40. Nyaris Ketahuan

84 26 0
                                    

Sebenarnya jika harus pulang sendiri menggunakan angkutan umum, Raina tidak akan terlalu takut. Meskipun kondisi hari sudah malam, Kota Bandung itu bukanlah kota sepi. Hiruk pikuknya bahkan lebih ramai dari siang hari.

Raina sudah terbiasa ketika di Jakarta malam hari begitu masih berada di luar rumah. Namun, Jakarta berbeda dengan Bandung, tentunya. Raina belum hafal betul kondisinya seperti apa. Baru beberapa bulan saja ia tinggal di kota kembang itu. Mungkin itu yang ada di pikiran Rein ketika menawarkan tumpangan. Raina berusaha memahami niat itu.

Usai menunaikan salat Magrib di salah satu masjid yang ada di tepi jalan, mereka pun melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalanan malam kota Bandung yang penuh dengan gemerlap lampu. Sesekali mereka harus menerobos di jalan-jalan kecil perumahan warga karena Raina tidak memakai helm.

Sepanjang perjalanan itu lebih banyak dihabiskan dalam diam karena suara bising jalanannya membuat suara mereka tidak terdengar jelas jika mengobrol. Jika mereka melewati jalanan yang agak sepi, barulah mereka mulai mengobrol apa saja yang terpikirkan. Mereka lebih banyak mengobrol tentang BEM karena keduanya sama-sama beraktivitas di sana.

Jarak beberapa puluh meter lagi mendekati area kampus, Rein kembali membuka percakapan.

"Kita mampir ke kosan Mahesa dulu, ya. Mau pulangin motor. Mau dipake katanya malem ini."

"Hah?" tanya Raina kaget. Ke kosan Mahesa berboncengan motor dengan Rein? Apa mereka mau cari mati? Bisa gawat jika Mahesa melihat mereka.

"Kenapa?" tanya Rein yang bisa melihat wajah gelisah Raina dari kaca spion.

"Turunin saya di gang yang mau ke kosan aja. Nanti saya jalan sendiri."

"Ini udah malem, Raina."

"Justru karena udah malem itu, Kak. Enggak baik kita lama-lama barengan gini. Apalagi ke tempat Kak Mahesa. Udah lupa terakhir kali dia salah paham sama kita? Kakak mau dia salah paham lagi? Terus nyebarin kesalahpahaman itu ke anak-anak BEM? Kakak seneng kalau kita digosipin?" cecar Raina panjang lebar.

"Mahesa enggak seember itu, kok. Ya, walaupun orangnya kayak gitu."

"Enggak. Turunin saya di ujung gang. Atau kalau enggak di depan warung makan itu aja. Sekalian saya mau beli makan."

Rein tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia menepikan motornya di dekat warung makan besar yang terkenal ramai di area itu. Meninggalkan Raina di sana seorang diri membuat dirinya sedikit lebih tenang.

"Tunggu saya di sini, ya. Saya ke kosan Mahesa dulu," pinta Rein ketika Raina sudah turun dari motornya.

"Kenapa harus nunggu Kakak?" tanya Raina keheranan.

"Kamu mau lewat gang remang-remang itu sendirian kayak tempo hari?" Rein balas bertanya dan pertanyaan itu langsung membuat Raina tertegun.

Rein masih ingat kejadian di gang remang-remang tempo hari. Mengingatkan Raina pada kejadian memalukan itu lagi.

"Saya bisa lewat jalan yang biasanya, Kak. Enggak lewat yang remang-remang itu lagi," jawab Raina lirih. Wajahnya tertunduk karena malu dengan kejadian tempo hari.

"Jadi, kamu tahu ada jalan lain selain yang kamu lewatin tempo hari?"

Dahi Raina mengernyit keheranan. Tak mengerti dengan maksud perkataan Rein. Apa pemuda itu pikir Raina hanya tahu jalan remang-remang itu?

"Tahu, Kak. Memangnya kenapa?"

"Terus, kenapa tempo hari kamu malah lewat jalan yang itu? Di sana 'kan gelap, terus banyak orang suka nongkrong. Kadang ada yang suka minum juga."

"Itu, karena ... karena ... waktu itu ...." Raina bingung bagaimana menjelaskannya kalau waktu itu dirinya sengaja lewat jalan itu untuk membuktikan bahwa Rein memang benar membuntutinya.

"Pokoknya tunggu saya di sini. Kita ke dalem gangnya bareng!" tegas Rein lalu pergi.

Perkataan Rein tentang kondisi gang remang-remang itu justru menimbulkan tanya baru dalam benaknya. Jika Rein sudah tahu kondisi gang itu sebelumnya, lalu kenapa malam itu ia lewat sana juga? Apa pemuda itu memang sengaja mengikutinya karena khawatir seperti yang baru saja ditunjukkannya?

Tadinya Raina tidak ingin menunggu Rein. Namun, perkataan pemuda itu telah membuatnya berubah pikiran. Raina memutuskan menunggu Rein untuk meminta penjelasan.

🌧️☔🌧️

Sekitar sepuluh menit Raina menunggu, tetapi Rein belum juga datang. Di tangannya sudah ada dua bungkus nasi beserta lauknya. Meskipun Rein tidak memintanya untuk membelikan makanan, tetapi Raina berinisiatif membelikannya. Sebagai rasa terima kasih karena sudah memberinya tumpangan untuk hari ini.

Otak Raina masih dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tentang malam itu. Rasanya begitu penasaran hingga tidak sabar menunggu Rein datang untuk meminta penjelasan.

"Raina?" sapa seseorang dari arah belakang Raina duduk.

Seketika Raina menjadi gugup ketika mengetahui siapa orang yang memanggilnya. Orang yang sangat tidak diharapkan ada di tempat itu sekarang.

"Fadil? Ngapain di sini?" tanya Raina gugup. Bagaimana jika Fadil tahu Raina sedang menunggu Rein? Keluar dari mulut Mahesa, sekarang justru masuk ke mulut Fadil.

"Ya, beli makanlah. Ini 'kan warung makan," jawab pemuda itu santai dan malah duduk di kursi yang ada di hadapan Raina.

Kenapa dari sekian banyak warung makan di daerah itu, harus bertemu Fadil di sana? Lalu dari sekian banyak kursi yang ada, kenapa juga Fadil harus duduk di hadapan Raina? Gadis itu gelisah. Takut Rein keburu datang dan Fadil masih berada di sana. Bagaimana jika pemuda itu salah paham lagi?

"Terus, kenapa kamu duduk di sini?" tanya Raina ketika melihat Fadil tak kunjung beranjak. Sudah bolak-balik Raina melihat jam di tangannya. Berharap Rein tidak segera datang dan melihat mereka.

"Ya, nungguin kamu. Kamu sendiri kenapa enggak pulang? Udah selesai 'kan beli makannya?" tanya Fadil seraya melirik ke arah bungkusan yang ada di tangan Raina.

Seketika Raina langsung menyembunyikan bungkusan itu. Khawatir jika Fadil menyadari bungkusan yang Raina pegang ada dua.

"Aku lagi nungguin temen, mau pulang bareng," jawab Raina asal. Ada nada gugup juga dalam suaranya. Berharap Fadil cepat pergi dari sana.

"Kita pulang bareng aja kalau gitu. Kosan kita 'kan searah."

Raina menghela napasnya kecewa seraya tertunduk. Sepertinya tidak mudah mengusir Fadil. Ketika Raina kembali menegakkan kepalanya, ia melihat Rein berdiri di pintu masuk sedang menatapnya.

Gadis itu langsung melihat ke arah Fadil yang duduk membelakangi pintu masuk. Matanya sedang asyik menatap layar ponselnya. Ini kesempatan Raina untuk memberitahu Rein jika ada Fadil di sana.

Raina memberi isyarat dengan tangannya agar Rein jangan ke sana. Kemudian melirik dengan matanya ke arah Fadil. Terlihat Rein menatap ke arah Raina dan punggung Fadil bergantian. Ia pun mengerti maksud isyarat Raina.

Rein pun memberi isyarat kepada Raina kalau ia menunggu di arah sebelah kiri warung kemudian menunjuk ke arah ponselnya sendiri. Menandakan kalau Raina harus mengecek ponselnya. Rein akan mengirim pesan.

Setelah mengerti maksud isyarat Rein, Raina pun mengangguk.

"Kamu ngeliatin siapa?" tanya Fadil penasaran. Ia hendak menoleh ke arah belakang, tetapi dengan cepat Raina mengalihkan perhatiannya.

"Kamu pulang duluan aja, ya. Temenku masih agak lama datengnya."

Fadil mengerjap. Wajahnya datar tanpa ekspresi ketika menatap Raina.

"Kenapa akhir-akhir ini kamu selalu menghindar dari aku?"

Raina pun bingung harus menjawab apa.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang