29. Sebar Undangan

96 27 0
                                    

Seharusnya Raina tidak mengikuti saran Rein untuk makan di sana. Seharusnya ia pulang dulu ke kosan untuk menghabiskan makanannya baru kemudian bertemu Rein lagi di warung makan itu. Namun, satu anggukan kepala yang tanpa berpikir dua kali itu telah membuatnya makan satu meja bersama Rein.

Rasanya begitu canggung sehingga Raina memilih untuk lebih banyak diam. Sesekali ia menanggapi ucapan Rein dengan mengangguk. Sesekali hanya menatap kosong ke arah makanannya seraya mengunyah pelan. Tak berani ia makan dengan bar-bar walau perutnya sudah meronta ingin melahap seluruh isi piring dalam sekejap.

Saat itu Raina baru tersadar bahwa jaga image itu ternyata begitu sulit. Salut dengan tim disiplin saat ospek yang begitu rapi menjaga image-nya.

"Sebenernya kemarin saya mau kasih tugas sebar undangan ini ke Luthfi dan kawan-kawan, tapi mereka lebih dibutuhkan untuk mengurus perizinan tempat dan melengkapi logistik yang kurang. Seperti sound, kursi, spanduk, dan lain-lain. Jadi, mereka diperbantukan di sana."

Rein berusaha menjelaskan sedetil mungkin agar Raina tidak salah paham, lalu protes, dan mereka akan bersitegang lagi. Lalu, kapan mereka akan berkoordinasi menyelesaikan tugas mereka jika bersitegang terus?

"Sebagai informasi aja, departemen yang paling sibuk di BEM itu ada empat. Media informasi, dana usaha, kesekretariatan, dan hubungan luar. Kalau departemen lain bisa dialokasikan ke pos-pos panitia lain, kalau keempat departemen ini akan tetap di posnya masing-masing dan selalu ikut serta dalam setiap acara."

Raina kembali mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Kenapa saya enggak bareng sama Fara, Kak?" tanya Raina kemudian.

"Fara yang menghubungi pembicara karena mereka saling kenal. Koordinasinya tentu lebih mudah."

"Enggak masalah kalau gitu. Saya sendirian bisa, kok." Raina berkata ragu. Pasalnya setelah mendengarkan penjelasan Rein soal kondisi umum seluruh fakultas tadi, ia jadi khawatir. Bahkan berpikir apakah boleh menyeret Afia untuk menemaninya? Namun, apakah gadis itu mau?

"Atau mau kita bagi dua aja fakultasnya?" Rein menawarkan bantuan.

Raina berpikir sejenak. Jika Rein yang mengantarkan undangan ke fakultas-fakultas yang mayoritas penghuninya adalah laki-laki seperti Fakultas Teknik dan Geologi, tentu akan lebih memperingan tugasnya.

"Kakak bisa bantu ke Fakultas Teknik dan Geologi?" tanya Raina kemudian.

"Boleh. Tapi, posisinya lumayan dekat dari sini. Kenapa enggak Fakultas Teknik Pertanian dan Fakultas Perikanan aja yang saya bantu? Posisinya jauh paling ujung." Rein memberi saran.

"Kalau mau diambil sekalian, enggak apa-apa." Raina tersenyum canggung.

Walaupun di awal tadi Raina sempat merasa tersinggung ketika Rein seperti meragukan kemampuan dirinya, tetapi Raina tidak ingin munafik. Ia akan merasa senang jika ada yang ikut meringankan tugasnya. Lagipula, masih ada dua mata kuliah lagi yang harus ia pelajari untuk ujian tengah semester.

"Katanya tadi sudah biasa longmarch di SMA," ujar Rein menanggapi.

"Sebenernya Kakak niat menawarkan bantuan enggak, sih?" sahut Raina kesal.

"Bercanda," ujar Rein singkat. Membuat keduanya terdiam lagi.

Bercanda ia bilang? Bukannya bercanda itu sesuatu hal yang lucu, ya? Namun, kenapa rasanya Raina tidak ingin tertawa?

Jadi, begitu, ya. Bercanda ala Rein yang garing.

Selang beberapa detik kemudian, Raina pun tertawa. Paling tidak, ia harus menghargai usaha Rein untuk membuat candaan, 'kan? Walaupun bagi Raina candaan itu sama sekali tidak lucu.

"Garing, ya?" tanya Rein ketika mendengar tawa Raina yang kaku.

"Sejujurnya, candaannya enggak lucu," ujar Raina pelan.

"Ya udah, enggak apa-apa. Saya juga enggak berniat ngelucu," balas Rein kikuk.

Mereka terdiam lagi. Pelan-pelan suasana warung mulai ramai. Beberapa orang mulai berdatangan. Nyaris tidak ada jeda sepi antar pembeli yang datang.

Raina pun memutuskan untuk cepat menghabiskan makanannya. Begitu juga dengan Rein. Mereka makan tanpa suara.

Lalu, tiba-tiba sebuah suara yang tidak asing mengagetkan mereka. Orang itu bahkan menepuk bahu Raina dengan sangat kuat hingga sendok yang dipegang gadis itu terjatuh ke lantai.

"Woy!" serunya.

"Ish, Fadil reseh! Jangan sentuh-sentuh!" gerutu Raina seraya mengusir tangan Fadil dari bahunya menggunakan sendok garpu yang ada di atas meja. Sekalian saja ia tusuk tangan pemuda itu dengan ujungnya.

"Aw, sakit, Rain! Serius, sih! Itu tajem, loh, ujungnya," protes Fadil seraya mengelus-elus tangannya yang bekas tusukan Raina.

"Rasain!" sungut Raina seraya menunduk untuk mengambil sendoknya yang jatuh.

"Loh, Kak Rein?" tanya Fadil begitu menyadari ada Rein di sana.

Mata pemuda itu menatap Rein dan makanannya bergantian. Begitu juga ketika Raina sudah berhasil mendapatkan sendoknya kembali. Fadil juga menatap Raina dan piring makannya bergantian.

"Apa?" tanya Raina ketika wajah Fadil berubah syok.

"Kamu makan bareng Kak Rein? Kalian kencan? Wah, enggak nyangka. Kirain kalian itu satu spesies penganut pacaran setelah nikah. Tapi, sekarang?"

Fadil terlalu heboh. Terlalu cerewet juga untuk ukuran laki-laki. Raina tidak suka itu. Hingga akhirnya ia langsung menjejalkan sepotong perkedel kentang ke mulut Fadil agar pemuda itu tidak mengoceh lebih banyak lagi. Apalagi beberapa orang yang hendak membeli makan sampai menoleh ke arah meja mereka karena suara Fadil yang begitu berisik.

"Kencan, kencan. Kencan, tuh, sama perkedel kentang." Raina berkata kesal.

"Kita lagi bahas teknis penyebaran surat undangan untuk acara seminar minggu depan. Kebetulan aja lagi sama-sama laper." Rein membela diri.

"Lumayan juga dapet perkedel. Tauan aja lagi laper," seloroh Fadil seraya mengunyah perkedel yang Raina jejalkan ke mulutnya.

"Kamu ngapain di sini? Kosan kamu 'kan di ujung gang sana?" tanya Raina dengan wajah sinis.

Sungguh, kehadiran Fadil di saat-saat seperti itu adalah kondisi yang tidak Raina harapkan. Bagus jika pemuda itu tidak berasumsi yang macam-macam lalu menyebarkan ke teman-teman satu angkatan. Jika itu terjadi, maka tamatlah riwayatnya. Rumor baru akan segera mengudara ke seantero jurusan mereka.

"Kan berharap ketemu kamu secara enggak sengaja, gitu. Kayak di drama-drama. Eh, beneran ketemu, 'kan. Emang rejeki itu enggak ke mana."

"Diem, ah! Berisik!" tukas Raina yang merasa risi.

"Ehem." Rein berdeham karena merasa tidak nyaman mendengar obrolan mereka.

"Emang kamu mau nyebarin undangan ke mana aja?" tanya Fadil seraya melihat tumpukan kertas yang ada di meja dekat piring Raina.

"Ke seluruh fakultas."

"Sendirian?"

"Enggak. Ada dua malaikat pencatat amal yang selalu ngikutin aku. Ada setan-setan tak kasat mata juga," jawab Raina asal.

"Aku temenin, ya. Aku bantuin nyebarin undangannya." Ada tatapan khawatir di mata Fadil yang tidak disadari oleh Raina, tetapi disadari oleh Rein.

"Nyebarin undangannya bareng saya," ujar Rein tiba-tiba.

Pupil mata Raina langsung membesar lalu menatap Rein dengan keheranan. Begitu juga Fadil tampak terkejut karena tidak pernah mengira hal seperti itu akan terjadi.

"Ba-bareng?" tanya Raina tak yakin.

"Iya," jawab Rein tegas seraya balas menatap Raina.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang