Selalu ada luka tak kasat mata yang tertoreh dalam hati untuk setiap kehilangan. Tidak ada satu manusia pun yang baik-baik saja jika berhadapan dengan perpisahan. Meskipun mereka melabelinya dengan judul 'berpisah secara baik-baik', kenyataannya sama sekali tak ada hal baik di balik itu. Semua hal indah dan membahagiakan hanya berhenti di masa lampau, menjadi kenangan yang tak bisa diulang kembali. Itukah yang disebut baik?
Sean melepaskan kacamata dan memijat pangkal hidungnya. Kedua matanya sudah lelah menatap layar komputer berjam-jam. Ia tidak tahu bagaimana cara mengisi kekosongan dalam dirinya, selain dengan berkawan akrab dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Sungguh, ia berharap pekerjaannya untuk merancang desain apapun tidak pernah berakhir. Selain untuk mengasah kemampuan, mengembangkan usaha, dan menambah nominal tabungannya, ia juga takut merasakan dengan jelas, bagaimana rasanya hampa yang sejauh ini terlihat samar karena tertumpuk segudang deadline yang harus ia kejar.
Sebenarnya, ia bukanlah satu-satunya desainer di kantor. Mereka, Sean dan Dianne, tentu memiliki beberapa karyawan, namun Sean selalu mengambil porsi pekerjaan yang lebih banyak daripada karyawannya. Jelas saja para desainer itu nyaman dan betah bekerja di sana karena memliki atasan seperti Sean. Ya setidaknya, dengan segala kekacauan yang ada pada diri Sean, dirinya masih bisa memberikan keuntungan bagi orang lain.
Sekarang, ia seperti kembali ke masa lalu. Masa setelah Lea pergi, dan sebelum sosok Caca hadir. Caca. Bagaimana kabarnya di sana? Meski di sini Sean sama sekali tidak baik-baik saja, namun ia berharap gadisnya hidup dengan baik. Tunggu, apa ia baru saja menyebut Caca, gadisnya? Lupakah ia jika sudah berbulan-bulan mereka bukan lagi sepasang kekasih? Benar, kadang ia lupa. Kadang, jari-jarinya bergerak spontan mencari kontak gadis itu, ingin menceritakan bahwa ia berhasil bekerja sama untuk sebuah project periklanan dengan perusahaan besar, atau ketika salah satu klien memberinya bonus yang cukup besar karena sangat puas dengan jasa mereka, atau ketika ia harus mendengar kata-kata kasar dari klien yang komplain. Namun, setiap kali Sean membuka ruang obrolan, pesan terakhir yang ada di sana adalah kata-katanya saat pamit pergi ke New York, kemudian membuat ia mengurungkan niat untuk mengirimkan ketikan kalimat yang sudah ia pikirkan.
Ah, harusnya dulu saat mereka masih bersama, Sean lebih banyak berbagi cerita pada gadis itu. Harusnya ia menyisihkan waktu lebih lama untuk mengobrol dengan Caca, menatap kedua bola mata cokelatnya, merekam senyumannya, mendengar tawa renyahnya, menggenggam tangannya, memeluknya. Harusnya, harusnya, harusnya. Masih banyak kalimat 'harusnya' yang selalu mengganggu di dalam kepala laki-laki itu karena ia tidak pernah menyangka bahwa kebersamaan mereka akan berakhir. Sean terlalu menikmati kehadiran gadis itu, terlena dengan semua keceriaan yang selalu dibawanya sampai lupa bahwa perpisahan selalu menunggu di seberang pertemuan.
Sean sudah kehilangan Lea sebelumnya, ia pikir akan cukup tegar untuk menghadapi kehilangan-kehilangan berikutnya. Nyatanya tidak. Sama sekali tidak. Sekarang, ia seolah kembali menyematkan slogan 'alive, but not living' pada dirinya. Entah bagaimana ke depannya ia mencari kebahagiaan lagi, tapi sementara, begini dulu saja.
Perutnya berbunyi minta diisi makanan. Kapan terakhir kali ia mengisi perutnya? Kalau tidak salah, tadi pagi, itupun hanya segelas susu. Sekarang sudah jam delapan malam, wajar saja perutnya mulai protes. Kalau Dianne tahu bahwa lagi-lagi ia makan tidak teratur, wanita itu pasti akan mengomelinya panjang lebar. Untung saja mamanya sudah pulang dua jam lalu bersama Felly. Ya, akhir-akhir ini gadis itu sering mampir ke kantornya. Entah minta pendapat Sean terkait pekerjaan, atau mengajaknya makan di luar. Meskipun jarang sekali Sean setuju untuk ikut karena tumpukan pekerjaan yang ia cari sendiri.
Fellya Amardi. Temannya semasa kuliah di London. Gadis asal Surabaya yang pernah membuat Caca cemburu. Siapa sangka bahwa gadis itu adalah keponakan dari Hendy, teman mamanya, yang membangun bisnis percetakan ini, dan sekaligus mengajak mereka kemari.
"Sean! Gila, dunia sempit banget ya! Bisa-bisanya ketemu di sini," seru Felly dengan logat khas daerahnya ketika Hendy memperkenalkan gadis itu sebagai keponakannya, satu hari setelah Sean dan Dianne sampai di New York.
"Lho? Bukannya kemaren lo bilang mau kursus baking abis lulus?"
"Ya, rencananya sih gitu. Om gua nih, tiba-tiba maksa rekrut gua ke kantornya. Mungkin nanti cari kursus di sini juga." Bedanya, Felly diminta untuk menjadi desainer di kantor utama, yang dikelola oleh Hendy dan Mia.
Lalu, sementara Hendy berbincang dengan Dianne, membahas soal pekerjaan, Sean juga banyak mengobrol dengan Felly. Menceritakan kegiatan mereka selepas lulus kuliah dari universitas masing-masing. Sampai akhirnya pertanyaan itu datang.
"Eh, cewek lo apa kabar?"
Ekspresi Sean mendadak berubah kaku, lalu, "Baik." Ya, sepertinya gadis itu baik-baik saja. Entahlah, ia juga tidak tahu.
"Terus, lo di sini berarti kalian LDR lagi?"
Sean tertawa kecut. Kepalanya menggeleng. "Nggak."
"Oh. Berarti cewek lo di sini juga?" tanya Felly tanpa menyadari bahasa tubuh Sean yang mulai tidak nyaman.
"Kita udah...nggak lagi," jawab Sean setenang mungkin.
Respon laki-laki itu membuat Felly kesulitan untuk berkata-kata. Rasa bersalah merambat di dalam hatinya karena telah bertanya tentang hal pribadi. Apalagi, sekarang wajah laki-laki itu jelas memancarkan kesedihan.
"O-Sorry, gua nggak tau."
"Nggak apa-apa. Santai."
Santai katanya? Saat itu, rasanya Sean ingin menertawakan dirinya sendiri. Menyuruh orang lain untuk santai, padahal rasa di dalam dadanya sedang bergejolak hanya karena bahasan tentang Caca. Pandai sekali ia menenangkan orang lain, tapi tidak kepada dirinya sendiri.
Argh! Tiba-tiba saja rasa perih menjalar di dalam perut Sean membuatnya ia meringis. Sepertinya cacing-cacing di perutnya sudah melakukan demo besar-besaran karena tidak diberi makan seharian. Sambil menahan rasa sakit, Sean segera mematikan komputernya dan bersiap-siap untuk segera pulang.
![](https://img.wattpad.com/cover/310186229-288-k5256.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Satu Dekade [END]
General FictionSetiap pertemuan, akan ada perpisahan. Setiap perpisahan pun ada peluang untuk bertemu kembali. Lantas, bagaimana dengan cerita antara Sean dan Caca? Haruskah mereka menunggu pertemuan berikutnya untuk melanjutkan kisah yang telah ada, atau memulai...