Maret 2018.
Tidak seorangpun yang tak merasa bahagia ketika melihat orang ia cintai hidup bahagia. Caca termenung memandangi ponselnya, melihat foto yang baru saja diunggah oleh laki-laki yang masih dicintainya—sangat dicintainya sepenuh hati di akun Instagram. Foto pertama setelah lebih dari satu tahun mereka berpisah. Laki-laki itu sedang berada di salah satu restoran, tersenyum lebar melihat kamera. Ada seorang gadis cantik yang Caca kenali sebagai Felly, duduk di depan Sean, dipisah oleh meja makan, menampilkan senyum dengan deretan gigi putihnya.
Caca lega, melihat senyum laki-laki itu. Namun, kelegaan itu tak sebesar rasa getir yang mulai merayapi dadanya, menyadari bukan ia yang menjadi alasan dibalik senyum Sean. Mengikhlaskan kepergian Sean saja belum lulus uji, sekarang ia harus dipaksa belajar merelakan Sean bahagia dengan orang lain. Berat.
Keputusan untuk berpisah dengan baik-baik, mulai disesalinya. Kalau saja mereka berpisah karena bertengkar hebat, berdebat sengit, atau sakit hati yang mendalam, mungkin saja melupakan Sean tidak akan sesulit ini. Seperti ia dulu dengan mudahnya hilang rasa pada Revan yang membuat hatinya patah. Namun, menyesal juga tak ada gunanya. Tidak ada lagi yang bisa Caca lakukan sekarang selain menjalani prosesnya, seperti yang dikatakan Felly beberapa waktu lalu.
Lucu, ya. Padahal, ia sempat kesal setengah mati pada gadis itu ketika Sean masih menjalani kuliah di London. Sekarang, justru ia mendengarkan kata-kata Felly, bahkan menitipkan Sean pada gadis itu, meskipun ketika mengatakannya, ia berusaha untuk menahan air mata dan bicara dengan tegar. Membayangkan Sean sakit karena dirinya sendiri, dan malah dirawat oleh gadis lain. Sok banget sih lo, Ca, katanya pada diri sendiri ketika menutup telepon hari itu.
Pandangan Caca masih terfokus pada foto di ponselnya. Apakah mereka sudah berpacaran? Jika belum, berarti Sean yang bodoh. Sudah berteman bertahun-tahun, apa ia masih belum menyadari perasaan Felly? Padahal, Caca bisa merasakan ketulusan gadis itu hanya dengan percakapan beberapa menit saja.
Caca terkesiap bukan main ketika lamunannya diganggu oleh tepukan heboh dari seseorang yang meja kerjanya bersebelahan dengan gadis itu. Dea, si Content Writer yang pekerjaannya seringkali berhubungan dengan pekerjaan Caca. Tidak heran jika mereka berdua sangat akrab, di dalam dan luar pekerjaan.
"CAAA! Mari awali pagimu dengan..." Dea dengan wajah polos yang belum dirias dan rambut yang belum ditata, sengaja menggantung kalimatnya, lalu dilanjutkan dengan bisikan, "...gosip."
"Gila, ya? Gua pagi-pagi hampir jantungan gara-gara gosip doang? Lagian lo dateng-dateng duduk dulu kek, make up dulu, catokan gitu," repet Caca.
Buru-buru Dea menarik kursinya untuk menipiskan jarak antara ia dan Caca. "Heh, ini tuh bukan 'gosip doang' ya. Ini eksklusif karena sekantor ini, gua yakin, cuma gua yang tau."
"Apaan?" Sekarang Caca sudah mencondongkan tubuh dan telinganya agar tak kehilangan satu katapun dari mulut Dea.
"Pak Alex sama Mba Winda ada main."
"HAH? Nggak mungkin. Tau dari mana lo?"
"Kemaren 'kan gua lembur bareng Mba Winda. Pas udah mau pulang, Mba Rini kirimin file di WA, minta tolong gua buat di-print. Ya, karena komputer gua udah mati, gua pinjem komputernya Mba Winda dong. Pas gua pinjem, dia langsung pergi ke toilet. Eh, pas mau buka WA, punya dia belom di-logout dong. Ya kebaca lah sama gua chat mereka. Sumpah gua nggak sengaja."
"Terus, apaan isinya?"
"Ngajakin ke hotel."
"Ah, makan kali, De."
"Check-in, say! Gua kaget banget bacanya."
"Wah, parah sih. Padahal Pak Alex tuh keliatan family-man banget nggak sih? Inget nggak dulu kita pernah bilang pengen punya suami modelan Pak Alex karena dia mesra banget sama bininya?"
"Nggak, nggak. Nggak mau lagi gua dapet yang kayak dia. Amit-amit."
"Udah ganteng banget, pinter banget, eh kelakuannya minus."
"Eh, tapi temen gua ada lho yang ganteng, pinter, dan berkelakuan terpuji, mulia lah pokoknya, cocok banget sama lo. Nih, gua tunjukin," Dea mulai mengotak-atik ponselnya.
"Heh, heh. Ini awalnya gosip kok jadi nyambung ke gua, ya?"
"I'm so good with words, babe. Makanya bisa jadi Content Writer. Hahaha. Nih, orangnya nih."
"Ogah."
"Ih, liat dulu kek," gerutu Dea sambil menyodorkan ponselnya tepat di depan mata Caca.
Caca melihat tanpa minat, hanya supaya temannya itu bisa diam dan berhenti menjodoh-jodohkannya dengan siapapun.
"Ganteng 'kan?"
Caca tersenyum. "Ganteng."
"Mau dong kenalan?" Ini sudah kesekian kalinya Dea menyuruh Caca berkenalan dengan teman-temannya yang masih lajang. Berharap gadis itu mau membuka hati untuk seseorang dan tak hanya menatap nanar foto-foto lama antara dirinya dengan sang mantan yang bernama Sean itu.
Gadis itu tersenyum makin lebar. "Nggak." Caca lantas mengalihkan pandangannya pada layar komputer. "Udah deh jangan ganggu gua dulu. Belom selesai nih report gua, mana siang nanti meeting lagi."
Dea menghela napas berlebihan. "Report belom selesai, tapi masih sempet-sempetnya bengongin mantan ya, Ca." Ya, gadis itu tahu benar apa yang dilihat Caca sambil melamun barusan, lalu Dea berdecak pura-pura kecewa. "Emang bukan karyawan teladan lo. Untung gua yang liat, coba kalo yang laen, bakal di ceng-cengin lo."
Sudah menjadi rahasia umum di kantornya bahwa satu-satunya alasan Caca masih betah sendiri adalah perasaan yang belum selesai pada mantan kekasihnya. Cerita ini bermula saat seorang rekan kerjanya menggoda Caca dengan bertanya, "Ca, gua boleh deketin lo nggak?"
Gadis itu tidak tahu pertanyaan itu serius atau bercanda, tapi karena nadanya terdengar seperti main-main dan pertanyaan itu dilontarkan di hadapan beberapa orang dalam timnya, maka dengan enteng Caca menanggapi, "Nggak usah deh, lo belom ada apa-apanya dibandingin sama mantan gua," yang kemudian disambut gelak tawa oleh semua orang yang mendengar, termasuk si penanya.
Hanya sekali bercanda. Namun label itu seakan menempel pada dirinya sampai sekarang. Ditambah lagi, gadis itu sama sekali tidak menunjukkan minatnya untuk memulai hubungan baru. Jangankan hubungan baru, bahkan sekedar berniat melirik lelaki lain pun tidak. Meskipun sebagian besar hanya menganggap semua adalah candaan, hanya Dea yang tahu bahwa dibalik itu semua, ada kebenaran yang menyakitkan. Caca pernah menceritakan semua yang ia alami dengan Sean, sampai rasanya Dea sangat mengenal sosok Sean meskipun tidak pernah bertemu.
Sementara itu, nun jauh di sana, Sean mengamati foto yang sama, disukai oleh Caca melalui akunnya. Tadi saat makan malam bersama Felly, mereka sedang iseng bermain Truth or Dare. Berhubung Sean jarang mengunggah foto, laki-laki itu mendapat tantangan untuk mengunggah foto mereka di Instagram selama 24 jam. Lantas, saat ini ia bertanya-tanya, apakah Caca cemburu melihat fotonya dengan Felly? Kalau boleh memilih, kali ini ia ingin Caca menghubunginya, memakinya, seperti yang pernah dilakukan gadis itu dulu. Paling tidak, dengan begitu ia tahu, bahwa dirinya masih punya tempat di hati Caca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Satu Dekade [END]
General FictionSetiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca? Haruskah mereka menunggu pertemuan berikutnya untuk melanjutkan kisah yang telah ada, atau memulai...