Bahagia dan sedih merupakan dua emosi yang berlawanan, namun selalu menjadi satu paket di dalam perjalanan hidup manusia. Sean sangat menikmati rasa bahagia yang beberapa bulan ini mendominasi hatinya. Namun, ketika sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal masuk di ponselnya, ia tahu sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. Hanya saja, ia belum bisa memprediksi seberapa buruk dampaknya.
Lio menepuk bahu Sean, membuat laki-laki itu buru-buru menyimpan ponselnya ke dalam saku. Mereka baru saja menyelesaikan Try Out hari terakhir. Kebetulan, mereka berempat tidak ada jadwal bimbel hari ini. Anggap saja sebagai peristirahatan sejenak, sebelum bertempur lagi untuk persiapan Try Out sesi kedua. Kebetulan juga, ini hari Jumat. Hari yang mereka nobatkan sebagai hari bebas dulunya, sebelum sibuk oleh jadwal bimbel. Setiap hari Jumat, jumlah jam belajar lebih sedikit dari hari lain, sehingga mereka suka menghabiskan waktu bersama hingga petang setelah pulang sekolah.
Kehadiran Lio disusul oleh Caca dan Rara yang baru keluar dari kelasnya. "Yok, jalan sekarang," ajak Rara.
Sean berdeham. "Sorry ya, kali ini gua nggak ikutan. Nyokap barusan ngabarin minta ditemenin pergi belanja."
"Sayang banget, padahal hari ini kita lagi kosong semua. Ya udah, titip salam buat nyokap," sahut Lio yang kemudian dibalas anggukan dari Sean.
Matanya lalu beralih pada Caca. Gadis itu tidak berkomentar apa-apa, namun bibirnya berkerut.
"Kita jalan dulu ya, Sean. Dah," pamit Rara sambil mengajak Lio dan Caca untuk segera beranjak.
Ketika teman-temannya sudah jalan beberapa langkah, Sean menarik tangan Caca yang berada di belakang mereka. "Nanti aku telepon ya," bisiknya agar tak terdengar yang lain.
Caca mengangguk senang, melambaikan tangan pada Sean dan menyusul teman-temannya.
—
Sean melipat kedua tangan di dada, melihat seseorang di hadapannya dengan tatapan tidak bersahabat. Orang itu justru terlihat santai menyuapkan sepotong kentang goreng dan menyedot lemon tea di depannya. Ia basa-basi menawarkan makanannya kepada Sean, namun tak digubris sama sekali.
"Mau lo apa?" tanya Sean dengan nada rendah. Ia berbohong. Bukan Mama-nya yang minta ditemani belanja, namun orang di depannya yang mengirim pesan, minta bertemu.
"Gua perhatiin, lo deket ya sama Ica. Udah pacaran?" tanya Astrid tanpa basa-basi. Ya, orang itu adalah Astrid.
"Apa urusan lo?" tanya Sean sinis.
"Kalau belum pacaran, bagus. Kalau udah, mendingan kalian putus deh. Soalnya, gua mau lo jadi pacar gua."
Sean mendengus. "Pacar? Lo gila ya? Kenal lo juga nggak."
"Gini ya, gua minta lo jadi pacar gua bukan karena gua suka sama lo. Tapi karena gua nggak suka sama Ica."
"Caca salah apa sih sampe lo segininya ke dia? Karena si Revan-revan itu?"
"Oh, dia udah cerita? Tapi, pasti lo nggak tau cerita lengkapnya, karena dia juga nggak tau."
Sean mengangkat sebelah alisnya. Apa lagi?
"Gua diputusin sama mantan gua. Sebenernya, bukan masalah besar. Tapi gua nggak suka begitu dia bandingin gua sama Ica. Dia mutusin gua karena gua childish, manja, cerewet, nggak kayak Ica yang kalem dan lebih dewasa daripada gua. Dia nyuruh gua berubah kayak Ica. Gua nggak pernah ngomong ini ke Ica karena nggak mau dia jadi gede kepala. Makanya gua cuma jauhin dia, bahkan liat mukanya aja gua nggak suka. Terus, gua kenal Revan, yang lebih milih Ica daripada gua. Lo bisa bayangin betapa bencinya gua sama dia.
Wajah Astrid berubah bengis. "Dari SMP, dia selalu ngambil orang-orang yang gua sayang. Gebetan gua, mantan gua, semua memihak dia. Sekarang giliran gua yang ambil kebahagiaan dia. Makanya, lo harus mau pura-pura jadi pacar gua di depan Ica, teman-temannya, juga anak-anak sekolah, sampai hari kelulusan. Kalau nggak..."
"Kalau nggak?" Sean tidak yakin dirinya siap mendengar lanjutan kalimat Astrid.
"Gua bakal ngelakuin yang lebih jahat ke Caca daripada yang gua lakuin ke dia pas SMP dulu."
Sialan! Rasanya Sean ingin mengumpat di depan wajah Astrid. Mendengar cerita Caca tentang masa lalunya yang bagai mimpi buruk bersama Astrid saja sudah membuat darahnya mendidih. Sekarang orang di depan ini bilang, dia mau melakukan yang lebih jahat? Persetan!
Dengan napas menggebu, Sean menatap tajam kepada Astrid. "Jangan berani sentuh Caca."
Astrid tertawa puas. "Deal. Gua anggap lo terima tawaran gua."
Tepat setelah Astrid mengatakan itu, suara yang tidak asing menyapa telinga mereka. "Gua baru tahu kalo Astrid itu nyokap lo."
Suara itu yang membuatnya terpaku. Tubuhnya menegang. Lidahnya mendadak kelu. Otaknya terasa kosong. Ketika menoleh, ia mendapati beberapa pasang mata melihatnya dengan tatapan tidak percaya. Mungkin, masa bahagia yang ia miliki harus berakhir hari ini.
—
"Makan yok, laper," ujar Lio sambil menepuk perutnya yang sudah keroncongan. Setelah puas berkeliling mall, mereka bertiga memutuskan untuk mencari makan di food court. Belum sempat mencari makan, mata Caca menangkap sosok seseorang yang ia kenal, Sean. Lalu matanya beralih ke seorang gadis yang duduk berhadapan dengan Sean. Itu...Astrid?
"Eh, itu bukannya Sean, ya? Ngapain dia sama Astrid?" tanya Rara.
Tanpa aba-aba, Lio langsung menghampiri mereka berdua. Sean tampak terkejut, sementara Astrid tersenyum sinis kepada Caca. "Gua baru tahu kalo Astrid itu nyokap lo," kata Lio sarkas.
Sean masih diam, sementara Astrid menjawab Lio, yang kemudian membuat mereka bertiga terkesiap. "Sirik aja sih, sama orang yang lagi nge-date."
Ternyata, bukan hanya mereka bertiga yang terkejut akan pernyataan Astrid, tapi Sean juga menunjukkan ekspresi yang sama. Ia tidak tahu bahwa perjanjian itu langsung dimulai saat ini.
"Hah?" Tanpa sadari, kata-kata tersebut lolos dari mulut Caca, yang kemudian dibalas senyum kemenangan dari Astrid.
"Mulai sekarang Sean nggak bakal sering-sering main sama kalian, ya, karena dia akan sibuk pacaran sama gua," kata Astrid lagi.
"Lo? Pacaran sama dia?" Rara menanyakan sesuatu yang tidak bisa keluar dari mulut Caca. Memastikan bahwa mereka semua tidak salah dengar.
Sean sempat melirik Astrid sebentar. Gadis yang diliriknya hanya tersenyum. Akhirnya, Sean mengangguk pelan, tanpa berani menatap teman-temannya.
Anggukan kecil itu bagaikan tamparan keras untuk Caca. Ia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya. Semuanya bercampur aduk membuatnya mual. Kesal, marah, sedih, sakit. Gadis itu bahkan tidak tahu mana yang lebih dominan.
"Wah!" Rara menggelengkan kepalanya. "Gila lo ya? Lo 'kan..."
"Ra, udah. Kita pulang aja." Caca memotong amukan Rara. Ia hanya ingin pulang ke rumah. Kepalanya sudah pusing. Ia tidak mau melihat wajah Astrid, maupun Sean saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Satu Dekade [END]
Genel KurguSetiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca? Haruskah mereka menunggu pertemuan berikutnya untuk melanjutkan kisah yang telah ada, atau memulai...