53. Menjauh

96 19 3
                                    

Sebelum laporan pertanggungjawaban dimulai, Luthfi meminta Raina untuk menggandakan laporan departemen mereka. Luthfi bilang ini untuk latihan jika suatu saat nanti ia dan anggota baru lainnya menjadi pengurus inti BEM, maka  sudah tahu apa saja yang harus dipersiapkan.

Berharap sebisa mungkin tidak bertemu Rein apalagi berinteraksi, maka Raina menyanggupinya. Untung ada Fara yang menemaninya dan satu orang lagi anggota baru yang mendaftar di departemen hubungan luar. Namanya Astri dari jurusan Sastra Perancis.

"Selamet, ya, Rain. Ketua BEM tahun ini dari jurusan kamu." Astri berujar ketika mereka masih berada di tempat fotokopian yang letaknya berada di dekat gerbang kampus karena fotokopian yang ada di fakultas sudah tutup.

Kabar heboh itu sudah menyebar sejak beberapa hari lalu usai hasil penghitungan suara pemilihan ketua BEM yang baru diumumkan. Julian keluar sebagai pemenang, mengalahkan tiga kandidat yang lain. Ini pencapaian yang luar biasa untuk jurusan mereka, mengingat sepanjang sejarah BEM FIB, belum pernah ada ketua BEM yang berasal dari jurusan Ilmu Sejarah. Paling tinggi jabatan yang pernah diraih adalah wakil ketua. Itu pun beberapa tahun yang lalu.

Raina hanya menanggapi dengan tersenyum. Orang yang seharusnya heboh atas berita ini adalah Afia. Namun, seharian ini mereka belum bertemu. Mungkin sedang sibuk juga seperti dirinya.

"Eh, omong-omong, ketua departemen kita yang mana? Katanya bukan Kak Luthfi, ya?" Astri kembali membuka percakapan.

"Bukan. Tetapi, Kak Luthfi itu udah seperti wakilnya Kak Rein. Semua laporan pertanggungjawaban ini Kak Luthfi yang nyusun, dibantu Kak Rein tentunya." Fara yang menjawab.

"Kak Rein itu, yang waktu ospek jadi koordinator tim disiplin, bukan?" tanya Astri lagi dengan binar mata antusias. Raina bisa mencium gelagat mencurigakan dari ekspresi wajah itu.

"Iya," jawab Fara singkat. Sepertinya gadis itu juga bisa merasakan apa yang Raina rasakan. Sehingga terkesan malas menanggapi.

"Udah punya pacar belum, ya? Kalau belum aku mau daftar," seloroh gadis berambut pendek seleher itu.

Dengan refleks Raina dan Fara saling bertatapan lalu pasang wajah melongo. Belum tahu saja gadis itu, Rein tipe orang seperti apa.

"Kak Rein itu enggak pacaran!" tegas Raina. Ia merasa semua obrolan ini harus dihentikan. Rasanya tidak nyaman.

"Loh, kenapa?" tanya Astri keheranan seolah itu hal yang sangat aneh. Padahal buat Raina dan Fara itu hal yang biasa. Pacaran atau tidak itu 'kan hak setiap orang.

"Itu semacam prinsip hidupnya." Fara menimpali.

"Ada, ya? Orang yang punya prinsip hidupnya begitu? Aku baru tahu," gumam Astri lagi dengan wajah keheranan.

"Ada," tambah Fara lagi.

"Terus, kalau mau nikah gimana? Enggak kenalan dulu, gitu?"

Raina terlihat menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak habis pikir, di era digitalisasi di mana sudah banyak film-film islami bertema ta'aruf bertebaran di dunia jagat maya, masih ada orang yang bertanya seperti itu.

Namun, mengingat dulu teman-teman di SMA-nya banyak yang sudah tahu soal ta'aruf dan menikah tanpa pacaran, tetapi tetap saja berpacaran, dirinya jadi tidak heran lagi. Banyak yang paham konsep, tetapi tidak banyak yang bisa mempraktikkannya dalam kehidupan.

"Mau tahu jawaban pendek apa jawaban panjang?"

Terdengar Fara menanggapi lagi. Atensi Raina kini beralih ke gadis itu.

"Dua-duanya," jawab Astri antusias.

"Jawaban pendeknya, ya, dengan ta'aruf. Apa itu artinya ta'aruf? Itulah jawaban panjangnya. Bisa kamu dapetin penjelasannya dengan panjang dan lebar di kajian keputrian rohis kampus bulan Januari nanti. Ikutan, yuk. Aku sama Raina juga ikutan, loh. Gratis dan terbuka untuk seluruh civitas akademika kampus kita." Fara menjelaskan dengan tidak kalah antusias.

Raina nyaris saja tertawa, tetapi cepat ditahannya. Tidak menyangka jika Fara bisa-bisanya mempromosikan acara itu di tengah obrolan mereka.

"Boleh, boleh. Aku daftar, ya." Astri terlihat lebih bersemangat dari sebelumnya.

Dalam hati Raina membatin, welcome to the club, girl. Kita sama-sama pengagum ciptaan indah Tuhan bernama Rein dan sedang mencari jalan keluar untuk terbebas dari jeratan itu dengan ikut kajian keputrian.

🌧️☔🌧️


Ketika Raina kembali ke ruang aula tempat rapat akan digelar, ia sudah menemukan Rein duduk di sebuah meja. Wajahnya hampir tidak terlihat karena kepalanya ia tutupi dengan hoodie. Pemuda itu sedang fokus membaca buku. Sampul bukunya tampak tidak asing dan ia pernah melihatnya di suatu tempat.

"Far, itu bukannya buku kamu?" tanya Raina kepada Fara yang berjalan di belakangnya.

"Oh, itu. Masih inget enggak, waktu kamu menginap di rumahku? Ada salah satu murid ngaji ayahku yang pinjam buku tentang nikah muda, 'kan? Orang itu ternyata Kak Rein."

"Oh," gumam Raina lalu tiba-tiba Rein mendongak seolah menyadari kehadirannya di ruangan itu. Cepat-cepat Raina mengalihkan tatapannya ke tempat lain.

Harapan Raina untuk tidak berinteraksi dengan Rein musnah sudah. Lagipula, mana mungkin tidak bertemu dan tidak berinteraksi jika berada dalam satu departemen. Apalagi sebelum laporan pertanggungjawaban dimulai, mereka ada pertemuan singkat untuk membahas laporan pertanggungjawaban mereka.

Jumlah anggota departemen mereka sebanyak tujuh orang. Duduk berhadap-hadapan dalam satu meja. Kebetulan Raina duduk di hadapan Luthfi, sementara Rein duduk di sebelah Luthfi. Di hadapan pemuda itu tidak ada siapa-siapa.

Rein memang tidak mengajak interaksi Raina secara jelas. Namun, tatapan matanya itu menyiratkan segalanya. Sejak gadis itu membagikan salinan laporan pertanggungjawaban, sudah beberapa kali Rein menatap Raina. Namun, gadis itu tidak menyadarinya.
Ia fokus memperhatikan penjelasan Luthfi sampai ada seseorang yang menyentuh lengannya.

"Sst." Astri menyodorkan sebuah kertas.

"Apa?" bisik Raina.

"Baca aja."

Raina pun membuka lipatan kertas itu dan menemukan sebuah tulisan yang membuatnya tercengang.

Dari tadi Kak Rein lihatin kamu terus. Apa dia suka sama kamu?

Dengan refleks, Raina menatap Rein. Ketahuan. Pemuda itu memang sedang menatapnya. Namun, ia segera mengalihkan tatapannya dengan santai saat Raina memergokinya.

"Ada yang mau ditanyain lagi, enggak?" tanya Luthfi mengakhiri penjelasannya. Kebetulan Luthfi mempersilakan untuk bertanya. Raina bisa mengalihkan suasana untuk sementara.

"Untuk anggaran dana penyelenggaraan acara, bukankah itu tugas bendahara, Kak?" tanya Raina terkesan asal.

"Iya. Memang nanti akan masuk ke laporan keuangan bendahara. Tapi, kita yang buat anggarannya. Nanti laporan ke bendahara. Semua departemen begitu." Luthfi menjelaskan.

Raina tahu mata itu kembali menatapnya dalam diam. Namun, ia bersikap seolah tidak tahu apa-apa. Berusaha sebisa mungkin membangun kembali benteng hatinya yang sudah hancur diterobos oleh Rein beberapa waktu belakangan ini.

"Ada yang mau ditambahin, Rein?" tanya Luthfi membuat Rein mengalihkan tatapannya dari Raina.

"Sementara ini cukup."

"Oke. Masing-masing udah pegang salinan laporannya, kan?"

Raina ingat, Rein belum ia beri salinan itu. Maka ia buru-buru memberikannya. Ketika memberikan salinan laporan itulah, Rein menyodorkan sebuah kertas coretan berisi tulisan tangannya.

Sengaja, ya, enggak mau kasih salinan laporan pertanggungjawabannya ke saya?

Kalimat tanya itulah yang tertulis di sana. Raina menatap Rein sejenak. Jadi, karena hal itu sejak tadi Rein terus menatapnya? Bukan bermaksud sengaja, tetapi karena tidak inginnya Raina berinteraksi dengan Rein, ia bahkan melewati pemuda itu begitu saja.

Rein pun balas menatapnya. Menunggu jawaban Raina. Namun, Raina tidak ingin menciptakan celah lagi untuk perasaan itu semakin tumbuh. Maka ia pun tidak memberi respons apa-apa atas pertanyaan Rein itu.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang