Mata Pak Andi sesekali melirik mahasiswi di depannya, sambil membaca draft skripsi milik Caca. Rambutnya dikuncir asal, wajahnya muram, matanya kuyu, dan di bawah matanya terdapat lingkar hitam yang cukup pekat. Beberapa waktu belakangan, ia pikir gadis itu terlihat sedikit berantakan akibat sisa-sisa kesibukannya di kantor. Namun ini Sabtu pagi, tapi penampilan gadis itu sama kacaunya. Sekarang, sementara menunggu Pak Andi memeriksa, pandangan kosong Caca menuju pada meja.
"Menurut saya, sampel kamu ditambah lagi aja, Mar. Kalo terlalu sedikit, hasilnya jadi nggak terlalu akurat. Hasil uji hipotesisnya jadi agak rancu," ujar Pak Andi membuat gadis itu mengangkat kepala.
"Baik, Pak."
"Nanti setelah kamu uji lagi pake jumlah sampel yang lebih banyak, kalo ada perubahan hasil, bab kesimpulannya jangan lupa diubah juga ya."
"Baik, Pak."
"Kamu nangkep 'kan maksud saya?"
"Iya, Pak."
"Ada yang mau ditanya lagi?"
"Nggak, Pak."
"Yakin?" tanya Pak Andi bingung. Pasalnya, setiap kali Caca bimbingan, pembicaraan mereka selalu bersifat dua arah. Kadang Caca bertanya untuk memastikan. Kadang juga ia menyanggah pendapat dosennya jika ada bagian yang ia yakin sudah benar berdasarkan jurnal yang ia pelajari. Ya, meskipun beberapa kali bimbingan terakhir, respon gadis itu sama seperti hari ini.
"Yakin, Pak."
Pak Andi menghela napas panjang. Berhenti menebak apa yang sedang dilalui gadis itu. "Ya sudah. Jangan lupa jaga kesehatan, tidur yang cukup, biar bisa fokus dan cepet selesaiin skripsinya. Inget, pendaftaran sidang ditutup akhir bulan ini. Jadi, kalo mau lulus tahun ini, harus daftar sebelum itu."
"Iya, Pak." Caca mengambil draft yang diserahkan Pak Andi dan memasukkannya ke dalam map.
"Terima kasih, Pak. Saya permisi," katanya lagi yang dibalas anggukan dari Pak Andi.
Gadis itu menutup pintu ruangan Pak Andi, lalu merasakan ponsel di sakunya bergetar. Ia segera mengeluarkan benda itu dan matanya terpaku di sana. Sekarang, tubuhnya yang tiba-tiba bergetar sampai ia harus memegang sesuatu agar tubuhnya tidak jatuh. Kenapa ia jadi begini?
—
Rara mendecak sebal. Temannya yang bernama Lio itu sungguh tidak sabaran. Ia sedang mengikuti kelas tambahan hari ini, sehingga tidak bisa mengangkat telepon dari Lio. Namun laki-laki itu tidak berniat berhenti sampai Rara bisa mengangkatnya setelah kelas selesai.
Maka ia memekik ketika menekan tombol angkat pada ponselnya. "Apaan?! Sumpah ya, lo nggak saba—"
"Ica, woi. Ica."
"Hah?"
"Lo lagi di kampus 'kan?"
"Iya, baru selesai kelas ini."
"Lo samperin Ica gih, ke FE buruan. Dia lagi di kampus, bimbingan."
"Ica kenapa? Kenapa lo panik gini sih? Gua jadi ikutan panik, nyet."
Di seberang telepon, Lio mendecak. "Barusan Sean bilang, dia nge-chat Ica. Lo tau sendiri sejak putus, mereka nggak pernah komunikasi lagi. Gua agak nggak yakin kalo tuh anak bakal baek-baek aja."
"Ya udah nanti gua telepon dia deh, tanya dia lagi di mana."
"Percuma. Gua udah telepon berkali-kali nggak diangkat, makanya gua panik."
"Gawat. Ya udah. Gua cari dulu. Bye."
Meskipun Lio sudah memperingatkan percuma menelepon Caca, tapi Rara tetap mencoba, sambil berharap gadis itu berubah pikiran untuk mengangkat satu saja telepon darinya. Tempat pertama yang ia datangi adalah kawasan sekitar ruangan Pak Andi. Kaca pintu yang transparan, membantunya untuk memastikan bahwa di dalam ruangan Pak Andi hanya ada beliau dengan satu mahasiswa. Tidak ada Caca. Gadis itu melangkahkan kaki dengan terburu-buru menuju kantin, namun hasilnya juga nihil. Ia mengecek beberapa toilet wanita yang berada di sekitar sana, juga tidak menemukan Caca.
Rara berhenti sejenak, mengatur napasnya yang tersengal, sementara ponsel masih tertempel di telinganya. Ke mana perginya gadis itu?
Tiba-tiba, ia teringat suatu tempat. Salah satu gazebo, tempat Caca biasa mengerjakan tugas. Mahasiswa lain jarang ke sana karena terletak agak jauh dari gedung kampus FE, makanya Caca memilih tempat itu karena sepi.
Hati Rara lega sekaligus mencelos ketika menemukan sahabatnya ada di sana. Duduk meringkuk dengan kedua tangan menutup mulutnya rapat-rapat. Tubuhnya gemetar. Tarikan napasnya yang berat terdengar samar-samar. Gadis itu sedang menangis tanpa suara.
Mata Rara memanas melihat kejadian di depan matanya. Ia segera berlari menghampiri Caca, memberikan pelukan hangat sekaligus menenangkan. Rara mengusap punggung Caca ketika gadis itu mulai sesenggukan. Lalu, matanya menatap layar ponsel Caca yang menampilkan pesan dari Sean, penyebab sahabatnya jadi seperti ini.
Caca, aku pamit ya. Makasih udah kenalin aku ke geng kalian. Aku seneng bisa ketemu kalian, temen-temen yang nggak pernah aku duga bakal seberat ini untuk ditinggalin. Makasih udah jadi orang yang paling ngertiin aku. Makasih udah kasih aku kesempatan untuk kenal kamu lebih jauh. Makasih untuk semuanya. Bahkan, aku ngerasa ucapan makasih aja nggak cukup untuk bales semua yang pernah kamu lakuin selama ini.
Jaga diri baik-baik. Jangan keseringan lupa makan. Be happy. Sebentar lagi pesawatku take off. Kalo memang ada kesempatan, sampe ketemu lagi di lain waktu ya, Ca :)
"Sakit, Ra. Sakit" ratap Caca sambil meremas tangannya di depan dada. "Kenapa sesakit ini?" Sekarang gadis itu memukul-mukul dadanya sendiri kuat-kuat.
Rara berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangan Caca. "Ca, udah, Ca."
"Kenapa dia pergi? Kenapa dia ninggalin gua? Kenapa?" teriak Caca putus asa.
Gadis itu tidak benar-benar butuh jawaban atas pertanyaannya. Ia marah. Tapi tidak tahu amarah ini harus ditujukan ke siapa. Ia hanya ingin menumpahkan kesedihannya. Ia hanya ingin didengar. Itu sebabnya Rara masih merangkul dan mengusap pundak Caca sampai tangisannya reda. Menemani Caca sampai gadis itu merasa sedikit lega.
Matahari sudah berada di titik paling atas, namun udara tetap terasa sejuk dan meneduhkan karena pepohonan mengelilingi gazebo tempat dua orang gadis yang nyaman dengan keheningan. Kabar baiknya, saat ini Caca sudah bisa bernapas dengan normal. Hatinya lebih damai.
Dengan kepala yang masih tersandar pada bahu Rara, ia berucap, "Padahal, gua sama Sean udah janji nggak akan nangisin satu sama lain, setelah kita putus malem itu. Kita janji, semuanya selesai di sana."
"Gua bingung, Ra. Setelah malem itu, gua kayak orang linglung, nggak tau harus berbuat apa. Di satu sisi, gua merasa udah ambil keputusan yang bener untuk pisah sama dia. Di sisi lain, gua nyesel karena lepasin dia. Gua nggak tau harus belajar merelakan dia atau menghukum diri karena kebodohan gua sendiri. Menurut lo, keputusan gua bener nggak sih?" tanya Caca lemah.
"Bener atau salah tuh cuma masalah perspektif doang, Ca. Di dunia ini nggak ada yang sepenuhnya bener dan sepenuhnya salah. Setiap keputusan yang kita ambil, selalu punya dua sisi. Lo inget, waktu Sean macarin Astrid biar tuh cewek nggak gangguin lo? Menurut Sean, itu keputusan yang bener. Menurut gua? Itu salah. Gua sempet mikir, kenapa Sean mesti ngikutin omongan Astrid? Padahal kan bisa aja dia nolak dan pasang badan kalo lo diapa-apain. Tapi, pada akhirnya kalian jadian juga 'kan? Karena udah jalannya begitu. Malah bagus, dengan keputusan yang Sean ambil waktu itu, Astrid nggak punya kesempatan untuk mikir lebih jauh buat gangguin hidup lo."
"Ca, kalo dari awal lo udah yakin keputusan lo bener, jalanin aja. Toh, kalo ternyata keputusan berpisah itu salah, gua yakin akan ada seribu cara untuk kalian bersatu lagi. Dan kalo ternyata keputusan itu memang bener, berarti kalian emang bukan jodoh aja. Mungkin ke depannya, kalian akan sama-sama nemuin pasangan yang lebih baik."
Caca tampak mencerna semua kata-kata sahabatnya. Rara benar-benar orang yang tepat untuk menemaninya saat ini. Pertanyaannya berikutnya adalah, sampai kapan ia tahu benar atau tidaknya?
![](https://img.wattpad.com/cover/310186229-288-k5256.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Satu Dekade [END]
Fiksi UmumSetiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca? Haruskah mereka menunggu pertemuan berikutnya untuk melanjutkan kisah yang telah ada, atau memulai...