Ting! Ponsel Sean berbunyi, menandakan ada sebuah pesan masuk di ruang obrolan grup 'Berempat Aja'. Grup itu berisi Sean, Lio, Caca, dan Rara.
Caca Handika
Hari Sabtu jadi kan nonton Hansel & Gretel?
Rara IPA 5
Gua nggak bisa nih. Jadwal bimbel gua dituker ke hari itu.
Lio Futsal
Gua juga. Mau kerja kelompok. Temen-temen gua bisanya hari Sabtu semua.
Caca Handika
Yahhh, ya udah deh gua nonton sendiri aja, soalnya mulai minggu depan, jadwal bimbel gua full buat persiapan Try Out :(
Wajar saja, saat ini mereka sudah memasuki awal semester dua. Selama beberapa bulan ke depan, mereka akan sibuk mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian kelulusan. Sean menggigit bibir bawahnya, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Lalu, jarinya mencari ruang obrolan pribadi dengan Caca. Ia sempat ragu, tapi akhirnya memberanikan diri untuk mengirim pesan kepada gadis itu.
Ca, gua free kok hari itu. Mau nonton berdua?
Dua detik kemudian, Caca membaca pesannya. Satu menit, dua menit, belum ada balasan. Sean mulai cemas, jangan-jangan Caca sedang menyusun kata-kata untuk menolak ajakannya agar ia tidak tersinggung. Menit ketiga, sebuah pesan masuk.
Boleh deh.
Sean mengembuskan napas yang ia tahan sejak tadi. Rasa lega membanjiri dadanya. Baginya, ini seperti menunggu jawaban atas ajakan kencan. Ya, meskipun tidak disengaja juga. Dalam hati, ia berterima kasih kepada Rara dan Lio yang berhalangan, juga kepada dewi keberuntungan yang berpihak padanya kali ini.
—
Ca, gua free kok hari itu. Mau nonton berdua?
Mata Caca terpaku memandangi deretan kata-kata di layar ponselnya. Lututnya terasa lemas, jantungnya berdegup kencang. Nonton berdua? BERDUA? Kalau pertanyaan Sean ini diajukan beberapa bulan lalu, mungkin reaksi Caca akan biasa saja. Tapi, tidak untuk saat ini, di mana mulai ada sesuatu yang lain di antara mereka.
Mau banget, ketik Caca. Gadis itu menggeleng, lalu menghapus kata-kata tadi. Terlalu berlebihan.
Ia kemudian mengetik lagi, Ayokkk. Kali ini, ia juga menggeleng dan menghapus ketikannya kembali. Terlalu semangat.
Boleh deh. Gadis itu mulai mengetuk-ngetukkan jarinya ke sisi ponsel dengan ritme cepat. Perlu beberapa saat untuk Caca berpikir apakah balasan ini sudah pas. Ya, sepertinya begini saja. Ia memencet tombol kirim.
Caca melempar ponselnya ke tempat tidur dengan asal, lalu membenamkan wajahnya dengan bantal agar teriakannya tidak terdengar orang lain. Gugup sekaligus senang. Dua perasaan itu saling berlomba di dalam dadanya. Sama seperti gadis-gadis lain yang diajak nonton bioskop oleh laki-laki yang mereka sukai, Caca pun mulai membongkar isi lemarinya untuk menemukan sesuatu yang bisa dipakainya untuk hari Sabtu nanti.
—
Sabtu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Film yang dinantikan Caca sejak tahun kemarin, dimulai setelah lampu di bioskop dimatikan. Gadis itu tampak fokus menonton film, beberapa kali ia terkejut ketika wajah penyihir muncul di layar disertai musik yang menegangkan. Lain halnya dengan Sean yang tampaknya lebih fokus memperhatikan gerak-gerik Caca selama film berlangsung. Mata yang berbinar ketika serius melihat adegan aksi yang terpampang di layar, kadang ia meringis dan menutup mata, kadang ia menahan napas. Sean berusaha merekam semua ekspresi Caca dalam ingatannya. Sungguh, ia lebih berminat menonton orang di sebelahnya daripada di layar lebar. Perlahan, ia mengambil tangan Caca, lalu menggenggamnya.
Caca merasa bagai disengat listrik ketika mengetahui tangan besar Sean menggenggam tangan kanannya. Ia menoleh ke arah laki-laki yang saat ini pandangannya lurus ke arah layar, namun samar-samar Caca melihat bibirnya membentuk sebuah senyum tipis. Caca memalingkan wajah, lalu perlahan menautkan jarinya dengan jari Sean, balas menggenggam tangan laki-laki itu. Jantung Sean yang sudah berdebar tidak karuan sejak ia menjemput gadis itu di rumah tadi, kini makin menggila ketika Caca membalas genggamannya. Mungkinkah Caca juga merasakan apa yang ia rasakan saat ini?
Untung saja, suasana di bioskop redup. Kalau tidak, penonton lain pasti bisa melihat pipi kedua remaja yang kini telah berubah warna menjadi merah muda.
—
"Gua menang!" seru Sean setelah memasukkan bola basket terakhir ke dalam ring. Mereka sedang bermain di Timezone, atas permintaan Caca setelah menonton bioskop tadi. Gadis itu juga yang mengajak bertanding basket meskipun dari awal sudah jelas bahwa Sean yang pasti meraih poin lebih banyak. Caca mengatur napasnya yang tersengal dan duduk di kursi panjang. Sean ikut duduk di sebelahnya, tertawa melihat Caca yang tampak lelah atas idenya sendiri.
"Udahan? Mau balik?"
"Nanti dulu. Poinnya masih banyak di sini," kata Caca seraya mengangkat kartu Timezone miliknya.
"Lo udah kecapekan gitu."
"Nggak mau maen. Kita foto aja yuk." Seakan belum puas membuat Sean berdebar-debar, kali ini gadis itu menarik lengannya dan menuju Snapshoot Room. Benar-benar seperti kencan, bukan? Batin Sean.
Mereka memasang beberapa gaya yang selalu diakhiri dengan menekan sebuah tombol untuk mengambil foto. Keduanya tampak senang dan sangat menikmati. Hari ini adalah hari pertama mereka hangout berdua, jadi harus diabadikan dengan baik.
Setelah selesai, Caca buru-buru mengambil hasil cetakan foto tadi. Wajahnya yang berseri-seri melihat hasil foto, membuat Sean ikut tersenyum.
"Senyum kamu di sini lucu, kayak anak kecil," kata Caca spontan. Salah satu foto menarik perhatiannya karena senyum Sean. Sebenarnya, ia sudah lama memperhatikan senyum Sean yang unik, yang bertolak belakang dengan wajah kerasnya ketika ia diam. Bagaimana menjelaskannya ya? Oh, kalian tahu senyum anak kecil yang malu-malu jika dipuji seseorang? Ya, kira-kira begitu senyum yang terbentuk di wajah Sean.
Sean tertegun. Caca bilang apa tadi? "Kamu?"
Eh? "M-Maksudnya lo. Senyum lo di sini lucu," ralat Caca sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan salah tingkah. Kadang, mulutnya memang tidak bisa terkontrol.
"Tapi, aku lebih suka pake aku-kamu, sih." balas Sean cengengesan.
Untungnya Caca tidak perlu menanggapi apa-apa karena Sean langsung melirik jam tangan dan berkata, "Udah malem. Pulang, yuk."
Sepanjang perjalanan pulang, Sean dan Caca hanya diam menikmati bisingnya jalan raya di waktu malam, juga udara yang pada saat itu cukup dingin karena habis hujan. Mereka terlena dalam lamunan masing-masing. Memutar kembali rekaman kejadian hari ini yang sudah tersimpan dalam pikiran mereka. Kalau bisa, mereka tidak ingin malam ini cepat berlalu. Mungkin, itu yang membuat Sean melajukan motornya dengan kecepatan rendah. Gadis yang diboncengnya pun terlihat tak keberatan sama sekali. Ia rela mengulur waktu selama apa pun asalkan bersama laki-laki itu.
Sean mematikan mesin motornya ketika sampai di rumah Caca. Gadis itu turun dari motor, lalu membuka helm. "Makasih ya, Sean," ucap Caca sambil menyerahkan helm kepada laki-laki itu.
Alih-alih merespon kalimat Caca, ia malah merapikan rambut gadis itu yang sedikit acak-acakan karena helm. Kata orang, kalau perempuan diacak rambutnya, hatinya yang ikut berantakan. Tapi saat ini, laki-laki itu merapikan rambut Caca, tapi rasa di dalam dadanya ini tetap sama kacaunya.
Sean mengambil helm dari tangan Caca, memandang gadis itu dengan lembut, dan berkata, "Makasih buat hari ini." Gua seneng banget malem ini, katanya dalam hati.
![](https://img.wattpad.com/cover/310186229-288-k5256.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Satu Dekade [END]
قصص عامةSetiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca? Haruskah mereka menunggu pertemuan berikutnya untuk melanjutkan kisah yang telah ada, atau memulai...