BAB 30: Destroyed

508 49 5
                                    

Sean, malem ini bisa ke rumah? Aku mau bahas soal yang waktu itu.

Hari ini hari Minggu, biasanya Caca dan Sean menghabiskan waktu masing-masing. Caca dengan Lio dan Lidya, Sean bersama mamanya.
Sejak malam itu, sesekali mereka tetap bertemu. Ia juga tetap menjemput Caca jika ia tidak lembur, namun sama sekali tidak membahas tentang kepergian Sean. Laki-laki itu setuju untuk memberikan Caca waktu untuk mencerna semuanya, membiarkan gadis itu berpikir dengan tenang. Mereka berdua juga sepakat menganggap tidak terjadi apa-apa malam itu, sampai Caca merasa sudah cukup waktunya untuk ia berpikir dan memutuskan.

Ok. Nanti aku ke rumah ya, see you.

Setelah mengirimkan balasan pesan itu, Sean menghela napas panjang. Ia harap hanya kabar baik yang bisa ia dengar dari gadisnya nanti malam.

Balkon lantai dua di rumah Lio, selalu menjadi tempat ternyaman untuk Caca dan Sean. Tempat mereka berbagi tawa. Tempat mereka saling mencurahkan isi hati. Tempat mereka duduk bersisian menikmati keheningan malam, atau sibuk dengan kegiatan sendiri. Kadang ketika Sean bermain game di ponselnya, Caca memilih untuk mendengarkan lagu melalui headset. Kadang Sean yang mendengar lagu, sementara Caca mengerjakan skripsi. Meski tak saling bicara pun, mereka sudah merasa puas hanya dengan kehadiran masing-masing.

Caca mengambil posisi favoritnya, menumpukan dagu dengan kedua punggung tangannya pada terali balkon. Sean berdiri di sebelahnya, meletakkan lipatan kedua tangannya pada terali yang sama.

"Sean," panggil Caca dengan lembut. "Aku seneng banget pas pertama kali aku denger kamu mau jalanin bisnis percetakan itu. Itu mimpi kamu 'kan?" Senyum Caca makin merekah, pandangannya masih lurus ke depan. "Aku nggak bisa menggapai mimpiku sendiri. Makanya, aku selalu seneng lihat orang lain bisa meraih mimpi yang dia pilih sendiri. Jalan hidup yang dia tentukan sendiri. Aku seneng banget pas tau Rara keterima di jurusan kedokteran. Aku juga seneng pas tau kamu keterima di jurusan desain. Kalo Lio…," ia tertawa kecil, "...nggak tau deh aku harus seneng atau nggak karena tau sendiri dia cuma bosen belajar IPA aja. Intinya, aku seneng, sekaligus iri. Kalian beruntung. Kamu beruntung dapet kesempatan itu, Sean, karena nggak semua orang bisa."

Caca membalikkan tubuhnya, berhadapan dengan Sean. Bibirnya masih menyunggingkan senyum, namun tatapannya berbeda, tidak seperti biasa.

"Aku akan selalu dukung kamu, Sean, sama kayak kamu yang nggak pernah berhenti dukung aku," kata Caca tulus.

Baru saja Sean akan merasa lega karena mendengar gadis itu mendukungnya, ketika ia berbicara lagi, "Tapi maaf, aku nggak bisa temenin kamu untuk jalanin prosesnya."

"Maksudnya?" Tubuhnya menegang. Sean tidak bisa mendengar suara apapun kecuali degup jantungnya yang berpacu, menunggu jawaban Caca.

"Aku nggak bisa lanjutin hubungan ini lagi." Suara Caca bergetar. Matanya berkaca-kaca. Pancaran yang keluar dari matanya mampu meremas hati siapapun yang bertatapan dengannya. Untuk kali ini, Sean orangnya.

"Ca." Laki-laki itu memanggil dengan nada memohon. Tidak. Bukan ini yang mau Sean dengar malam ini. Demi Tuhan, seumur hidup pun ia tidak mau mendengar kata-kata itu keluar dari mulut gadisnya.

Caca menggeleng dan dengan kepayahan ia berusaha melegakan tenggorokannya yang tercekat. "Nggak bisa, Sean. Dua belas jam. Perbedaan waktu kita terlalu jauh. Bertolak belakang. Kita berdua akan sama-sama sibuk. Kamu dengan bisnis baru kamu, aku dengan karirku—"

"Tapi kita udah pernah lewatin ini, Ca. Hampir empat tahun kita LDR dan kita masih sama-sama sampe sekarang—"

"Aku capek, Sean!" pekik Caca tanpa sadar, dengan setetes air mata yang mengalir di pipinya. "Aku capek," ulangnya lirih. "Aku capek berantem sama kamu. Aku capek kita saling curiga. Aku capek berprasangka yang macem-macem ketika kamu nggak bales pesan aku berhari-hari. Aku capek LDR. Aku capek, Sean."

Ngilu. Pilu. Sean tidak tahu lagi bagaimana bentuk hatinya saat ini ketika lagi-lagi Caca menangis karena dirinya. Bukankah dulu ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat gadis itu bahagia, karena ia suka mendengar tawanya? Namun saat ini, ia juga yang menjadi penyebab air mata Caca berderai membasahi wajahnya.

Pandangan Sean mulai kabur, seraya mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Caca. Meskipun air mata itu justru lebih deras, dan bukannya berhenti.

"Aku sayang sama kamu, Sean," ucap gadis itu di sela-sela rintihannya. "Aku selalu merasa beruntung kita banyak menciptakan momen-momen indah, dan itu yang mau aku kenang seumur hidup. Kalo kita tetep paksain hubungan ini, aku takut kita berubah, menjadi orang yang saling nyakitin satu sama lain. Aku nggak mau itu terjadi. Aku nggak mau jadi orang yang benci sama kamu, atau sebaliknya, mungkin kamu yang benci aku."

Kata demi kata yang Caca ucapkan terasa sakit di telinga, juga hatinya. Namun Sean tahu, gadis itu menyampaikan kebenaran yang selalu ia tepis sejak keputusannya untuk pindah sudah bulat. Ia tahu hubungan ini tidak bisa dipaksa, tapi juga ia tak mau melepaskan.

Caca menggigit bibir bawahnya, menahan agar tangisnya tak semakin meledak. "Aku mau inget kamu sebagai sahabat yang baik. Sebagai Sean yang dulu suka kasih bocoran soal ulangan. Sean yang suka narok roti cokelat di laci meja sekolahku. Sean yang jadi tempat aku curhat. Dan Sean yang selalu jadi penggemar berat aku."

Setelah Caca mengakhiri kata-katanya, dengan cepat Sean membawa Caca dalam dekapannya. Air mata yang sedari tadi ditahannya, runtuh tak terbendung lagi. Ia berbisik dengan berat hati, "Kalo memang begitu keputusan kamu, aku terima. I'll let you go. Aku pengen kamu bahagia." Pada akhirnya, ia hanya ingin melihat gadis itu bahagia, bukan?

Sean merengkuh gadis itu dengan erat karena ia tahu, mungkin ini terakhir kalinya ia bisa memeluk Caca. Ya, ia menggunakan kata 'mungkin' karena di dasar hatinya ia berharap masih ada sedikit saja kemungkinan untuk menemukan jalan keluar lain, selain berpisah. Laki-laki itu tersedu-sedu menyambut perpisahan mereka, berbarengan dengan suara tangis Caca yang semakin kencang, namun teredam di dada Sean. Rintihan keduanya yang bersahutan di malam yang sunyi bagaikan simfoni yang mampu menyayat hati para pendengarnya. Pedih. Perih.

***

Author's note:

Ini adalah bagian paling menguras emosi yang pernah kutulis dalam Kisah Satu Dekade. Maaf, jika kalian harus menyaksikan duka kedua manusia yang saling mencintai, namun memilih untuk berpisah. Kadang, kenyataannya memang begitu. Kita tidak bisa selalu memaksakan keinginan sepihak, karena ada dua kepala yang harus sepakat agar hubungan bisa berjalan dengan baik.

Masih ingat sinopsis cerita ini?

Melalui bagian-bagian selanjutnya, kita akan segera tahu, pilihan mana yang akhirnya Sean dan Caca ambil.

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang