02. Hukuman

269 67 5
                                    

Sepanjang perjalanan hidupnya hingga saat itu, Raina selalu menjauhi konflik. Bukan berarti ia senantiasa mengalah dengan apa pun. Ia hanya malas saja memperpanjang masalah. Bukankah kita dianjurkan untuk menghindari perdebatan walaupun kita benar?

Ketika Raina dibawa ke sebuah ruangan khusus untuk menerima hukuman, ia pun tidak protes. Ruangan yang merupakan ruang perkuliahan itu diisi oleh puluhan mahasiswa baru yang terjaring oleh razia tim disiplin. Semuanya duduk dengan kepala tertunduk menanti giliran dipanggil untuk diinterogasi.

Di depan kelas, seorang mahasiswa baru sedang diinterogasi oleh beberapa orang tim disiplin. Sesekali mereka hanya bertanya. Lalu ketika jawabannya tidak memuaskan mereka akan membentak.

"Apa kesalahan kamu?"

"Bawa rokok, Kak," jawab pemuda itu tanpa rasa takut.

"Bagus, ya! Kuliah aja belom. Makan masih minta sama orang tua udah sok-sok ngerokok," sindir seorang tim disiplin perempuan seraya melipat tangannya di depan dada.

"Gak malu kamu, Dek?" tanya Rein dengan suara dinginnya di dekat telinga mahasiswa baru itu.

Yang ditanya hanya menunduk diam.

"Jangan ada yang nunduk! Liat nih kelakuan temen kalian! Jangan dicontoh yang kayak gini. Kalian ke sini mau nuntut ilmu! Bukan mau ngerusak badan!" Rein menggebrak papan tulis yang ada di dekatnya.

Sontak atensi semua orang tertuju ke depan. Termasuk Raina yang cukup terkejut dengan materi marah-marah mereka yang sarat akan pesan moral. Biasanya 'kan sesi marah-marah seperti ini digunakan untuk mencari kesalahan-kesalahan yang tidak ada.

Hati kecilnya sangat setuju dengan perkataan yang diucapkan Rein. Mereka ke sana untuk menuntut ilmu, bukan untuk merusak badan. Kalimat itu terus terngiang dalam kepalanya hingga membawa matanya terus menatap sosok itu.

"Berapa banyak batang rokok yang disita?" tanya Rein lagi bertanya kepada tim disiplin yang lain.

"Tiga batang."

"Push-up tiga seri!" perintah Rein tanpa ampun.

Dengan napas terengah-engah, mahasiswa baru itu menyelesaikan hukumannya. Baru satu seri ia selesaikan, tubuhnya tumbang ke bawah. Tangannya tak sanggup lagi menahan beban tubuh.

"Kenapa? Gak kuat? Masih mau rusak badan kamu sendiri?" tanya Rein begitu mengintimidasi.

"Enggak, Kak," jawab pemuda yang sudah bermandi peluh itu lirih.

"Dua seri lagi! Saya tunggu!"

Pemuda itu kembali menghela napasnya. Ia pikir dengan berpura-pura lelah bisa mengelabui mata tajam Rein. Namun nyatanya tidak.

Setelah menyelesaikan hukuman, tanda pengenalnya dikembalikan dan ia disuruh kembali ke barisan kelompoknya yang sudah berada di dalam aula untuk menerima materi.

Rein memanggil mahasiswa bermasalah yang selanjutnya.

"Faranisa Indira!"

Gadis yang berbaris di sebelah Raina tadi. Yang ketahuan membawa ponsel.

"Apa kesalahan kamu?"

"Bawa ponsel, Kak."

"Memang kamu orang penting yang harus selalu bawa ponsel ke mana-mana?"

"Enggak, Kak. Saya cuma khawatir sama kondisi ayah yang lagi ada di rumah sakit. Saya bawa ponsel takut sewaktu-waktu ibu ngabarin tentang kondisi ayah," jawab gadis itu dengan suara yang agak bergetar.

"Kan bisa dititip di panitia. Memang apa guna pendamping kelompok kamu itu? Pajangan doang? Gunain mereka untuk bantu nyelesain masalah kamu!"

Raina pikir tadinya gadis itu akan lepas dari hukuman karena alasan yang dikemukakannya. Nyatanya tetap saja bersalah dan harus menjalani hukuman squat jump satu seri.

"Raina Azura!"

Itu namanya. Rein baru saja memanggil namanya dengan nada suara yang entah kenapa tidak selantang seperti sebelumnya.

Raina maju menghadap. Ia berusaha tidak menunduk. Ia yakin tidak bersalah dan ini kesempatannya untuk menjelaskan. Membebaskan dirinya dari segala tuduhan. Mengembalikan harga dirinya yang tercabik hanya karena sehelai handuk kecil penuh ingus.

"Apa kesalahan kamu?"

"Bawa barang yang gak disuruh sama panitia," jawab Raina santai.

"Apa itu?"

Serius, sih? Memangnya ia harus menjawab handuk penuh dengan ingus yang sudah mengering? Padahal 'kan tadi Rein sendiri yang menyita barang menjijikkan itu. Membayangkannya saja membuat perut Raina seperti berjungkit-jungkit.

Lalu sekarang, pemuda itu bertanya seperti tidak tahu apa-apa.

"Saya lagi pilek, Kak."

"Terus?"

"Ya, itu buat bersihin ingus saya. Ya, kali saya bersihin pake kerudung atau lengan baju seragam saya," jawab Raina sedikit kesal. Ini sih namanya dipermalukan.

Beberapa anggota tim disiplin lainnya ada yang langsung berdiri menghadap papan tulis, berusaha sebisa mungkin tidak menampakkan wajah tersenyum di hadapan para mahasiswa baru. Beberapa lagi ada yang pura-pura mengusap wajahnya kemudian tersenyum diam-diam. Sementara Rein sendiri tampak kikuk kemudian berdeham kuat untuk kembali mengambil alih suasana.

"Harus, ya, pake handuk? Kan ada tisu yang sekali pake bisa kamu buang?"

"Pemborosan, Kak. Kakak tau enggak berapa banyak pohon yang ditebang untuk bikin tisu? Lagian bakalan diambil juga, 'kan? Sama aja," sahut Raina.

Kini giliran rekan seperjuangan Raina yang terlihat berusaha keras menahan tawa di belakang sana.

"Heh, kalian! Jangan ketawa! Pikirin kesalahan kalian!" sentak salah seorang tim disiplin seraya memukul meja.

Suara cekikikan di belakang Raina tak terdengar lagi. Gadis itu pun melirik ke arah Rein yang masih menatapnya. Seolah sedang mencari celah yang bisa ia masuki untuk mengembalikan wibawanya.

"Squat jump, satu seri!" perintahnya kemudian.

Tanpa melawan, Raina menyelesaikan hukumannya. Setelah selesai, Rein mengembalikan tanda pengenalnya. Seharusnya Raina segera pergi dari sana, tetapi gadis itu justru menengadahkan tangannya ke arah Rein.

"Handuk saya mana, Kak?"

Raina bisa melihat ekspresi terkejut di wajah Rein walaupun samar.

Seriusan ini cewek masih pengen handuk penuh ingusnya itu kembali? Jorok banget!

"Sudah saya buang! Buat apa saya simpen?" jawab Rein dengan wajah angkuh.

"Terus saya mau bersihin ingus saya pakai apa, Kak?"

Hati Raina mencelos.

"Kembali ke barisan atau saya tambah hukumannya!" ancam Rein.

Mau bagaimana lagi? Daripada urusan semakin runyam, lebih baik Raina kembali ke barisan. Ia pun beranjak dengan wajah cemberut sembari menyeka ingusnya dengan bagian belakang kerudung.

Baru beberapa langkah Raina menyusuri koridor menuju gedung aula, seseorang menghentikan langkahnya lalu menyodorkan sebungkus tisu bergambar kartun kepadanya.

"Buat bersihin ingus kamu," ujar Rein dengan wajah datar tanpa senyumnya, kemudian berbalik pergi. Kembali ke dalam ruangan eksekusi hukuman tadi.

Raina kesal tadinya. Ingin marah karena seniornya itu seenaknya saja membuang barang orang lain walaupun itu hanya sebuah handuk usang penuh ingus yang sudah mengering. Namun, melihat tisu di tangannya itu, kadar kesalnya berkurang separuhnya.

Ia bahkan nyaris mengikik geli membayangkan seorang koordinator tim disiplin yang terkenal bengis ternyata suka menyimpan tisu yang bungkusnya bergambar kartun.

How cute. The Cutie Timdis.

Lalu Raina teringat dengan nama seniornya itu. Ia dipanggil Rein oleh teman-teman sesama panitia tadi. Gadis itu baru tersadar kalau nama panggilan mereka sama dalam pengucapannya. Untuk alasan yang tidak jelas, tiba-tiba ia kembali merasa kesal karena ada yang menyamai namanya.

Ih, nyebelin!


🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang