BAB 14: First Failure

436 55 6
                                    

"Ca, tadi pas kamu lagi sekolah, ada yang anter surat buat kamu. Tante taruh di meja ruang tamu ya."

Caca yang sedang menikmati makan siang bersama Lidya, mengangguk.

"Kalo dari amplopnya sih, kayaknya dari universitas favorit kamu tuh," kata Lidya lagi.

Gadis itu sontak berhenti mengunyah. "Beneran, Tan?"

Lidya tersenyum dan mengangguk. Ia tahu, gadis di depannya memang sedang menunggu amplop itu datang ke rumah mereka.

Caca baru akan beranjak ketika dihentikan wanita itu. "Eh, mau ke mana? Beresin dulu makannya."

Gadis itu menurut dan duduk kembali di kursinya. Senyum di wajah Caca melebar sekaligus berdebar-debar karena tidak sabar melihat isi amplop itu.

"Halo."

"Caca, kamu udah pulang sekolah?" Laras, mama Caca langsung menyambut sapaan anak semata wayangnya yang terdengar di telepon.

"Iya, ini udah di rumah. Mama sama Papa apa kabar di sana?"

"Baik kok. Mama Papa sehat-sehat aja di sini. Paling sekarang jadi sering pegel-pegel aja karena setiap makan siang sama malem resto lebih rame dari biasanya. Tapi, biasa lah faktor usia. Makanya, ini mau nambah karyawan lagi."

"Mama aja tuh yang pegel-pegel. Papa mah masih kuat," suara berat Jimmy, papanya terdengar sedikit jauh di belakang sana, membuat Caca tersenyum. Ia merindukan kedua orangtuanya.

"Kamu di sana sehat 'kan? Sekolah kamu gimana?"

"Sehat kok, soalnya Tante Lidya selalu masak yang enak-enak di sini. Sekolah aku juga baik-baik aja. Hari ini baru selesai Try Out sesi kedua. Tinggal ujian praktek, ujian sekolah, sama UN."

"Kamu yang rajin bimbelnya, jangan bolos-bolos."

"Aku nggak pernah bolos kok."

"Oh ya, hasil tes masuk kuliah kedokteran kamu udah keluar?"

Perlahan, senyumnya memudar. Mata Caca melirik amplop putih yang berisi hasil tes yang dimaksud barusan. Ia tahu mamanya pasti akan bertanya akan hal ini. Kalau tidak, apa lagi alasan beliau meneleponnya, selain memastikan anaknya hidup dengan baik di sini?

Dalam satu tarikan napas, Caca berkata, "Nggak diterima, Ma." Suaranya hampir terdengar seperti bisikan. Tentu, ia juga sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan mamanya. Hal yang selalu menjadi topik pembicaraan mereka setiap kali ia atau beliau menelepon. Caca sampai bosan mendengarnya. Namun kali ini, ia tidak bisa mengelak lagi.

"Berarti habis ini kamu ambil jurusan ekonomi 'kan? Kamu udah janji sama Mama."

Gadis itu mendengus ketika dugaannya benar.

"Mama ini, bukannya dibahas nanti aja," kali ini Jimmy yang bicara dan mengambil alih ponsel. "Ca, sekarang kamu nggak usah banyak pikiran dulu. Kamu pasti sedih 'kan sama hasil tes itu? Fokus dulu aja sama ujian-ujian kamu. Nanti cari lagi jurusan lain yang kamu suk—"

"Papa gimana sih? Anaknya juga udah janji mau kuliah ekonomi."

Napas lelah keluar dari mulut Caca, mendengar perdebatan kedua orangtuanya. Ia memejamkan mata dan memijat keningnya. Ini bukan pertama kali. Sejak Caca naik ke kelas 3 SMA, Jimmy dan Laras terus menanyakan kelanjutan pendidikannya. Sebenarnya, Jimmy tidak terlalu ingin ikut campur. Ia yang pada dasarnya selalu memanjakan dan menuruti keinginan anak semata wayangnya, membebaskan Caca untuk menjadi apapun yang ia suka. Ketika Caca memutuskan untuk ikut tes masuk kuliah kedokteran pun, Jimmy dengan senang hati mendukung, memberi semangat. Namun, lain hal dengan Laras. Beliau ingin anaknya kuliah di jurusan ekonomi, dengan program studi manajemen bisnis, agar Caca bisa menjadi penerus untuk usaha kuliner milik keluarga ketika sepasang suami istri itu tidak bisa lagi produktif bekerja seperti sekarang. Caca adalah anak satu-satunya. Hanya ia yang bisa diandalkan mamanya.

Laras terus memaksanya untuk segera mendaftar di salah satu universitas yang berada di Taiwan, agar mereka bisa tinggal bersama lagi, dengan mengambil jurusan ekonomi. Maka dari itu, Caca memohon agar diberi kesempatan mengikuti tes masuk kuliah kedokteran di universitas pilihannya yang ada di Jakarta. Kalau ia gagal, ia berjanji akan menuruti perkataan mamanya, kuliah di jurusan ekonomi.

Kadang, Caca merasa iri dengan teman-temannya yang dengan senang hati memilih jurusan yang mereka suka, sesuai dengan cita-cita mereka. Caca merasa tidak adil. Bukankah ini hidupnya? Mengapa ia tidak dibiarkan memilih jalan hidupnya sendiri? Tapi, Caca juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mamanya. Toh, ia sendiri sudah diberi kesempatan untuk mengikuti tes masuk kedokteran. Namun, ternyata ia memang belum mampu untuk masuk ke sana.

Menjadi dokter anak adalah cita-citanya sejak duduk di bangku SMP. Makanya, ketika mengetahui bahwa nilai-nilai Caca memenuhi standar di kedua jurusan, IPA dan IPS, ia memilih jurusan IPA saat masuk SMA. Tapi mungkin menjadi dokter anak, atau dokter apapun, bukan jalan hidupnya.

Jangan ditanya bagaimana reaksi gadis itu ketika membaca isi amplop tadi. Sudah pasti hatinya mencelos dan mengingat janji yang ia buat kepada Laras, membuat semangatnya menguap entah ke mana. Untuk apa ia belajar sains selama 3 tahun ini kalau ujungnya malah mengambil jurusan ekonomi? Ia merasa perjuangannya untuk mendapat nilai di atas rata-rata, atau paling tidak pas-pas-an, menjadi sia-sia. Tidak bolehkah ia mencoba sekali lagi?

"Iya, 'kan Ca?" suara Laras membuyarkan lamunan Caca, mengajaknya untuk melanjutkan pembahasan tadi.

Gadis itu mengangguk meskipun tidak bisa dilihat orangtuanya di seberang telepon. "Oke, aku bakal ambil jurusan ekonomi, bisnis, sesuai janji aku. Tapi tempatnya aku yang pilih sendiri 'kan?"

"Iya, kamu pilih aja mau universitas mana yang ada di sini," jawab Laras senang.

"Aku mau tetep di sini, Ma."

"Loh, 'kan kamu udah janji."

"Perjanjiannya cuma ambil jurusan ekonomi aja 'kan? Aku nggak pernah janji akan kuliah di sana."

Caca mendengar mamanya mendesah. Ia menyeringai samar. Dari dulu, ia tidak pernah ada keinginan untuk memulai hidup baru di negeri orang. Gadis itu sudah nyaman berada di lingkungannya sekarang.

"Kalo gitu, adil 'kan? Keinginan Mama sama aku, terwujud dua-duanya," kata gadis itu menutup pembicaraan mengenai kuliahnya.

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang