BAB 29: First Space

413 43 4
                                    

Lalu lintas Jakarta malam ini tidak terlalu padat. Sean mengendarai mobilnya menuju restoran Jepang langganannya untuk makan malam. Di sebelahnya, ada Caca yang sedang bercerita tentang kesehariannya di kantor hari ini, ditemani lagu Kisah Romantis milik Glenn Fredly yang diputar oleh salah satu stasiun radio. Tubuh Sean memang ada di mobil itu, sedang menyetir, tapi pikirannya entah sedang berpetualang ke mana. Ia tidak mendengarkan Caca, tidak juga mendengarkan lagu, hanya melamun.

Sudah lewat satu bulan sejak mamanya membahas tentang bisnis di New York waktu itu. Selama sebulan juga ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia sudah memutuskan, namun ia belum memberitahu Caca. Malam ini rencananya. Kurang lebih, ia sudah bisa menebak bagaimana tanggapan gadis itu. Sebulan terakhir, ia juga sibuk mempersiapkan segala jawaban dari pertanyaan yang mungkin akan dilontarkan gadis itu.

"Ca," panggilnya setelah salah satu pelayan selesai mencatat pesanan mereka.

"Ya?" Mata cokelat berbinar yang sedang menatap Sean saat ini, membuat nyalinya menjadi ciut. Sesaat, ia merasa tidak yakin bisa membicarakan hal ini.

"Ada yang mau aku omongin. Tapi, abis makan aja, ya," agar Sean memiliki waktu lebih panjang untuk menyusun kembali kata-katanya.

Kening Caca berkerut. "Emang kalo sekarang kenapa?"

Sean tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Nanti aja."

Selama menikmati makan malam, laki-laki itu lebih banyak diam, menjadi pendengar Caca yang bercerita dengan antusias. Aneh, biasanya ia senang mendengar cerita gadis itu panjang lebar, tapi kali ini tiap kali tawa Caca terdengar, saat itu juga hatinya terasa nyeri.

“Mau ngomongin apaan sih?” tagih Caca begitu mereka menghabiskan santapan malam.

Sean berdeham. “Jadi, Mama ditawarin temennya untuk buka bisnis percetakan gitu.”

“Oh, ya? Bagus, dong. Kamu bisa bantuin mama. Cocok juga kan sama jurusan kamu,” jawab Caca dengan semangat.

“Iya, Mama memang minta aku untuk bantu, dan aku juga udah setuju. Tapi…” Ini merupakan keputusan yang berat untuk Sean. Untuk mereka berdua. Makanya, ia merasa kesulitan untuk menyampaikan hal ini pada gadis di hadapannya.

“Tapi?”

“Bisnisnya nggak di sini.”

Caca diam. Lalu dengan nada hati-hati, ia bertanya, “Di mana?”

Sean menundukkan kepala, tidak sanggup melihat tatapan Caca kalau ia mengatakan bahwa bisnis mereka akan berada di, “New York.”

“New York.”

Jawaban singkat itu bagaikan petir di siang bolong. Membuat jantung Caca berdebar kencang saking terkejutnya. Laki-laki itu bercanda, 'kan? Ia berharap Sean segera mengangkat wajahnya lalu tertawa puas karena sudah berhasil mengerjainya sekarang ini. Namun, kepala laki-laki itu tetap tertunduk.

“New York?” tanya Caca lirih, hampir terdengar seperti bisikan.

Sean mengangkat wajah, memandang gadis itu. “Iya, New York.”

Tubuh Caca mendadak terasa lemas sehingga membuatnya harus menyandarkan tubuh pada sandaran kursi. Dari segala kemungkinan yang ada di dunia ini, ia tidak pernah menduga bahwa Sean akan pergi lagi ke tempat yang jauh karena ia bahkan tidak pernah mau memikirkan atau membayangkan hal itu.

“Kapan?”

“Sekitar dua atau tiga bulan lagi, aku sama Mama akan berangkat ke sana.”

“Jadi, kamu bakal menetap di sana?” Bodoh. Caca justru menanyakan hal yang sudah ia ketahui jawabannya.

“Terus, kita gimana?” Lagi, Caca bertanya seakan-akan seluruh tenaganya sudah terkuras habis. Seperti segala harapan dan angan-angannya akan hubungan mereka berdua mendadak sirna.

“Kita… masih bisa LDR 'kan? Kayak dulu.”

Sebuah tawa sarkas keluar dari mulut Caca. Seperti dulu? Caca tidak pernah mau kembali seperti dulu. Ia benci hubungan jarak jauh yang hanya membuat mereka lebih sering bertengkar. Ia benci LDR, dan Sean tahu akan hal itu. Tentu saja Caca ingin mendukung Sean berbisnis dengan mengembangkan keahliannya. Tapi, di sisi lain ia—ah, apakah ia egois jika menginginkan Sean ada di sini? Sosok yang bisa dilihat dan disentuh secara langsung. Sosok yang bisa ia dengar tanpa melalui headset.

“Jadi, aku harus pacaran sama handphone atau laptop lagi, gitu? Mau sampe kapan kita kayak gitu terus, Sean?” tanya Caca frustasi.

Sean bergeming, menandakan ia sendiri tidak tahu jawaban atas pertanyaan Caca barusan. Dulu, kepergiannya ada jangka waktu, tiga tahun. Setelah lulus kuliah, ia akan kembali ke Jakarta. Kalau keadaannya seperti ini, sampai kapan?

“Aku perlu waktu. Sekarang, aku lagi nggak bisa mikir. Aku capek banget hari ini. Kita pulang aja, ya,” ucap Caca menutup pembicaraan.

Rara melipat kedua tangan di depan dada ketika Lio menghampirinya. “Tuh anak kenapa sih?” tanya Rara pada Lio. Yang ditanya langsung mengikuti arah pandang Rara, melihat Caca melamun di balkon rumah dengan laptop di pangkuannya.

Awalnya, Rara pikir gadis itu sedang mengerjakan skripsi, namun dua jam telah berlalu, namun posisi Caca sama sekali tidak berubah, juga dengan layar laptopnya yang masih putih bersih.

Lio mengangkat kedua bahunya. “Beberapa hari ini dia sering begitu. Nggak cuma dia, Sean juga.”

Rara menoleh, menunggu penjelasan lebih lanjut dari Lio.

“Beberapa hari lalu, gua sama anak-anak maen futsal bareng dia. Masa di tengah lapangan sempet-sempetnya melamun, sampe mukanya memar tuh kena tendangan bola.”

“Sean nggak cerita apa-apa ke lo?”

Lio menggeleng. “Apa putus kali, ya?”

Pertanyaan Lio langsung disambut Rara dengan jitakan di kepala laki-laki itu. “Sembarangan banget lo. Kemaren aja masih pulang bareng 'kan mereka?”

“Iya, sih. Ya, abis dua-duanya kayak orang patah hati gitu.”

"Nggak usah ngomongin gua. Gua denger tau," celetuk Caca kepada kedua temannya.

"Lo sama Sean kenapa sih?" tanya Rara. Ia dan Lio berjalan ke balkon, berdiri di sebelah Caca.

"Gua lagi pusing skripsian," jawabnya singkat.

Kali ini Lio yang bertanya, "Kalo Sean?"

Caca mengedikkan bahu.

"Lagian lo sih, buru-buru banget ngambil skripsi. Mestinya semester depan aja kayak kita. Ya nggak, Ra?"

"Nggak. Gua juga kalo bisa skripsian di semester 7 juga pasti udah gua ambil."

"Lagian lebih cepet, lebih bagus kali," timpal Caca.

"Apa bagusnya? Masa gua udah susah-susah masuk, keluarnya mau cepet-cepet?" jawab Lio yang lagi-lagi memantik emosi kedua temannya.

"Lo mendingan balik maen lagi dah. Lebih stres ngomong sama lo daripada ngerjain skripsi." Caca mengibas-ngibas tangannya seakan mengusir Lio.

Lio mencibir sambil berjalan kembali ke kamarnya. "Ye, dibilangin nggak mau denger."

Setelah Lio pergi, Rara duduk di samping Caca sambil menyenggol lengannya. "Woi, kalian nggak kenapa-kenapa, 'kan?"

Caca tahu siapa yang dimaksud dengan 'kalian'. Ia menggeleng dan berkata dengan menenangkan, "Nggak apa-apa."

"Kalo ada apa-apa, lo tau 'kan, lo bisa cerita ke gua kapan aja."

Senyum terukir di bibir Caca. Gadis itu mengangguk, "Thanks ya, Ra."

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang