BAB 19: First Miss

439 50 11
                                    

Caca sedang berkutat menatap laptopnya, mengerutkan kening, berpikir, sambil sesekali menggigit ujung pena yang ia pegang. Di sebelahnya ada gadis berkacamata bernama Luna**, sedang sibuk mencoret-coret sesuatu di buku tulis. Revan kembali menghampiri dua gadis itu setelah selesai menelepon seseorang.

"Gimana?" tembak Caca langsung.

Revan mengacungkan dua jempolnya dengan wajah sumringah, yang kemudian disambut dengan tepuk tangan kedua gadis di depannya.

Semesta sepertinya belum mau cerita Caca dan Revan berakhir begitu saja di masa SMP. Caca boleh saja bernapas lega karena harapannya untuk tidak sekelas dengan Revan terkabul, namun ternyata mereka dipertemukan kembali ketika keduanya diterima dalam keanggotaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), di divisi yang sama. Revan sebagai koordinator divisi Hubungan Masyarakat (Humas), dengan Caca dan Luna sebagai anggotanya. Hampir satu semester ini mereka bertiga sering bertemu dan berhubungan demi kelangsungan beberapa program kerja BEM, termasuk hari ini.

Mereka sedang membuat daftar perusahaan yang mungkin bisa menjadi sponsor untuk pertandingan olahraga antar jurusan yang akan diadakan dua bulan lagi. Barusan, Revan menelepon om-nya yang kebetulan mempunyai bisnis minuman isotonik dan bersedia menjadi sponsor.

"Oke, nanti gua buatin surat izin untuk tempat booth-nya deh," sahut Luna.

"Kira-kira perusahaan mana lagi ya? Kayaknya dana kita belom cukup deh." tanya Caca sambil melipat kedua tangan di atas meja.

"Nanti kita pikirin lagi pelan-pelan, masih ada waktu kok," ujar Revan, lalu merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sesuatu. "Nih makan permen dulu. Muka lo kusut banget."

Caca mendongak dan tertegun melihat sekotak permen karet yang Revan gantungkan di hadapan Caca. Permen karet favoritnya sejak dulu.

"Kesukaan lo, 'kan?" katanya lagi sambil mengunyah permen karet di mulutnya.

Gadis itu mengambil sebungkus permen dari kotak, menawarkan pada Luna yang menolaknya halus, lalu mengembalikan pada Revan lagi, sambil tersenyum, "Thanks."

"Gimana kalo kita lanjutin besok? Otak gua udah mampet nih nggak bisa mikir lagi," keluh Luna yang kemudian disetujui oleh Caca dan Revan karena hari mulai gelap.

"Kalian balik sama siapa?" tanya Revan.

"Dijemput cowok gua," jawab Luna sambil membereskan mejanya.

"Wih, asik bener." Lalu, Revan menghadap Caca. "Lo buruan nyusul tuh."

"Nyusul apa?"

"Punya cowok."

"Udah ada."

Wajah Revan tercengang mendengar jawaban Caca. Padahal ia hanya bercanda. Sejak ia bertemu Caca kembali, tanpa disadari, ia kembali memperhatikan gadis itu. Revan pikir, Caca tidak punya pacar karena ia selalu datang-pulang naik ojek online. Memang kadang ia beberapa kali melihat gadis itu datang dan pulang bersama Lio. Apa jangan-jangan memang Lio? "Siapa? Lio?"

"Bukan. Orangnya nggak di sini."

"Di mana?"

Caca baru membuka mulutnya ketika pikirannya mengatakan bahwa Revan tidak perlu tahu lebih banyak. "Jauh deh pokoknya," jawab Caca sekenanya.

"LDR?" Kali ini Luna yang bertanya.

Caca mengangguk.

"Terus ini lo balik sama siapa? Bareng gua aja."

"Nggak usah repot-repot, Van. Barusan gua udah pesen ojek online kok." Caca menunjukkan layar ponselnya kepada Revan.

Kedua bahu Revan langsung merosot begitu mendengar jawaban Caca. Entah sudah berapa kali Revan menawarkan untuk mengantar Caca pulang, kalau mereka sedang mengerjakan project bersama. Namun selalu ditolak. Padahal, sejujurnya Revan ingin kembali akrab dengan Caca seperti dulu.

Mungkin selama ini alasannya menolak karena ia sudah punya pacar, batin Revan. Tapi, laki-laki itu tidak terlihat peduli dengan status Caca, apalagi ia bilang pacarnya jauh, entah di mana. Ia hanya harus terus berada di sekitar Caca, karena yang setia akan kalah dengan yang selalu ada, bukan?

Gesekan pen pada drawing pad menandakan bahwa sang pemilik, Sean, sedang fokus menyelesaikan gambar ilustrasi sebagai tugas kuliahnya, di perpustakaan. Konsentrasinya mendadak terganggu ketika seseorang menepuk bahunya. Ia menoleh dan mendapati Chiko telah duduk di sebelahnya.

Di London, ada sebuah komunitas yang berisi para mahasiswa yang berasal dari Indonesia. Mereka sering mengadakan acara keakraban di rumah milik salah satu keluarga yang berasal dari Indonesia juga. Mulai dari makan bersama, karaoke, bermain, jalan-jalan menyusuri kota London di malam hari, bahkan hanya sekadar kumpul bersama membagikan kebahagiaan serta keluh kesah mereka sebagai mahasiswa di negeri orang.

Ia bertemu Chiko di komunitas itu dan menjadi akrab karena mereka kuliah di kampus yang sama. Bedanya, Chiko mengambil jurusan Desain Interior.

"Belom balik lo?"

"Bentar lagi. Tanggung."

"Liat-liat jam, jangan telat lo dateng ke acara nanti."

Sean seakan teringat sesuatu lalu menepuk keningnya. "Oh iya! Hari ini ya acaranya. Gua ingetnya besok. Astaga."

"Yee, gimana sih? Jangan nggak dateng lo. Giliran lo yang bawain acara."

"Iya, iya. Ya udah gua beresin ini dulu deh."

"Oke. Gua duluan ya."

Setelah Chiko meninggalkannya, Sean langsung membuka kolom DM di Twitter, media yang biasa ia dan Caca gunakan untuk berkomunikasi, mengirimkan pesan pada Caca. Tadinya, mereka berencana mengerjakan tugas bersama sambil mengobrol panggilan video. Namun tentu saja rencana itu harus dibatalkan karena ia sudah terlebih dahulu membuat janji bersama teman-temannya.

Alarm ponsel Caca berbunyi ketika pukul dua belas malam, membangunkan ia dari tidurnya. Sejak pulang dari kampus pukul enam sore tadi, Caca langsung merebahkan dirinya di kasur dan tertidur. Ia bahkan belum sempat mandi apalagi mengganti baju. Jadwal kuliah yang padat, ditambah project BEM yang sedang ia kerjakan benar-benar menguras tenaganya seharian ini. Untung saja ini sudah masuk hari Minggu. Jadi, ia bisa mengerjakan tugas kuliahnya malam ini sampai subuh, ditemani Sean yang harusnya juga sudah selesai kuliah dan pulang ke flat-nya.

Caca buru-buru menyandarkan tubuhnya pada headboard kasur, memangku dan membuka laptop, siap untuk melakukan panggilan, ketika melihat notifikasi ada pesan dari laki-laki itu di Twitter.

Caca, sorry sorry sorryyy. Aku bener-bener minta maaf kali ini nggak bisa telepon dan nugas bareng. Aku udah ada janji sama anak-anak Indo untuk gathering hari ini, dan aku lupa banget sampe Chiko yang ingetin aku tadi. My bad :(

Kita atur waktu lagi ya, kamu bisanya kapan?

Gadis itu menutup layar laptop dengan lesu. Ini bukan pertama kalinya Sean membatalkan janji untuk menelepon karena ia sudah punya janji lain dengan teman-temannya. Sean memang seorang pelupa, ia sudah tahu dan terbiasa akan hal itu. Tapi, mungkin karena faktor tubuh dan pikirannya yang lelah karena menjelang UAS, mengejar deadline beberapa tugas akhir, juga mengikuti rapat BEM yang akhir-akhir ini lebih sering dilakukan, sehingga ia hanya bertukar kabar dengan Sean melalui Twitter karena laki-laki itu sama sibuknya—sibuk kuliah, sibuk mengerjakan tugas, dan sibuk bersama teman-temannya yang sering ia sebut 'anak Indo' —, membuat napasnya terasa berat.

Caca melingkarkan tangan pada lutut yang ditekuk, juga menumpukan keningnya di sana. Tubuhnya tidak dapat memberi respon apapun pada apa yang dibacanya barusan, selain menangis. Ia capek. Benar-benar capek. Ia butuh Sean. Ia butuh mendengar suara laki-laki itu. Ia ingin melihat senyum Sean yang sangat disukainya. Bahkan, kalau boleh, ia ingin berada dalam dekapan Sean, menghirup aroma tubuhnya yang seperti obat penenang untuk Caca.

"Kangen," ucap Caca lirih di tengah sedu sedan tangisnya.

***

Author's note:
*Kisah Luna bisa dibaca di ROMANTIC INTERLUDE♡

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang