BAB 39: First Night in Manhattan

796 61 5
                                    

Musim panas, Juni 2022, New York.

Perjalanan panjang dan membosankan selama lebih dari dua puluh jam menuju New York membuat Caca dan teman-teman sekantornya serasa dimanjakan oleh cahaya lampu yang berasal dari gedung-gedung tinggi maupun billboard di sepanjang jalan raya, menyambut datangnya malam. Pada akhirnya, Caca tercatat sebagai salah satu peserta outing dari kantornya, setelah semua iming-iming, rayuan, serta bujukan manis Dea. Beberapa jam lalu, bus tur menjemput mereka dari bandara menuju hotel. Mereka diberi waktu sebentar untuk meletakkan barang bawaan ke kamar, lalu segera menuju ke restoran terdekat untuk makan malam, kemudian kembali ke hotel untuk beristirahat.

Pembagian kamar dalam acara outing ini, menempatkan Caca, Dea, Dinda, dan Rini dalam satu kamar. Kombinasi yang sama sekali tak membuat Caca keberatan. Jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika mereka selesai beberes dan mandi. Namun mereka berempat sama sekali belum merasa mengantuk. Alih-alih mencoba tidur, mereka justru bermain Tepuk Nyamuk menggunakan kartu remi yang dibawa oleh Dinda.

"Kali ini yang kalah, beliin kita snack sama minuman ya di minimarket deket sini. Mager mau keluar, tapi laper," ucap Dea sebelum memulai permainan ronde kedua, yang kemudian disetujui semua pihak.

Apesnya, Caca-lah orang yang kalah dalam permainan kali ini. Mau tidak mau, ia segera keluar dari hotel, berjalan kaki sekitar lima puluh meter menuju minimarket terdekat dari hotel. Tiga orang temannya yang masih bersantai di hotel benar-benar tak membiarkan gadis itu menjalani hukuman dengan mudah. Banyak sekali daftar makanan dan minuman yang diminta oleh Dea, Rini, juga Dinda, membuat Caca kelimpungan membawa beberapa kantong belanjaan, setelah ia menyelesaikan pembayaran.

Seakan belum cukup menderita, baru beberapa langkah keluar dari minimarket, salah satu kantong belanja yang berisi beberapa minuman, terlepas dari tangannya, menyebabkan seluruh isinya berhamburan. Rutukan spontan lolos dari mulut Caca seraya berjongkok memungut minuman yang terjatuh. Beberapa orang yang sedang berjalan di sekitar sana bermurah hati untuk membantu Caca, yang kemudian dibalas dengan ucapan terima kasih dari gadis itu. Bersamaan dengan itu, sudut matanya tak sengaja menangkap sepasang kaki berbalut sepatu sneakers hanya diam berdiri di dekatnya. Caca jadi sadar bahwa perbuatannya barusan telah menjadi tontonan orang-orang. Tapi, daripada berdiam di tempat dan menonton, bukankah lebih baik orang tersebut membantunya?

Setelah memastikan semua barang telah masuk ke dalam kantong serta memegangnya erat, Caca mengembuskan napas, kesal dengan dirinya sendiri. Ia bangkit berdiri, lalu tiba-tiba saja ia lupa bagaimana caranya bernapas ketika matanya bertemu dengan mata si pemilik kaki bersepatu sneakers yang ia cibir tadi.

Sialan! Dea sialan! Harusnya Caca tidak pernah percaya omongan gadis itu.

Mata Sean tak mampu lepas dari ponselnya yang menunjukkan foto sebuah jalanan tua bernama Stone Street di daerah Manhattan yang tampak cantik di sore hari karena dihiasi lampu-lampu kuning, lengkap dengan semburat awan oranye di cakrawala, yang terhalang gedung tinggi. Ia hafal karena lokasi tempat itu tidak jauh dari kantornya dan memang beberapa kali pernah ke sana. Bukan hanya keindahan foto itu yang sekarang membuat Sean terpaku, namun seseorang yang mengunggah foto tersebut pada story Instagram, Marisa Vaneta. Foto seperti ini sebenarnya mudah saja didapatkan dari internet karena memang hampir setiap orang menyukai pemandangan Stone Street di sore hingga malam hari. Namun, benarkah itu hanya gambar dari internet? Atau justru gadis itu memang berada di sana? Sean tidak bisa mendapat petunjuk lebih banyak karena foto itu diunggah tanpa keterangan lokasi atau tulisan apapun. Tanpa berpikir panjang, ia bergegas mengemasi barang, mematikan laptop, meninggalkan kantornya, dan menuju tempat itu.

Sudah satu jam berlalu sejak Sean sampai Stone Street, persis di posisi yang sama seperti di foto tadi dan bersandar pada dinding yang memisahkan dua toko di sana. Ia mengamati orang yang berlalu-lalang, lalu menunduk sambil bertanya pada dirinya sendiri, sebenernya gua ngapain sih?

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang