BAB 38: Outing Plan

633 46 2
                                    

"Din, desain untuk event promo udah di-approved Mba Rini belom ya? Tiga hari lagi udah mesti upload nih." Caca menghampiri Dinda, salah satu desainer grafis di kantor ini, yang pekerjaannya juga banyak berhubungan dengan Caca.

"Katanya sih hari ini mau di cek lagi. Tapi orangnya masih meeting buat bahas budgeting buat tahun 2022. Pasti bakal lama tuh kelarnya."

Apa yang dikatakan Dinda memang benar adanya. Setiap menjelang akhir tahun, selalu diadakan rapat untuk mengevaluasi hasil kinerja tahun ini, membahas rencana kerja di tahun depan, dan yang terutama adalah anggaran. Bagaimana pun juga, anggaran merupakan hal penting yang tak boleh dilupakan dalam menjalankan sebuah perusahaan. Biaya yang keluar harus ditekan seminimal mungkin, agar mendapat pemasukan yang lebih besar.

Biasanya, rapat tahunan seperti ini akan berlangsung berjam-jam, bahkan berhari-hari dan hanya dihadiri oleh kepala divisi saja, termasuk seseorang yang dipanggil Mba Rini, sang kepala divisi Digital Marketing. Jadi, semua pekerjaan Caca, Dea, Dinda, dan semua tim yang berhubungan dengan pemasaran melalui media digital, akan dipertanggungjawabkan kepada Rini.

Caca menghela napas panjang sambil memegang keningnya. "Hadeh. Bau-baunya bakalan lembur lagi nih kita, kalo dapet approval mepet-mepet gini," gerutunya.

"Ya, beginilah, Ca, kerasnya hidup mencari sesuap nasi."

"Cari sebongkah berlian dong, Din. Ngapain cari duit susah-susah cuma untuk sesuap nasi doang?" celetuk Caca asal sambil menuju mejanya.

Tapi, daripada pusing, lebih baik ia menyegarkan pikirannya dulu dengan melihat-lihat keranjang belanjaan online yang sudah menumpuk. Siapa tahu, ada yang bisa dibelinya.

"Ca, gua dapet berita." Dea baru datang entah dari mana, membawa satu map berisi dokumen, tiba-tiba saja langsung menarik kursinya mendekat ke arah Caca. Kadang, ia heran dengan Dea yang seakan punya mata dan telinga di mana-mana. Semua informasi di sekitar kantor, sama sekali tak pernah terlewati olehnya. Dari topik seputar pekerjaan, sampai ke kehidupan pribadi manusia yang bekerja di sini, ia tahu.

"Apaan?" tanya Caca, masih asyik menggulir layar ponselnya yang menampilkan deretan foto baju dengan berbagai model.

"Tadi, gua nggak sengaja denger atasan-atasan yang lagi meeting."

"Halah, lo mah bukannya nggak sengaja. Pasti lo mantengin depan pintu deh. Kebiasaan lo."

"Iya, tapi itu nggak penting. Info pentingnya adalah... tahun depan 'kan ada jadwal outing tuh, nah, divisi kita jadi salah satu yang masuk di jadwal," jelas Dea menggebu-gebu.

Mulut Caca otomatis menganga. Mata cokelatnya membulat lebar. Ia jelas terkejut dengan informasi itu. Setiap tahun, kantor mereka memang selalu mengadakan outing, untuk mengapresiasi kinerja karyawan, juga memberikan mereka waktu berlibur sejenak demi melepas penat selama bekerja. Namun, tidak semua divisi akan diikutsertakan, ada giliran masing-masing, juga menyesuaikan dengan performance karyawan.

"Serius lo? Demi apa?"

"Ya, serius. Katanya tahun ini performance tim kita bagus, mencapai target."

"Wah, gila! Ke mana nih kita? Ke mana?" tanya Caca antusias.

"Ke... New York! Gila, nggak? Duh, seneng banget gua."

Tunggu. Apa? Sepersekian detik, raut wajah Caca berubah. Senyum cerah yang menghiasi wajahnya, mendadak lenyap. Gadis itu mengusap tengkuknya, lalu berkata dengan ragu, "Itu... wajib nggak sih? Boleh nggak, kalo nggak ikut?"

Kali ini, wajah Dea yang berubah. Ia menyipitkan kedua matanya. "Maksudnya? Ih, aneh banget lo. Kesempatan outing ini langka, Ca. Belom tentu tahun-tahun depan kita bisa dapet. Lagian, ini pas banget kita dapet tempat yang oke 'kan, New Y..." Dea tidak melanjutkan kata-katanya dan dengan tatapan menyelidik, ia bertanya, "Lo inget mantan lo ya?"

Pertanyaan Dea bagaikan anak panah yang tertusuk tepat sasaran di jantungnya. Padahal sudah hampir lima tahun. Tapi setiap kali ia membaca atau mendengar kata New York, ia tidak bisa tidak mengingat Sean. Caca baru membuka mulutnya, berusaha untuk mengelak, namun Dea berkata lagi, "Caca, New York tuh gede tau. Kecil banget kemungkinannya lo bisa ketemu dia. Percaya deh sama gua."

Caca masih belum bersuara, membuat Dea gemas. "Lagian lo kerja masa mau dapet susahnya doang, Ca. Sekali-sekali, mumpung ada kesempatan, nyicipin enaknya juga kali. Kalo ngga sekarang, kapan lagi?"

Dea menatap temannya masih bergeming. "Pokoknya lo harus ikut ya. Sumpah, lo tega banget kalo biarin gua ikut outing sendirian. Temen gua 'kan cuma lo doang. Terus nanti berhari-hari gua ngegosip sama siapa di sana?"

Lagi-lagi, Dea mengeluarkan rengekannya sebagai cara terjitu untuk meluluhkan Caca. Cara ini sering digunakan Dea, apalagi ketika berusaha menjodohkan Caca dengan teman-temannya.

Gadis itu mendecak. "Tau ah, liat nanti aja," katanya lalu kembali menggulir layar ponsel, pura-pura sibuk dengan aktivitas belanjanya.

Dalam hati, ia mereka-reka. Seandainya. Seandainya saja. Bagaimana kalau ia bertemu Sean di sana? Ia harus bersikap seperti apa? Ia harus memasang ekspresi seperti apa? Tapi, kata-kata Dea juga tidak salah. New York itu kota besar, kecil kemungkinannya untuk mereka bisa bertemu. Lalu, pertanyaan berikutnya adalah, jika Caca pergi ke sana, dan sama sekali tidak bertemu Sean, kira-kira bagaimana perasaannya? Sedihkah? Atau justru ia lega?

Dari sekian banyak kota yang indah di seluruh Indonesia, kenapa juga kantornya harus memilih kota dari negara lain? Ck. Padahal ia baru saja ingin mengalihkan pikiran yang mumet karena kemungkinan besar ia akan lembur beberapa hari ini, sekarang malah ditambah masalah baru yang tak pernah ia duga-duga.

Caca menarik napas dalam ketika ia sadar sudah berpikir terlalu jauh. Kebiasaan lamanya mulai kambuh, menebak sesuatu yang belum terjadi. Gadis itu masih sibuk dengan ponselnya, kemudian seluruh perhatiannya teralihkan. Matanya menangkap sesuatu. Bukankah dress biru ini terlihat cantik untuk dikenakan saat pesta tahun baru sekaligus pelantikan promosi jabatannya nanti?

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang