BAB 35: A Chance

557 48 5
                                    

Berjalan tanpa tujuan pada malam hari di kota New York, telah menjadi kebiasaan Sean apabila ia merasa perlu mencari udara untuk mengikis ganjalan yang ada di hatinya. Dua tahun. Sudah dua tahun ia tinggal di kota metropolitan yang tak pernah tidur ini. Jika dibandingkan dengan saat pertama kali ia menginjakkan kakinya di sini, keadaannya sekarang sudah lebih baik. Ia tidak lagi bekerja secara gila-gilaan, lebih bisa mengatur waktu, dan memisahkan antara masalah pribadi dan pekerjaan.

Sean menyimpan kedua tangannya ke dalam saku jaket tebal yang dikenakannya. Musim gugur baru saja dimulai, membuat udara New York menjadi lebih dingin. Sayup-sayup, Sean mendengar suara petikan gitar yang merdu. Ia tahu suara itu berasal dari stasiun kereta bawah tanah (subway). Salah satu hal yang disukai Sean dari kota ini adalah penampilan para musisi jalanan di beberapa subway yang ramai. Mereka semua adalah para musisi berbakat yang bahkan harus melewati audisi yang ketat untuk bisa mendapat izin tampil. Maka, untuk kemampuan bernyanyi dan bermusik, tak perlu diragukan lagi. Bahkan, di 2017 lalu, band yang sudah dikenal semua orang, Maroon 5, pernah menyamar dan tampil di salah satu subway secara dadakan.

Tanpa ragu, Sean melangkahkan kakinya, menuju ke bawah sana. Selain situasi lumayan ramai oleh orang yang berlalu-lalang, ada juga beberapa orang yang berdiri di depan para musisi untuk menikmati suara dan permainan musik mereka, lalu memberikan apresiasi berupa uang yang dikumpulkan pada guitar case yang diletakkan di lantai.

And all the roads that lead you there were winding

And all the lights that light the way are blinding

There are many things that I would like to say to you

But I don't know how


I said maybe

You're gonna be the one that saves me

And after all

You're my wonderwall

Noel Gallagher, salah satu anggota band Oasis, sekaligus penulis lagu Wonderwall pernah berkata bahwa lagu ini menceritakan tentang seseorang yang selalu dipikirkannya, yang menyelamatkannya dari apapun, termasuk dirinya sendiri. Biasanya, setiap mendengar lagu-lagu cinta, satu-satunya orang yang muncul dalam pikirannya adalah Caca. Namun ketika mendengar lagu Wonderwall yang dibawakan para musisi di hadapannya saat ini, yang muncul dalam kepalanya adalah seseorang yang tadi siang makan bersamanya. Seseorang yang melalui percakapannya beberapa jam lalu, menyadarkan Sean bahwa keadaannya menjadi lebih baik, juga berkat gadis itu, Felly. Gadis yang ikut kerepotan merawatnya ketika sakit, yang selalu mengajaknya berbicara tentang apapun asal laki-laki itu tak terperangkap dalam dunianya yang kelabu.

"Sumpah ya gua kesel banget sama satu klien tadi," cerocos Felly ketika dua piring mushroom risotto dan dua gelas lemon squash yang mereka pesan diantarkan ke meja.

"Kenapa lagi?" tanya Sean setelah mereka berdua mengucapkan terima kasih kepada waiter yang mengantarkan pesanan tadi.

"Dari bulan lalu, kita udah bilang kalo deadline-nya tuh satu bulan, dia udah setuju. Hari ini dia dateng, nagih cetakan bukunya. Genap tiga minggu juga belom. Terus, gua jelasin lagi perjanjian diawal, bahkan di invoice-nya juga dia tanda tangan. Tapi, tetep aja nggak mau terima dan keluar deh tuh jurusnya."

"Can I talk to your manager?"

"Yap. Gua jawablah, 'I'm the manager'. Baru deh kicep."

Sean tertawa, sementara gadis di hadapannya mengerucutkan bibir.

"Kenapa sih gua dapet klien yang aneh-aneh mulu? Sekali-kali ditaksir sama anak klien kek, kayak lo," lanjut Felly lagi.

Segala aktivitas Sean terhenti, menatap Felly dengan mata yang melebar. "Kok lo tau? Pasti nyokap gua ya?"

Yang ditanya hanya cengengesan, mengisyaratkan bahwa tebakan Sean benar.

"Lo suka nggak?"

"Ya kali. Baru masuk SMA, Fel. Gua lebih cocok jadi omnya."

Kekehan Felly tiba-tiba lenyap, ketika ia terpikir sesuatu, dan bertanya dengan hati-hati. "Sean, sebenernya mungkin nggak sih, lo buka hati lagi untuk orang lain?"

Laki-laki itu tampak berpikir sejenak. "Mungkin aja," katanya sambil mengangguk.

"Kalo ada orang yang pengen masuk ke kehidupan lo, lo bakal kasih kesempatan?"

"Siapa? Emangnya ada?"

Felly mengangguk dan berdeham. "Kalo orangnya gua...apa ada kesempatan?" tanya Felly ragu-ragu.

Tatapan gadis itu seakan menunggu jawaban apapun yang akan keluar dari mulut Sean, membuat laki-laki itu tidak menemukan kata-kata selain, "Maksud lo?"

"Gua suka sama lo, Sean."

Tubuh Sean menegang, sama sekali tidak mendapat sinyal bahwa Felly akan berkata seperti itu. "Sejak kapan?"

"Sejak kita kuliah. Berarti, udah sekitar enam tahun ya," jawab Felly dengan tawa sumbang.

Pikirannya lantas melayang pada pernyataan Caca yang mengatakan hal serupa, Felly menyukainya. Enam tahun, dan ia sama sekali tak menyadarinya. Bahkan Caca yang tak mengenal Felly pun tahu akan fakta itu. Enam tahun. Bagaimana rasanya menaruh rasa pada seseorang tanpa balasan selama enam tahun?

"Jadi, apa mungkin kesempatan itu ada untuk gua?" tanya Felly lagi, berefek pada Sean yang mengerjapkan matanya beberapa kali, menariknya dari lamunan.

Cinta yang datang setelah cinta pertama memang berbeda. Tidak terlalu membuat hati berdebar, karena yang utama adalah rasa nyaman akan satu sama lain. Bisa diajak membahas topik apapun. Satu frekuensi. Itu sudah cukup. Meskipun Sean tak pernah merasa berdebar ketika bersama Felly, namun kehadiran gadis itu membuatnya nyaman. Ia juga bisa membicarakan apapun bersama Felly. Maka dari itu, Sean menjawab, "Mungkin ada."

Wajah gadis itu kembali berseri-seri setelah mendengar jawaban Sean, sementara Sean masih memandang gadis itu dengan penuh keraguan. Kata 'mungkin' selalu berbicara tentang dua sisi yang belum pasti. Antara ya atau tidak.

"Tapi, gimana kalo pada akhirnya gua tetep nggak bisa bales perasaan lo?" tanya Sean.

"Di saat lo bener-bener udah yakin sama itu, just tell me, and I'll stop chasing you. Gua udah berterima kasih banget lo mau kasih gua kesempatan. Tapi, kalo memang perasaan gua berbalas, lo bakal kasih tau gua 'kan?"

Sean mengangguk. "Pasti."

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang