61. Bimbang

83 13 0
                                    

Usai pengisian kartu rencana studi semester genap dan diskusi rencana KKL di akhir Januari, Raina duduk di teras kantor dekanat. Ia sudah janjian dengan Fara di sana. Mengumpulkan berkas pendaftaran homestay bersama, lalu setelahnya mengikuti kajian keputrian rohis fakultas mereka.

Raina duduk di sana dengan tatapan mata yang kosong. Pikirannya campur aduk, telinganya terngiang-ngiang kalimat ayahnya sebelum ia kembali ke Bandung di hari terakhir liburan.

"Ayah tetap berharap, kamu bisa selesaikan pendidikan kamu dulu, baru memutuskan untuk berumah tangga."

Kalimat tegas sang ayah itu seperti batu tajam yang menghujam ulu hatinya. Bukankah salah satu tugas seorang anak terhadap orang tuanya adalah membahagiakan mereka? Juga meringankan beban orang tua ketika dihisab amal perbuatannya di akhir kelak?

Alasan itu juga yang membuat Raina memutuskan untuk berhijrah. Menjalani kehidupan dengan berusaha maksimal agar tidak melenceng dari jalan yang ditetapkan-Nya walaupun keilmuannya soal agama masih seujung kuku.

Raina tidak mungkin mengecewakan sang ayah. Namun, di sisi lain hatinya menjadi bimbang. Jika ia memutuskan untuk menikah setelah kuliahnya selesai, lalu bagaimana hubungannya dengan Rein? Apa mereka akan terus dekat seperti saat ini tanpa status apa pun? Lalu apa bedanya dengan orang yang berpacaran?

Jika mereka tetap berhubungan tanpa status apa pun, bukankah itu riskan? Siapa yang bisa menjamin hati mereka tidak berubah selama masa penantian itu? Lalu apa yang bisa diharapkan dari hubungan tanpa status itu jika pada akhirnya setelah penantian yang begitu lama mereka akan berakhir dengan orang lain? Bukankah waktu yang mereka habiskan bersama selama ini akan sia-sia?

Namun, jika harus memutuskan hubungan dengan Rein saat itu juga, rasanya begitu berat. Raina sudah terbiasa dengan kehadiran pemuda itu dalam hari-harinya.

"Ngelamun aja!" tegur Fara seraya menepuk punggung Raina hingga gadis itu terlonjak. Fara datang bersama Astri. Tempo hari mereka memang sudah berjanji akan pergi bersama.

"Ya Allah, kaget aku," gumam Raina seraya memegangi dadanya.

"Serius banget ngelamunnya."

"Emang muka aku seserius itu?" tanya Raina bingung.

"Enggak serius, sih, tapi muka kamu kayak enggak konek gitu. Enggak kontrol." Astri memeragakan ekspresi wajah Raina lalu tertawa.

"Yuk, kita ke masjid. Acaranya sebentar lagi dimulai," ajak Fara.

"Acaranya sampai sore, ya, Far?" tanya Raina seraya beranjak dan mengikuti langkah Fara.

"Iya, sampai Asar. Sesi pertama, materinya tentang apa yang harus kita lakukan jika sedang jatuh cinta. Terus break salat dan makan siang. Sesi kedua materinya tentang apakah nikah muda satu-satunya solusi untuk yang sedang jatuh cinta. Sesi ketiga tentang memperbaiki diri untuk menjemput jodoh versi terbaik."

"Wah, lengkap banget!" seru Astri antusias.

Hati Raina seperti tersetrum. Semua materi itu adalah hal yang sedang ia butuhkan saat ini. Apakah acara ini adalah jawaban dari sujud-sujud panjangnya di sepertiga malam ketika memohon petunjuk kepada Allah selama beberapa waktu belakangan ini? Jika memang benar, ia semakin yakin bahwa Allah itu Maha Baik. Selalu memberi apa yang hamba-Nya butuhkan. Bukan apa yang hamba-Nya inginkan.

Langit dihiasi awan mendung. Gerimis rintik-rintik mulai turun. Sehingga ketiga gadis itu harus berjalan melipir di pinggiran kantin yang berderet mendekati masjid. Acara itu diadakan di masjid kampus karena target pesertanya untuk seluruh civitas akademika putri kampus mereka. Akan ada dari jurusan lain juga yang hadir.

Ketika sedang melipir di kantin itulah, tiba-tiba Astri melihat penampakan Rein di lapangan futsal samping kantin, sedang bermain bola dengan anak-anak BEM masa kepengurusan Ghatan. Ada Julian dan Mahesa juga di sana.

"Itu Kak Rein!" pekik Astri heboh. Namun, langsung ia tutupi mulutnya sendiri karena beberapa orang di kantin mulai memperhatikannya.

"Sst, heboh bener," tegur Fara seraya terkekeh.

Dengan refleks, Raina menoleh ke arah lapangan. Ia melihat Rein mengenakan kaos oblong dengan rambut yang sedikit basah sedang memegang bola.

Hatinya terasa senang dan nyeri di saat yang bersamaan. Ketika itulah, secara tidak sengaja Rein juga menoleh ke arahnya. Menyadari kehadiran Raina di sana, perlahan Rein tersenyum dan hendak mengangkat tangannya untuk melambai. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika melihat Raina sedang bersama Fara dan Astri.

"Rain, kamu harus jujur. Sebenernya Kak Rein itu suka sama kamu, ya?" cecar Astri ketika menemukan Rein sedang menatap ke arahnya tadi.

"Ish, apaan, sih, kamu ini. Gosip aja." Raina melengos lalu kembali melangkah untuk meninggalkan kantin.

"Tempo hari aku mergokin Kak Rein liatin kamu. Itu tadi barusan juga begitu. Masa' kamu enggak ngerasa, sih? Aku yang sekali lihat aja langsung tahu."

Raina tersenyum getir. Seandainya saja Astri tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.

Fara yang sudah bisa membaca gelagat antara Rein dan Raina hanya terdiam menyimak obrolan mereka. Ia tidak ingin ikut campur terlalu banyak karena ia pun tahu pasti tidak mudah untuk Raina menahan perasaannya itu. Sama seperti yang sedang ia alami.

"Kalau pun aku tahu, terus aku harus gimana, Tri? Enggak ada yang bisa kulakuin untuk hal begitu." Raina pada akhirnya menanggapi. Tidak tahan dengan cecaran Astri yang begitu penasaran.

"Oh, iya, kamu enggak pacaran, ya? Kalau gitu Kak Reinnya buat aku aja, ya," kelakar Astri lalu tertawa kegirangan.

Raina menoleh ke arah temannya itu. Bingung harus menanggapi apa lagi. Dalam hati ia tidak rela Rein dimiliki orang lain. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa karena Rein juga bukan miliknya. Bukan siapa-siapanya untuk saat ini. Jadi, Raina memutuskan untuk diam saja. Mengabaikan celotehan Astri tentang Rein hingga mereka tiba di masjid kampus yang sudah mulai ramai didatangi oleh para peserta kajian dari berbagai fakultas.

Kedatangan mereka langsung disambut oleh para teteh panitia yang baik hati dan tersenyum ramah. Mengingatkan Raina kembali dengan suasana damai dan nyaman seperti ketika ia berada di komunitas rohis sekolahnya.

Tiba-tiba, Astri mendekat ke arah Raina. Dekat sekali sampai-sampai Raina bisa merasakan napas gadis itu menerpa bagian belakang jilbab yang dikenakannya. Raina keheranan. Ada apa dengan temannya itu? Tadi saja mengoceh tiada henti membahas Rein dari A sampai Z. Sekarang seolah mulutnya membisu.

"Kamu kenapa?" tanya Raina.

"Aku malu. Aku pulang aja, ya," jawab Astri ragu.

"Malu kenapa?"

"Semua pakai jilbab. Aku sendiri yang enggak." Astri celingukan ke sana kemari seolah sedang mencari orang yang senasib dengannya. Namun, tidak ada.

Perlahan Raina tersenyum. Astri mengingatkan kembali akan dirinya dulu ketika pertama kali memutuskan untuk berhijrah. Datang ke kajian rohis tanpa memakai kerudung ataupun baju dan rok panjang. Ia datang sebagai Raina yang apa adanya. Raina yang masih polos dan ingin sekali mengenal agamanya lebih dekat.

Tidak ada yang menertawakan, mengejek, menghina, bahkan mengusirnya. Ia diterima dengan senyum hangat dan tangan terbuka. Sebuah ukhuwah yang jarang Raina dapatkan di luar sana.

"Enggak apa-apa. Percaya, deh, sama aku. Enggak akan ada orang yang bakalan nyinyirin apalagi ngusir kamu." Perlahan Raina genggam tangan Astri dengan erat kemudian ia berikan temannya itu senyum terbaik yang ia miliki.

"Tapi ...."

"Aku dulu pernah ada di posisi kamu. Kalau dulu aku memutuskan untuk nyerah, enggak akan ada aku yang sekarang."

Seiring dengan genggaman tangan Raina yang semakin mengerat, Astri pun mengikuti langkahnya.

🌧️☔🌧️

[Sudah Terbit] Rein Meet Rain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang