"Ih, kenapa sih pake rangkul-rangkul segala?"
Kaum adam biasanya selalu punya insting untuk bisa mendeteksi pergerakan dari saingannya, seperti Sean yang was-was akan kehadiran Revan dengan segala sikap manisnya di depan Caca. Begitupun kaum hawa yang punya insting untuk tahu gerak-gerik perempuan lain yang berusaha menarik perhatian lelakinya, seperti Caca saat ini sedang melihat sebuah foto yang menandai Sean dan teman-temannya, di laman Facebook.
Di sebelahnya, Rara sedang membaca novel di atas tempat tidur Caca, sudah terbiasa mendengar dumelan sahabatnya, tahu persis siapa yang dimaksud gadis itu. Namanya Felly, gadis cantik asal Surabaya, mahasiswa Desain Grafis di universitas yang berbeda dengan Sean, usianya lebih kecil dua tahun dari mereka karena masuk SD saat usianya lima tahun, ditambah lagi masuk kelas akselerasi saat SMP. Statusnya sebagai anak bungsu di keluarga, juga paling muda di dalam komunitas mahasiswa Indonesia, menjadi alasan ia punya sikap yang manja daripada teman-teman Sean yang lain. Sebenarnya, kata-kata 'manja' terlalu berlebihan untuk seorang gadis belia yang memutuskan hidup mandiri demi menuntut ilmu di negeri orang. Namun, Caca suka menggunakan kata itu, terutama sejak ia tahu bahwa Felly sering minta tolong pada Sean untuk melakukan sesuatu. Misalnya, menemaninya berbelanja bahan makanan untuk acara gathering komunitas, mencari alat-alat untuk keperluan kuliahnya karena menurutnya Sean bisa membantu untuk memilih yang berkualitas bagus dengan harga sesuai, dan hal lain yang Caca rasa bisa dilakukan gadis itu seorang diri. Sementara si Sean yang ramah, baik hati, dan supel akan senang hati membantu siapapun yang membutuhkannya.
Awalnya, Caca tidak ambil pusing. Tapi, setiap kali ada seseorang yang menandai Sean dalam sebuah foto bersama komunitasnya itu, ada pola yang selalu sama, yang tak luput dari perhatian Caca. Gadis bernama Felly itu, selalu mengambil posisi di sebelah Sean. Selalu. Mencurigakan, bukan?
"Ya elah, Ca. Bukan cuma Sean kali yang dirangkul, tuh yang di sebelah kanan dia juga," kata Rara setelah melirik layar ponsel Caca.
Hal seperti ini tidak pernah Caca sampaikan pada Sean. Pertama, ia tidak mau dianggap sebagai pacar posesif yang cemburuan. Kedua, kalau gadis itu mengatakan hal ini, bisa saja Sean jadi tertutup akan segala sesuatu tentang Felly, karena menjaga perasaan Caca. Maka, ia putuskan untuk menyimpannya sendiri - berdua dengan Rara - sampai beberapa bulan kemudian, di suatu hari tahun 2014...
"Sean!"
Sang pemilik nama itu belum sempat menoleh ketika tiba-tiba lengannya digamit oleh seorang gadis mungil dengan wajah riang.
"Besok jadi 'kan temenin gua ke pameran seni?" Sean, Felly, dan Chiko sedang makan malam di sebuah kedai kecil yang menyediakan Chinese food untuk mengobati rindu mereka akan masakan Asia.
"Iya, tapi nggak bisa lama ya," jawab Sean kemudian melahap sepotong daging sapi lada hitam ke dalam mulutnya.
"Besok hari Minggu kali, sibuk apa sih lo sampe nggak bisa lama-lama?"
Yang ditanya bukannya menjawab, malah mengulum senyum, yang membuat Chiko mengambil alih topik pembicaraan. "Kalo dia begini, artinya besok dia mau telepon ceweknya berjam-jam sampe mulutnya berbusa, alias nggak bisa diganggu."
Seakan menyadari sesuatu, Felly langsung membebaskan lengan Sean dari pegangannya. Sudut bibir Sean masih tertarik ke atas, masih nyaman dengan perasaan bahagia yang meluap dalam dadanya, tanpa memedulikan sekitar termasuk reaksi Felly barusan. "Besok, kita setahun."
"Waduh, jadi gua ganggu nggak nih besok?"
"Nggak lah, santai. Makanya jangan lama lo besok."
"Siap."
-
Rintik hujan yang turun malu-malu diselingi suara guntur yang minor. Akhirnya kesejukan menyelimuti kota Jakarta yang beberapa hari ini terasa pengap dan gerah. Caca memilih duduk di balkon, sembari menunggu Sean kembali ke flat-nya. Ia tahu ke mana laki-laki itu pergi dan bersama siapa. Ia juga berusaha sekuat mungkin untuk menjaga perasaannya agar tidak cemburu dan merusak pertemuan virtual mereka beberapa saat lagi.
Bagaimanapun, hari ini patut dirayakan sebaik mungkin. Mereka berhasil membangun hubungan yang tidak mudah ini mencapai angka 1 tahun. Selama 365 hari, mereka melalui berbagai macam hal, saling bercerita, bercanda, beradu mulut, lalu berbaikan lagi, tertawa lagi, bercanda lagi, dan kembali berdebat. Itu saja yang diulang-ulang setiap hari, namun satu hal yang pasti, mereka tetap saling memiliki satu sama lain. Perasaan hangat tetap hadir ketika melihat senyum teduh dari bibir masing-masing. Meskipun seringkali, mereka menyesali jarak yang tercipta dan hanya mengandalkan media sosial untuk tetap berkomunikasi.
Jam sepuluh tepat, belum ada kabar dari Sean, yang artinya, ia belum sampai di flat. Dengan sabar, Caca menunggu lagi beberapa menit, mungkin sebentar lagi. Lantas, ia melarikan jarinya untuk membuka akun Facebook, dan lagi, ia menemukan seseorang menandai Sean dalam beberapa foto.
Di salah satu foto, terdapat dua manusia yang tersenyum lebar, yang ia kenali sebagai Sean dan Felly. Mereka sedang duduk di halte, dengan kepala Felly yang condong ke arah Sean. Apa gadis itu bahkan bersandar di pundak pacarnya? Entahlah, kadang sudut pandang foto bisa menipu.
Foto kedua, Felly memperlihatkan deretan gigi putihnya tanpa benar-benar tersenyum, sementara Sean melihat kamera dengan ekspresi datar. Foto ketiga, foto Sean seorang diri sedang menunduk, menatap kosong ke bawah, sepertinya difoto dari jauh oleh Felly.
"We are the definition of a complete mess. LOL. Bisa-bisanya salah jadwal." Begitu keterangan yang ditulis Felly pada foto itu. We, kita. Selama ini Caca pikir, kata 'kita' hanya berisi tentang Sean dan dirinya. Ternyata sekarang, kata 'kita' juga mempunyai arti Sean dan Felly. Caca menahan jarinya untuk tidak menulis komentar "Yup. You two completely messed up my mood. LOL."
Tidak pernah sedetikpun selama hidup, ia sebegitu inginnya menjadi orang lain. Namun, saat ini betapa besar keinginannya menjadi sosok yang berada di samping Sean dalam foto itu. Sosok yang hanya berjarak sekitar lima sentimeter dari orang yang ia cintai, bukan seperti dirinya sekarang yang berada di ribuan kilometer dan sedang menunggu seperti orang bodoh.
-
Udah di flat?
Belom, Ca. Kayaknya masih lama.
Kita ketinggalan bus karena salah liat jadwal.
Ini lagi nunggu bus selanjutnya.
Mungkin, aku bisa sampe flat sekitar 2 jam lagi,
soalnya lokasi pamerannya lumayan jauh.
Oh ya, HP aku lowbatt nih.
Nanti aku kabarin kamu ya kalo udah di flat.
Aku langsung telepon kamu.
Aku mau tidur,
capek seharian kerja kelompok.
Pesan terakhir dari Caca masuk setelah Sean mengisi kembali baterai ponselnya dan menghidupkan benda kecil itu sesampainya di flat. Ia menghela napas, lalu merebahkan diri di tempat tidur sambil memijat keningnya. Ia mengerang frustasi, diikuti kepalan tangannya yang bergerak cepat meninju dinding di sisinya. Dirinya sendiri yang antusias untuk menghabiskan waktu dengan gadis yang ia rindukan, namun ia juga yang mengacaukannya. Dulu, saat ia baru mulai menyadari perasaannya pada Caca, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu membuat gadis itu tertawa bahagia ketika bersamanya. Namun, selama setahun ini, tidak jarang juga ia mengecewakan gadisnya, contohnya seperti hari ini. Kalau jadi Caca pun, ia pasti sudah muak dengan dirinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Satu Dekade [END]
Ficção GeralSetiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca? Haruskah mereka menunggu pertemuan berikutnya untuk melanjutkan kisah yang telah ada, atau memulai...