75. Akhirnya, Belanda!

82 17 0
                                    

"Ada masalah di calon keluarga angkat yang di Belanda?" tanya Raina saat dirinya mengkonfirmasi soal program homestay di pusat studi bahasa asing fakultas tempat ia mendaftar program itu dulu bersama Fara.

"Iya. Mereka membatalkan pengajuan mereka sebagai keluarga angkat kamu."

"Kenapa, ya, Pak? Selama ini mereka enggak ada konfirmasi apa-apa sama saya." Raina bertanya keheranan. Sejak terakhir mereka berkomunikasi lewat surel sekitar enam bulan yang lalu, tidak ada lagi kabar berita dari mereka.

"Alasan yang tertulis di formulir pembatalan adalah calon peserta program homestay yang bersangkutan tidak bisa dihubungi."

Semakin saja Raina keheranan dengan informasi itu. Justru selama ini mereka yang tidak ada kabar atau kejelasan apa pun. Bahkan Raina sempat lupa jika ia pernah mendaftar untuk ikut program homestay kalau tidak teringat karena pembicaraan teman-teman satu jurusannya tempo hari.

"Kalau sudah seperti itu, berarti saya gagal, ya, Pak?" tanya Raina agak sedih.

"Untuk periode semester ini sudah diumumkan siapa yang lolos. Jadi, ini berkasnya saya kembalikan dulu, ya. Kalau ingin ikut periode semester ini, silakan ajukan lagi karena ada beberapa berkas yang harus diperbaharui seperti transkrip nilai, dan lain-lain."

Raina mengambil kembali berkasnya dengan wajah bingung. Seketika keinginannya untuk ikut program homestay jadi tidak menggebu seperti dulu. Mungkin karena Fara yang dulu menyemangatinya tidak ada. Mungkin juga karena yang ia tahu Rein juga ada di Belanda. Lebih baik tetap menjalani hidup seperti ini. Belajar di dalam negeri saja.

Meskipun begitu, Raina masih keheranan perihal calon keluarga angkatnya itu. Kenapa tiba-tiba membatalkan pengajuannya?

Sepanjang jalan ke kosan ia berusaha mengingat-ingat dan mencari apa sebabnya. Begitu tiba di gerbang kosannya, Raina baru teringat dengan surel yang ia gunakan untuk mengirim aplikasi itu memang sudah lama tidak ia gunakan. Ia tidak ingin kenangan tentang Rein terus menghantui hidupnya karena surel lama itu yang pernah ia gunakan ketika mengirim dan menerima proposal juga biodata ta'aruf dengan Rein. Bahkan berkasnya masih ada di sana. Belum ia hapus. Hanya tidak ingin teringat saja.

Ia sudah membuat surel baru untuk kepentingan pengiriman tugas kuliah dan sebagainya. Ia lupa masih menggunakan surel lama itu untuk mendaftar program homestay.

Seolah ingin mengobati rasa penasarannya, ia pun bergegas ke kamar. Menyalakan laptop lalu membuka kembali surel lama itu. Siapa tahu saja calon keluarga angkatnya di Belanda pernah mengiriminya pesan. Namun, karena ia tidak pernah membuka surel itu lagi, makanya terjadi salah paham.

Benar saja. Begitu ia membuka alamat surel lamanya dan mencari di antara ratusan surel notifikasi yang masuk, Raina menemukan satu surel dari calon keluarga angkatnya di Belanda.

Cepat ia membuka surel itu. Isinya pemberitahuan bahwa mereka sudah mengajukan menjadi calon keluarga angkat. Surel berikutnya, selang sekitar dua bulan berikutnya ada surel pemberitahuan bahwa mereka membatalkan pengajuannya karena Raina tidak kunjung memberi kabar mengenai kesiapannya untuk berangkat. Mereka juga sudah berusaha menghubungi nomor ponsel Raina, tetapi nomornya tidak pernah bisa dihubungi. Mereka meminta maaf karena pada akhirnya menerima mahasiswa program homestay dari negara lain.

Padahal Raina tidak pernah mengganti nomor ponselnya. Ponselnya pun selalu aktif. Tidak pernah mati total dalam jangka waktu lama. Jikalau baterainya habis, hanya mati selama satu atau dua jam. Mereka bisa menghubungi lagi lain waktu. Raina pasrah. Mungkin memang jalan takdirnya tidak ke sana.

Maka sebagai iktikad baik, Raina mengirim surel balasan untuk menjelaskan kondisi yang sesungguhnya. Menjelaskan kalau atas alasan tertentu Raina tidak bisa menggunakan alamat surelnya dan baru saat itu bisa membukanya lagi. Juga menjelaskan bahwa selama ini nomor ponselnya selalu aktif, tidak pernah dalam kondisi mati total atau habis masa aktifnya. Semoga kesalahpahaman yang terjadi bisa diluruskan walaupun Raina sudah kehilangan kesempatan.

Jika ingin mendaftar program homestay lagi, ke mana ia harus mencari koneksi? Sepertinya memang ini skenario Allah untuk menyelematkan hatinya. Ia pun semakin yakin bahwa dirinya tidak berjodoh dengan Rein.

Sejak awal Allah mempertemukannya dengan pemuda itu hanya sebagai jalan hidayah. Nyatanya seperti inilah semuanya berjalan. Allah menjauhkannya dari Rein dengan cara-Nya yang begitu elegan.

🌧️☔🌧️


"Kamu waktu itu aku lihat ke pusat bahasa?" tanya Afia ketika mereka sedang menunggu jam kosong antar mata kuliah. Mereka sedang duduk-duduk di selasar lantai dua gedung C.

"Iya."

"Tumben. Kamu mau tes TOEFL atau apa?" tanya Afia penasaran. Fadil yang tidak sengaja mendengar pembicaraan itu langsung menajamkan telinga.

"Enggak. Cuma mau konfirmasi sesuatu."

"Beasiswa?"

"Eh, apa, apa? Beasiswa? Di mana ada beasiswa? Mau dong," sahut Tito yang langsung bergabung dalam obrolan itu.

"Elo nyamber terus, deh, kalau ada orang ngobrol. Sebelas dua belas sama si Fadil," ledek Afia.

"Eh, maaf, ya. Gue enggak nyamber kali ini." Fadil yang mendengar namanya disebut langsung protes.

"Lah, barusan apa namanya kalau enggak nyamber?" balas Afia.

"Elo manggil nama gue, Fi. Ya, jelas gue kesamber." Fadil berkata enteng.

"Lah, kok, kalian malah jadi ribut, sih? Nanti ceritanya bisa plot twist." Tito menengahi.

"Apaan, tuh, plot twist? Sok tahu, lo," ledek Afia.

"Akhir yang berbeda dengan ekspektasi. Beda dari yang disangka-sangka."

"Dalam hal apa?"

"Jadinya yang diseret ke KUA, lo sama Fadil. Buka sama gue."

"Asem lo!"

"Udah, ah. Gue mau cari info beasiswa sama Raina. Ada info apa, Rain? Gue siap mendengarkan dengan saksama." Tito duduk bersila seraya menopang dagu di depan Raina. Agak risi, tetapi karena jaraknya masih cukup jauh, Raina tidak protes.

"Jadi, aku, tuh, kemaren sempet daftar program homestay. Tepatnya semester lalu."

Terlihat binar antusias di mata Afia dan Tito. Sementara Fadil terlihat biasa saja, tetapi telinganya menajam. Ia bisa mendengar semua yang diucapkan Raina.

Melihat reaksi teman-temannya, maka Raina menceritakan semua tentang program homestay yang ia ketahui. Teman-temannya melongo karena tidak tahu informasi penting macam itu.

"Jadi, kita jurusan Ilmu Sejarah juga bisa ikutan daftar?" tanya Tito antusias.

"Bisa. Tapi, kemungkinan lolosnya kecil karena bahasa Belanda yang kita pakai, kan, buka percakapan sehari-hari. Tapi, lebih ke menerjemahkan dokumen. Perlu studi bahasa yang khusus di sana."

"Kesempatannya cuma satu persen juga, gue enggak masalah. Yang penting masuk jurusan kita enggak madesu alias masa depan suram. Akhirnya bisa ngerasain kayak jurusan lain yang bisa ke luar negeri. Rain, gue ganti nge-fans sama elo boleh, enggak?"

"Lah, ngadi-ngadi, nih, anak." Afia mencibir. Rayuan maut Tito mulai keluar. "Jangan percaya rayuan mautnya."

"Rain itu punya banyak informasi penting. Enggak kayak elo, punyanya julid melulu sama gue," balas Tito.

Raina tidak terlalu menyimak kedua temannya yang sibuk adu argumen tak jelas itu. Atensinya kini beralih ke ponsel. Baru saja ia melihat ada notifikasi surel yang masuk. Ia teringat jika semalam ketika mengecek apakah sudah ada surel balasan dari Belanda, ia belum sempat keluar dari akun surelnya yang lama.

Rasa penasaran membuatnya ingin sekali membuka surel itu. Berharap ada balasan dari surel yang ditunggu-tunggunya. Setelah dibuka, ternyata harapannya itu terkabul. Tangannya bahkan sampai bergetar ketika membaca isi surel itu.

"Argh!" teriaknya tanpa sadar.

"Eh, kenapa, kenapa?" tanya Afia ikutan panik.

Raina menatap temannya itu dengan mata membesar. Mulutnya terbuka, tetapi tidak sanggup berkata-kata. Ia hanya bisa menyodorkan ponselnya ke wajah Afia. Gadis itu membacanya, tetapi tidak mengerti maksud dari isi surel itu.

"Ini apa, Rain?" tanya Afia bingung.

"Aku bisa ke Belanda!"

🌧️☔🌧️



[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang