tito.

"Ngapain sedih? Nanti 'kan gue bakalan jadi the next Raina yang akan berangkat ke Belanda. Elo tunggu aja tanggal mainnya." Tito berkata bangga.

"Ah, halu, lo!" Kini giliran Afia yang meledek.

"Itu mah bukan halu namanya, tapi doa dan harapan. Enggak ada yang salah." Tito tak mau kalah.

"Terserah elo!"

Raina tersenyum menatap keduanya. Olok-olokan mereka itu yang akan ia rindukan ketika sudah di negeri kincir angin nanti. Di mana lagi ia bisa menemukan teman satu frekuensi seperti Afia dan Tito? Membayangkannya membuat mata Raina berkaca. Sebelum suasananya berubah menjadi melankolis, maka ia pun segera beralih ke Fadil.

"Titip mereka berdua, ya. Sampai ketemu setahun lagi, insya Allah." Raina tersenyum.

"Kamu ke Belanda bukan karena pengen ngejer Kak Rein lagi, 'kan?" tanya Fadil langsung to the point.

"Sst." Raina langsung meletakkan jari telunjuknya ke depan mulut. Memberi isyarat agar Fadil tidak membahas masalah itu lagi. Khawatir Tito mendengar pembicaraan mereka. Menurut Raina, cukup Afia dan Fadil saja yang tahu kisahnya dengan Rein.

"Maaf," ujar Fadil. Pemuda itu tertunduk.

"Aku udah lama menutup lembaran hidupku sama Kak Rein. Jangan pernah diungkit lagi, ya. Aku bakalan berterima kasih banget untuk itu. Aku udah daftar program ini jauh sebelum aku deket sama dia. Jadi, semua ini enggak ada hubungannya."

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang