69. Bunga Terakhir

83 17 0
                                    

Sebelum membaca, jangan lupa klik tanda bintang di sudut kiri bawah.
Yuk, terus dukung cerita ini agar semakin banyak yang membaca.

🌧️☔🌧️

Gedung aula yang biasa dipakai untuk acara-acara besar universitas ramai dipadati oleh orang. Ada banyak yang memakai toga, tetapi lebih banyak lagi yang tidak. Teringat dulu, Raina pertama kali menginjakkan kakinya di gedung itu adalah ketika acara penyambutan mahasiswa baru yang dilaksanakan satu hari penuh dari pagi hingga sore.

Rangkaian acara selain penerimaan mahasiswa baru secara simbolis oleh rektor, juga ada pengenalan semua jurusan yang ada di universitas beserta dekannya. Selain itu ada pertunjukan seni dari beberapa UKM dan yang paling seru adalah kegiatan pengenalan seluruh UKM yang ada di kampus.

Kini Raina berdiri lagi di pelataran gedung itu. Hatinya bimbang dan sedang menimbang-nimbang apakah tindakan yang akan dilakukannya ini salah atau tidak.

Hari itu jadwal wisudanya Rein berdasarkan informasi yang Raina dapat dari Julian. Namun, gadis itu ke sana tidak bersama dengan anak-anak BEM yang lain. Ia ingin bertemu Rein secara personal untuk menyerahkan berkas yang ada di tangannya. Ia tidak mau ada yang curiga kenapa Raina bisa memegang berkas-berkas penting milik Rein itu.

Di tengah kebimbangannya, mata Raina tak berhenti mencari sosok itu di antara kerumunan banyak orang. Kondisinya terlalu ramai dan Raina tidak punya petunjuk sama sekali di sudut mana Rein berada saat itu.

"Teh, beli bunganya, Teh."

Seorang anak kecil sekira usia SD mendekati Raina dan menawarkan bunga dagangannya. Sejenak Raina menoleh, lalu menggeleng pelan. Ia tidak sedang mencari bunga.

"Dua puluh ribuan aja, Teh. Bunga asli." Anak itu belum menyerah.

Raina menatap anak itu beserta keranjangnya yang sudah kosong. Hanya tersisa satu tangkai lagi di tangannya.

"Satu lagi, Teh. Biar saya bisa pulang."

Mau tidak mau Raina merasa iba. Bukankah anak seusia itu seharusnya sedang berada di sekolah? Ini malah berkeliaran untuk mencari uang.

"Kamu kelas berapa?" tanya Raina seraya membuka tasnya untuk mencari dompet.

"Kelas lima, Teh," jawabnya.

"Enggak sekolah?"

"Enggak, Teh. Harus bantuin emak jualan, mumpung lagi rame. Kan wisudaan begini enggak setiap hari."

Hati Raina merasa miris. Anak sekecil itu sudah bisa berpikir membantu orang tuanya untuk mencari uang.

"Bapak kamu ke mana?" tanya Raina lagi.

"Sudah enggak ada, Teh, dari tiga tahun lalu."

Semakin saja Raina merasa iba dibuatnya. Tadinya sama sekali tidak ada niatan untuk membeli bunga, pada akhirnya Raina terenyuh.

"Teteh beli bunganya, ya. Berapa tadi harganya?" tanya Raina seraya membuka dompetnya.

"Dua puluh ribu aja, Teh. Sekalian ngabisin, tinggal satu."

"Ini, kembaliannya untuk kamu, ya. Ditabung untuk biaya sekolah." Raina menyerahkan selembar uang seratus ribuan yang dimilikinya.

"Makasih banyak, Teteh." Mata anak itu berbinar cerah. Ia serahkan mawar dagangan terakhirnya ke tangan Raina lalu menghilang di balik kerumunan orang.

Raina menatap setangkai bunga mawar merah segar terbungkus oleh plastik motif bintang berpita biru yang ada di tangannya itu. Ia tidak butuh bunga itu, tetapi anak tadi lebih butuh uangnya. Lumayan juga harumnya, bisa ia letakkan di kamar kosnya nanti.

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang