BAB 23: First Fan

420 50 7
                                    

Suara tawa Caca dan Lidya menggema di ruang keluarga. Mereka sedang menonton acara komedi di televisi, sambil menikmati sebungkus keripik kentang. Suara pintu yang terbuka lalu tertutup kembali, diiringi suara langkah kaki seseorang, membuat Caca memutar kepalanya untuk memastikan bahwa Lio sudah pulang ke rumah.

Tanpa menunggu lama, gadis itu segera menghampiri Lio yang sedang duduk di ruang tamu, membuka sepatu futsalnya.

"Malem banget lo pulang," kata Caca setelah merebahkan diri di sofa ruang tamu, tepat di samping Lio.

Lio melirik jam dinding sejenak. "Biasa juga balik lebih malem dari ini. Nggak usah basa-basi deh. Bilang aja lo butuh sesuatu."

"Apaan? Lo mikir negatif mulu sama gua."

"Ya udah. Gua mau mandi, langsung tidur. Capek gua."

Lio bangkit dari sofa dan sebelah tangannya ditarik Caca sebelum ia sempat beranjak. "Eh, tunggu dulu."

"Nah kan. Gua bilang juga apa," sahut Lio puas, lalu kembali duduk.

"Apaan?" Lio bertanya tidak sabar karena gadis di sebelahnya hanya diam selama beberapa detik.

"Itu..."

"Itu?"

"Itu si..."

"Si..."

"Si itu..."

"Lo ngomong apaan sih? Ita itu ita itu. Kagak jelas."

"Itu, temen lo."

"Temen gua yang mana?"

"Yang itu..."

"Ck. Ngajak berantem nih orang."

Caca gantian mendecak. "Sean."

"Sean? Kenapa?"

"Hmm... Lo ada contact-an sama dia nggak akhir-akhir ini?"

"Ada," kata Lio sambil menganggukkan kepala. Tampaknya, ia tahu maksud dan tujuan Caca, tapi tetap membiarkan gadis itu bertanya lebih lanjut.

"Dia apa kabar?"

"Lah, nanya gua. Yang pacarnya siapa? Gua?"

"Maksud gua..."

Kata-kata Caca terpotong ketika Lio mendecak gemas. "Lo berdua bener-bener ya. Gua jadi tukang pos masa? Sean nanyain lo ke gua, lo nanyain Sean ke gua. Yang pacaran siapa, yang ribet siapa," omel Lio tanpa bisa menahan rasa gregetnya kepada sepasang kekasih yang sudah sepuluh hari tidak saling berkomunikasi. Ia baru bisa mengoceh ke Caca sekarang karena baru hari ini gadis itu bertanya tentang Sean. Sedangkan Sean sudah lebih dulu merecokinya, satu hari setelah gadis itu mengakhiri panggilan dengan makian kepada Sean.

Mengabaikan omelan Lio, mata Caca justru membulat senang. "Sean nanyain gua?"

Berbeda dengan Caca, mata Lio menyipit, lalu menyikut lengan gadis itu. "Lo hubungin dia gih. Dia takut hubungin lo duluan."

"Kenapa?"

Lio mengangkat kedua bahunya. "Tau. Muka lo kaya reog kali pas ngamuk kemaren. Jadi sawan tuh anak orang," jawab laki-laki itu yang kemudian dibalas Caca dengan timpukan bantal tepat di wajahnya.

Dear Sean,

Apa kabar? Gimana ujian kamu? Tugas akhir kamu bisa kumpul tepat waktu? Maaf ya, aku telat nanya. Harusnya, aku nanya beberapa minggu lalu, di hari kita anniversary. Tapi, aku malah sibuk ngediemin kamu. Sekalinya bisa ngobrol, aku malah ngajak berantem, nuduh kamu yang nggak-nggak. Waktu itu, mood aku memang lagi berantakan banget beberapa hari. Aku tau, ini nggak bisa jadi alasan buat sikapku kemaren. Tapi, kalo nggak keberatan, mau denger ceritaku?

Beberapa hari setelah aku kerja kelompok, kita presentasi. Satu temenku telat, bangun kesiangan padahal kelompok kita yang maju pertama. Dosenku marah dan nilai kita semua dikasih minus. Aku kesel, bukan karena harus dengerin ocehan Mama kalo IPK aku kecil. Tapi apa ya? Aku merasa udah saatnya aku berjuang untuk diri aku sendiri, bukan lagi cuma nyenengin Mama doang. Mungkin, ini memang pilihan Mama, tapi bisa jadi juga masa depanku lebih baik lewat kuliahku sekarang, makanya aku mau berusaha. Udah kayak anak ambis ya aku? Hehehe.

Kedua, tentang Revan. Terakhir kali kita telepon, dan kamu ngomong soal Revan. Kalo dipikir-pikir, belakangan ini sikap dia memang beda ke aku. Semua itu diperjelas ketika dia bilang, pengen memperbaiki semuanya, kayak dulu. Dia tetep minta aku buat kasih dia kesempatan, meskipun dia tau aku punya pacar, kamu. Tapi, aku udah buat keputusan. Aku bakal keluar dari BEM semester ini, biar nggak sering ketemu dia lagi. Aku rasa setahun udah cukup kok untuk aku punya pengalaman organisasi. Masuk semester 3 nanti, kalo niat, aku bisa masuk organisasi laen.

Segitu aja ceritaku.

Love,

Your reog girlfriend.

Btw, Lio bilang kamu takut hubungin aku karena aku marah kaya reog. Emang bener? :(

Ekspresi Sean berubah-ubah ketika membaca deretan kalimat yang Caca kirimkan melalui email. Dari lega karena gadis itu sudah tidak marah lagi, mendengus ketika membaca cerita tentang Revan, lalu tertawa kecil melihat kata terakhir gadis itu. Padahal, ia baru saja bangun tidur, tetapi melihat ada notifikasi email masuk dari Caca, mampu membuat matanya segar seketika. Ia pun sibuk dengan ponselnya, mengetik sesuatu untuk membalas pesan gadisnya.

Untuk Caca,

Pertama, aku mau klarifikasi dulu. Bener, aku takut hubungin kamu, tapi bukan karena kamu kayak reog. Ya, sedikit kaya reog sih hahaha, tapi bukan itu alasannya. Aku takut kamu masih marah dan tambah marah kalo aku terus hubungin kamu. Kita memang butuh waktu untuk berpikir dan sama-sama tenang supaya bisa komunikasi lagi. Dan untuk ujian, aku sih merasa lancar aja pas ngerjain, nggak tau deh kalo nilanya, doain bagus ya. Tugasku juga akhirnya bisa kumpul tepat waktu, meskipun aku sempet panik karena beberapa kali gagal pas aku kirim lewat web kampus.

Soal Felly, aku juga salah. Aku nggak peka. Aku nggak menjaga perasaan kamu. Harusnya, aku tau batasan dalam pertemanan karena sekarang aku punya kamu. Makasih, karena kamu ingetin aku soal itu.

Soal Revan, jujur aku nggak kaget dia bisa bilang gitu ke kamu. Tapi, memang dari awal harusnya aku percaya sama kamu, bukan malah curiga terus. Kalo dia masih gangguin kamu, bilang ke aku, kasih nomornya sini, biar aku yang ngomong sama dia. Beraninya gangguin pacar orang!

Soal kuliah, aku udah pernah bilang belom kalo aku bangga sama kamu? Kalo belom, aku mau bilang sekarang. Aku bangga banget sama kamu. Nggak gampang, Ca, melepas dan merelakan mimpi kita sendiri, demi mimpi orang lain. Aku sendiri nggak akan bisa bayangin gimana kalo hal yang sama terjadi sama aku. Kayaknya, aku nggak akan sekuat kamu. But, you did it. Kamu udah berjuang dan berusaha sebaik mungkin. Itu yang buat aku selalu kagum sama kamu. Kalo aja kamu punya klub penggemar, udah pasti aku ketuanya. Eh, tapi jangan deh. Nanti kalo banyak yang suka, sainganku tambah banyak.

Dari aku,

Penggemar beratmu.

Jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Caca ketika mendapat balasan dari Sean. Gadis itu menggigit bagian dalam bibirnya. Hatinya seakan meluruh. Selama ini, ia belum pernah mendengar seseorang berkata seperti itu kepadanya. Bahkan, mamanya sendiri hanya sibuk menekannya untuk mendapat nilai yang bagus, tanpa pernah mau tahu bagaimana kerasnya Caca mencoba menekuni semua tentang bisnis.

Entah sudah berapa kali gadis itu jatuh-bangun. Ia juga sempat berpikir untuk menyerah saja. Namun pesan singkat dari laki-laki yang amat dicintainya, mampu mengisi ulang kembali sisa energi yang ia miliki untuk terus melangkah demi mencapai masa depan yang sedang diusahakannya.

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang