54. Pengakuan

89 17 0
                                    

Laporan pertanggungjawaban mereka berjalan lancar. Walaupun ada beberapa orang yang mempertanyakan soal beberapa program yang tidak berjalan padahal seharusnya bisa, tetapi secara keseluruhan kinerja departemen hubungan luar kepengurusan ini dianggap baik.

Seperti halnya pergantian pengurus himpunan, acara mereka berlangsung hingga larut malam. Bahkan berakhirnya sudah lewat tengah malam. Itu pun belum membentuk kepengurusan baru. Hanya melantik ketua baru yang terpilih. Soal kepengurusan nanti akan dilakukan setelah libur semester.

Mereka membentuk kelompok kecil ketika hendak pulang. Dicari siapa yang searah, maka mereka akan pulang bersama. Afia seperti biasa, menginap di kosan Raina. Mereka satu rombongan dengan Fara, Rein, Fadil, dan seorang teman satu departemennya. Katanya ia akan menginap di kosan Fadil.

Sebelas dua belas dengan ketua departemen mereka, temannya Fadil juga banyak bicara. Bertanya ini, itu, seperti tidak kehabisan ide pembicaraan. Sementara Rein dan Fadil lebih banyak diam. Tidak ada seorang pun dalam rombongan itu yang tahu jika mereka sedang perang dingin.

Keenam orang itu jalan beriringan. Perempuan berjalan lebih dulu di depan yang laki-laki. Sementara yang laki-laki berjalan di belakang dengan mengambil jarak sekitar dua meter. Jika ada yang mengobrol, suaranya akan terdengar jelas.

Mereka tiba di pelataran parkir FIB ketika tiba-tiba temannya Fadil yang bernama Koko itu bertanya kepada Rein. Kebetulan Koko satu jurusan dengan Rein di Sastra Belanda. Ia mahasiswa baru juga seperti Raina.

"Katanya Kak Rein lagi nyusun skripsi, ya?"

"Iya," jawab Rein singkat.

"Hah? Berarti ...." Koko terlihat menghitung dengan jemari tangannya. "Kalau Kak Rein lulus semester ini, berarti kuliahnya cuma tiga setengah tahun, ya?"

"Iya, seharusnya. Tapi, sampai sekarang skripsi saya belum lolos untuk sidang. Jadi, enggak tiga setengah tahun lulusnya."

Yang lain masih berjalan dalam diam. Hanya Koko saja yang sejak tadi bersuara.

"Kapan rencana sidang, Kak?"

"Kalau sudah lulus bimbingan dengan pembimbing satu. Sekarang lagi proses itu."

"Memangnya Kak Rein ambil tema apa?"

"Saya ambil kajian sosiolinguistik."

Raina tidak terlalu mendengarkan obrolan mereka lagi ketika Afia tiba-tiba menyikut pelan lengannya.

"Nguping, Bu?" sindirnya dengan suara bisikan.

"Ish," protes Raina takut kasak-kusuk mereka terdengar oleh Fara. Benar saja, sejurus kemudian gadis itu menoleh.

"Ada apaan? Ikutan boleh?" bisiknya dengan wajah usil.

"Itu, Afia lagi bahas ketua BEM yang baru," jawab Raina asal. Jelas saja ucapan Raina itu berhasil membuat pupil mata Afia membesar.

"Kak Julian? Oh, iya, mereka 'kan senior kalian." Kalimat Fara itu berhasil membuat Afia mengembuskan napas lega. Bersyukur gadis itu tidak berpikiran macam-macam karena perbuatan Raina.

"Iya." Kali ini Afia yang menyahut seraya tersipu. "Yang mukanya ganteng kayak artis Korea."

"Maklum, ya, Far. Afia ini maniak drama Korea. Jadi, jangan bosen, ya, kalau segala sesuatu dikait-kaitan sama dunia para oppa." Raina berkata seraya tersenyum.

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang