Desember 2021.
Sebuah gedung yang terletak di sudut kota New York, yang di dalamnya terdapat ruangan besar khusus untuk pertunjukkan musik telah dipenuhi oleh sedikitnya 1.200 orang yang sedang menunggu sang idola naik ke atas panggung. Dua orang di antara ribuan lainnya adalah Sean dan Felly.
Gadis itu sungguh tak dapat menyembunyikan kegembiraannya sedari mereka mengantri untuk masuk sambil meremas lengan Sean yang terbalut jaket mantel. "Gua bakal ngeliat Ed Sheeran, Sean!" Seruan penuh antusias itu telah diulang berkali-kali sejak kemarin, yang selalu dibalas tawa kecil dari laki-laki itu.
Sean tersenyum memandangi Felly dengan tatapan yang tak dapat diartikan, sementara pandangan gadis itu mengedar ke sekeliling, mengagumi betapa banyaknya penonton yang datang. Lalu, perhatian keduanya teralihkan oleh redupnya lampu ruangan, menyisakan beberapa lampu tembak berwarna merah yang menyorot ke arah panggung, juga sorakan para penonton karena sang idola papan atas, Ed Sheeran, telah naik ke panggung bersama gitar akustiknya. Tanpa menunggu lama, Ed Sheeran langsung memainkan gitar, membuka acara konser dengan lagu dari album terbarunya.
Setiap penyanyi, punya magis tersendiri untuk membangkitkan semangat penonton, menghipnotis seluruh isi ruangan untuk ikut bernyanyi sambil menggerakkan seluruh anggota tubuhnya dengan santai, diselingi sorakan riuh dengan volume maksimal sampai suara mereka habis. Sean sangat menikmati hingar-bingar dari malam yang gemerlap ini. Begitu pun dengan Felly yang sesekali mengabadikan lagu-lagu kesukaannya dalam sebuah rekaman yang ia unggah pada media sosial, tak lupa menandai Sean.
Mungkin ada sekitar dua puluh lagu yang dibawakan oleh idola jutaan umat itu, entahlah, Sean tak menghitungnya. Yang pasti, setelah konser berakhir, ia baru sadar kalau tenggorokannya terasa kering, sehingga mereka berdua memutuskan untuk mencari minimarket terdekat untuk membeli air mineral.
"Gimana, seneng?" tanya Sean pada Felly ketika mereka keluar dari mini market, lalu membuka tutup botol dan meneguk isinya.
"Nggak usah ditanya. Gua nggak bakal bisa tidur kayaknya malem ini," jawab Felly mendesah senang sambil mendongak, menatap ke langit gelap. Lalu, ia mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang berjalan di sebelahnya. "Anyway, makasih ya lo udah mau temenin gua hari ini."
Sean mengangguk. "Sama-sama."
Sebenarnya, Sean sudah tahu jawaban atas pertanyaannya tadi. Saat konser berlangsung, beberapa kali ia mencuri pandang ke arah gadis itu dan menemukan bahwa keceriaan Felly memang terpampang jelas di wajahnya. Tanpa sadar, Sean menghela napas. Sejak ia keluar dari gedung tadi, hatinya merasa lega. Bukan hanya karena ia sudah berteriak-teriak sepanjang konser untuk menumpahkan segala isi hatinya, tetapi juga karena ia sudah yakin akan perasaannya yang selama ini abu-abu.
—
"Ca, coba lo baca deh tulisan gua. Udah oke belom sih? Kepanjangan nggak?" Dea menggigit kukunya dengan kening berkerut, sekaligus memanggil Caca tanpa melepaskan pandangannya dari layar komputer.
Ketika nama yang dipanggil tak menjawab, Dea memanggil sekali lagi. "Ca."
Masih belum ada jawaban. Dengan gusar, Dea menoleh ke meja sebelahnya, ingin tahu apa yang sedang dilakukan temannya sampai tidak menyahut ketika dipanggil. Lalu, ia mendapati Caca tampak melamun melihat layar ponselnya dengan tatapan datar.
"Woi. Ngeliatin apa sih serius banget?" Dea mencolek lengan Caca, membuat gadis itu sontak menoleh pada sumber suara.
"Hm, ini. Sean nonton konsernya Ed Sheeran," jawab Caca jujur setelah melihat akun Sean yang me-repost story Instagram milik Felly.
"Emang kenapa kalo dia nonton konser?"
Caca membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, namun seketika, ia mengurungkannya. "Nggak apa-apa. Abis lo nanya tadi," jawab Caca akhirnya.
Dea mendengus. "Gua nanya karena lo dipanggil dari tadi nggak nyaut. Nih, lo liat dulu tulisan gua udah oke belom? Buat konten lo juga nih untuk minggu ini."
Caca segera menggeser kursinya ke meja Dea, membaca deretan tulisan di layar komputer, lalu menunjuk salah satu bagian di sana. "Kata-kata yang ini nggak usah dimasukkin kali ya? Biar langsung to the point gitu."
"Oke," ucap Dea setuju tanpa menyanggah apapun dan melakukan saran Caca.
"Nah, sip."
"Eh." Dea mencekal pergelangan tangan Caca sebelum gadis itu kembali ke meja kerjanya. Ia berdeham sejenak, lalu, "Lo sama Radi gimana? Gua liat-liat, sering dinner bareng nih sekarang."
Oh, ya, namanya Radika, salah satu teman Dea semasa SMA, yang dikenalkan pada Caca tiga bulan lalu. Awalnya, Caca mengiyakan permintaan Dea untuk berkenalan dengan Radi, hanya supaya temannya itu berhenti menerornya setiap hari. Namun setelah beberapa kali bertemu, gadis itu mengakui bahwa Radi adalah seseorang yang terlalu menyenangkan untuk menjabat sebagai auditor di salah satu bank swasta. Di pikiran Caca, seorang auditor itu cenderung galak, serius, tidak bisa diajak bercanda, dan membosankan. Tapi bersama Radi, selalu ada saja bahan banyolan yang menggelitiknya.
Selain itu, Radi juga memperlakukannya dengan sopan. Di awal pertemuan, Radi pernah beberapa kali menawarkan untuk mengantar-jemput Caca ketika mereka ada janji makan malam. Namun, laki-laki itu tak pernah memaksa jika Caca menolaknya karena ia tahu, gadis itu masih belum merasa nyaman bersama orang yang baru ia kenal. Hal itu tentu menjadi nilai tambah di mata Caca.
"Ya, gitu aja." Caca menjawab pertanyaan Dea tadi.
"Udah jadian belom?" tanya Dea penasaran.
"Ya kali, De. Baru juga kenal."
"Apa lagi sih yang lo cari, Ca? Radi tuh orang baik, dari keluarga baik-baik, mapan, dan yang pasti dia serius mau cari calon istri. Gua rasa ya, kalo lo kasih dia kepastian, kalian bisa langsung tuh ke pelaminan."
"Jauh banget lo mikirnya sampe ke pelaminan."
"Caca, umur lo itu udah 26 ya, udah sepantesnya mikir ke sana."
"Lah, lo juga. Pinter banget ngomongin orang padahal sendirinya jomblo. Lagian, nggak ada patokan umur berapa seseorang harus menikah."
"Gimana sih, jadi gua yang kena." Perkataan Caca yang tepat sasaran, akhirnya berhasil mengakhiri argumen Dea. "Ya udah, intinya, jangan gantungin anak orang lama-lama. Bye, gua mau ke ruangan Mba Rini dulu," kata Dea yang kemudian beranjak dari tempatnya meninggalkan Caca termenung memikirkan kata-katanya barusan.
Pernikahan adalah kata yang tak pernah terlintas dalam pikiran Caca sekalipun, apalagi dengan Radi sebagai pasangannya. Di pertemuan yang kesekian kali, laki-laki itu memang pernah membahas perihal dirinya yang mencari calon istri. Tapi, Radi juga tidak keberatan ketika Caca berkata bahwa dirinya tidak mau terburu-buru memulai sebuah hubungan. Laki-laki itu masih setia menunggu Caca siap dan yakin akan apa yang gadis itu inginkan, tanpa banyak menuntut. Berarti memang semua keputusan berada di tangan Caca. Siapkah ia membuka lembaran baru untuk saling berdampingan bersama seseorang seumur hidupnya?
Namun, melihat postingan Sean tadi, rasanya ia tahu harus bagaimana.
![](https://img.wattpad.com/cover/310186229-288-k5256.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Satu Dekade [END]
Narrativa generaleSetiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca? Haruskah mereka menunggu pertemuan berikutnya untuk melanjutkan kisah yang telah ada, atau memulai...