BAB 17: First Anxiety

532 58 8
                                    

"UNO!" seru Sean ketika di tangannya tersisa sebuah kartu. Ia menyeringai melihat Rara yang mengambil satu per satu kartu di tumpukan yang ada di tengah mereka, sampai menemukan kartu yang sesuai.

"Abis!" seru Sean lagi ketika mengeluarkan kartu terakhir di tangannya dan tertawa penuh kemenangan.

Hari ini, Sean dan Rara menginap di rumah Lio selama beberapa hari ke depan untuk mengisi waktu liburan mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah 3 dini hari ketika mereka berempat menyelesaikan permainan UNO yang dimulai dari dua jam lalu, setelah Sean bercerita panjang lebar mengenai kehebohan yang ia buat bersama Astrid waktu itu.

"Kalah mulu gua. Udah nggak konsen lagi nih karena ngantuk," kata Rara, lalu ia menguap.

"Alesan aja lo," timpal Lio. Kartu miliknya dan Caca sudah habis terlebih dahulu.

"Tapi gua ngantuk beneran ini. Gua tidur dulu ya, kalian lanjut aja bertiga. Dah." Rara meninggalkan teman-temannya dan langsung masuk ke kamar Caca.

Kali ini, Lio yang pura-pura menguap. "Duh, gua juga ngantuk nih. Kalian aja yang lanjut, gua mau tidur."

"Ye, nggak asyik lo, baru juga jam segini. Biasa lo maen game sampe pagi juga," gerutu Caca ketika melihat Lio beranjak menuju kamar tidurnya.

"Ya ini 'kan lagi nggak biasa. Mumpung ada Sean, pacaran dulu sana," kata Lio langsung menutup pintu kamar, sebelum Caca sempat membalas omongannya.

Baru beberapa hari mereka resmi sebagai sepasang kekasih, jadi Caca masih merasa canggung apabila ia berdua saja bersama Sean, seperti saat ini. Apalagi, mereka sejak pacaran, mereka belum pernah kencan berdua karena Caca selalu memiliki alasan tiap kali Sean mengajaknya keluar. Ia masih malu-malu dan merasa gugup karena baru pertama kali pacaran. Padahal, sama saja dengan Sean yang juga baru pertama kali.

"Masih mau maen?"

"Hmm... ngobrol di balkon aja yuk." Caca merasa dirinya butuh lebih banyak udara karena setiap kali bersama laki-laki itu, oksigen di sekitarnya seakan menipis.

Pernah dengar istilah percakapan jam 3 pagi? Katanya, di jam tersebut, seseorang cenderung bisa bicara dengan jujur dan terbuka. Energi yang sudah terkuras akibat berbagai aktivitas di siang hari, membuat manusia terlalu lelah untuk sekedar menyampaikan kebohongan kepada lawan bicaranya saat dini hari. Didukung oleh suasana yang gelap, suara jangkrik yang bersahutan, juga semilir angin malam yang menyejukkan. Maka, seseorang bisa dengan leluasa mengatakan apa yang terlintas di pikiran dan yang dirasakan secara gamblang. Mungkin hal ini yang menyebabkan Caca akhirnya berani membuka suara atas apa yang menjadi kegelisahannya beberapa hari ini.

"Sean."

"Hm?"

"Kapan kamu berangkat ke London?"

"Masih lama kok, sekitar 3 bulan lagi. Kenapa?"

Kalau pertanyaan ini muncul di siang hari, mungkin dengan cepat Caca akan mengatakan, "Nggak apa-apa." Tapi, ini jam 3 pagi.

"Aku kepikiran aja sama kita. Apa kita bisa jalanin LDR? Aku baca artikel di internet, 80 persen hubungan LDR itu akan gagal."

Sean jadi teringat ketika ia membuka hasil tesnya pada jurusan design grafis di salah satu universitas di London, melalui sebuah web. Sebenarnya, ia hanya coba-coba saja ikut tes dan mengirimkan portofolio karyanya, hitung-hitung sambil mengetes kemampuannya. Beruntungnya, ia lolos. Jujur saja, ini juga menjadi pertimbangan Sean di malam saat ia akan menyatakan cinta pada Caca, apalagi saat itu ia juga tidak tahu Caca akan kuliah di mana. Ya, meskipun ia hanya butuh beberapa detik untuk menimbang, karena yang ia pikirkan saat itu hanya bagaimana caranya untuk bisa punya hubungan yang lebih dari seorang sahabat dengan gadis itu.

"Aku juga nggak tau sih. Tapi, masih ada kemungkinan 20 persen 'kan? Kenapa kita nggak coba dulu aja?" jawab Sean tenang.

Caca mengangguk. Masih ada satu hal lagi yang mengganggu pikirannya.

"Sean."

"Ya?"

"Aku punya satu permintaan."

"Apa?"

"Kalo misalnya nanti di sana kamu ketemu sama cewek yang lebih baik dari aku—"

"Nggak ada. Nggak usah mikir aneh-aneh deh."

"Ini cuma misalnya doang, Sean. Seandainya kalo ada—"

"Ya nggak usah berandai-andai."

"Ih, aku selesaiin dulu boleh nggak? Kalo nggak, aku nggak bisa tidur karena kepikiran."

Sean menghela napas. Ia sudah tahu bahwa terkadang Caca suka berpikir berlebihan akan sesuatu yang belum terjadi. Tapi, tetap saja ia tidak pernah bosan meyakinkan gadis itu bahwa semua akan baik-baik saja. Ia menganggukkan kepala, memberi isyarat pada Caca untuk melanjutkan kata-katanya.

"Misalnya, kalo di sana kamu ketemu sama cewek yang lebih baik dari aku, kamu harus jujur ya, bilang aja terang-terangan. Aku bakal marah banget kalo kamu bohong dan maen di belakang."

Kali ini Caca menunduk, dan bergumam pelan, "Tapi ya... kalo bisa jangan."

"Jangan jujur?" Sean yang mendengar cicitan Caca, berniat menggodanya.

"Bukan! Jangan..." Caca menggigit bibir bawahnya dan melanjutkan dengan suara yang lebih pelan. "... sama cewek lain."

"Apa? Kamu ngomong yang gede dikit dong. Aku nggak denger." Sean semakin menggoda Caca yang sekarang wajahnya sudah memerah.

"Bohong. Pasti denger 'kan? Kamu senyum-senyum gitu, ah, ngeselin."

Tawa Sean meledak ketika melihat Caca merajuk sebal. "Iya, iya, lagian 'kan tadi aku bilang, nggak ada."

"Abisnya kita nggak pernah tau 'kan, apa yang bakal terjadi ke depannya?"

Perkataan Caca barusan, ada benarnya. Kita tidak pernah tahu dan tidak bisa memprediksi apa yang terjadi di depan sana. "Ya udah. Berarti, kamu juga harus ngelakuin hal yang sama. Meskipun, aku yakin sih nggak ada cowok yang lebih baik dari aku."

"Pede banget."

Sean tertawa kecil, lalu mengusap kepala Caca dengan lembut. "Udah deh daripada kamu mikirin gituan, mending kamu pikirin gimana caranya kita puas-puasin nge-date sebelum aku berangkat. Kali ini aku nggak terima alesan kamu lagi ya."

Gadis itu menatap Sean sambil tersenyum malu-malu, lalu mengangguk.

Sean membalas senyuman Caca dengan, "The moon is beautiful, isn't it?"

"Hah?" Caca bingung ketika laki-laki di hadapannya tiba-tiba membahas tentang bulan.

"The moon is beautiful, isn't it?" ulang Sean.

Caca langsung mengedarkan pandangannya ke langit gelap berawan yang sama sekali tidak menampakkan adanya bulan di sana. "Mana? Bulannya aja nggak ada."

Laki-laki itu menyipitkan mata dan mendengus. "Bukan gitu jawabnya."

"Jadi?"

"Nggak jadi deh. Gagal mau romantis. Kamu cari aja di Google, aku mau tidur."

"Dih, ngambek," cibir Caca ketika melihat Sean masuk ke dalam rumah.

Sesaat kemudian, langkah Sean terhenti. Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke tempat Caca berdiri. Dengan gerakan cepat, ia menarik tengkuk Caca dan mengecup keningnya selama beberapa detik, membuat tubuh gadis itu menjadi kaku.

"Good night, sayang," katanya dengan senyum yang mengembang.

Caca hanya dapat menatap Sean tanpa berkedip, lalu melihat laki-laki itu kembali masuk ke dalam rumah dan menuju kamar Lio.

"Jangan lupa cari di Google ya, omongan aku tadi," kata Sean lalu masuk kamar.

Caca mengembuskan napas keras. Perbuatan Sean tadi berhasil membuatnya lupa bagaimana cara bernapas dengan benar. Gadis itu mengerjapkan mata beberapa kali, lalu memegang pipinya yang sudah panas.

Lalu, ia teringat sesuatu. Caca buru-buru mengeluarkan ponselnya, mencari maksud dari kata-kata Sean barusan. Sebuah senyum terukir di wajah Caca ketika menemukan arti dari kata-kata itu. Kalau begini, bagaimana caranya ia bisa tidur?

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang