BAB 2: First Met

1.4K 119 37
                                    

"Ke kantin yok. Kita makan siomay kesukaan anak-anak sini." Deri menepuk bahu Sean tepat ketika bel istirahat berbunyi.

Sean mengangguk. "Boleh."

Mereka berdua beranjak menuju kantin yang terletak di lantai satu. Selama berjalan di koridor kelas 12, mata para siswa-siswi yang berkeliaran di depan kelas semua tertuju kepada Sean. Mereka saling berbisik sambil diam-diam menunjuk Sean, si anak baru. Ia sendiri merasa tidak nyaman diperhatikan seperti itu, maka ia hanya memperhatikan Deri yang dari tadi tidak berhenti bicara mengenai guru-guru yang mengajar di kelas mereka. Laki-laki itu hanya menanggapi seperlunya seperti mengangguk atau bergumam "Oh." dan "Oh ya?". Jujur saja ia tidak terlalu tertarik untuk lebih mengenal guru-guru mereka.

Sampai akhirnya pertanyaan itu datang. Pertanyaan yang tentunya sudah disiapkan jawabannya.

"Lo kenapa pindah ke sini? Bukannya di Bandung enak ya? Suasananya adem, dingin. Daripada di Jakarta panasnya udah kayak simulasi masuk neraka."

Sean tertawa masam. Baginya, simulasi masuk neraka sudah menjadi salah satu fase dalam hidupnya selama di Bandung kemarin, sebelum ia pindah ke sini. Penuh siksa dan deritaan batin, tepat seperti di neraka. "Nyokap gua mau fokus sama usahanya di sini," jawab Sean.

Deri hanya mengangguk, tanpa bertanya lebih jauh. Syukurlah.

Keadaan kantin saat jam istirahat memang ramai sekali, berdesak-desakan, dan akan menyenggol sana-sini. Para murid bisa menjadi begitu brutal di kantin untuk mendapatkan meja makan yang jumlahnya terbatas, ditambah lagi jam istirahat mereka yang tidak lama. Caca memilih untuk membeli Fanta dengan es batu karena habis jam olahraga, sedangkan Rara hanya membeli beberapa gorengan untuk dimakan di kelas saja.

Kantin yang saat ini bagai lautan manusia, membuat Caca tidak sengaja terdorong dan menabrak seseorang di hadapannya. Gadis itu refleks menutup mata ketika wajahnya terbentur tubuh seseorang. Saat ia kembali membuka matanya, yang ia temui adalah baju seragam putih milik orang di hadapannya telah terbentuk satu pulau besar berwarna merah. Ya, Fanta-nya itu tumpah dengan sempurna.

Caca mendongak melihat korban dari perbuatannya barusan dan mendapati orang tersebut memandangnya dengan sedikit kesal. Caca pikir orang itu adalah siswa kelas 10 yang baru masuk, karena ia belum pernah melihat wajahnya. Namun, saat Caca masih terpaku dengan apa yang terjadi, Rara membisikkan sesuatu. "Ca, itu si anak baru yang gua omongin tadi pagi."

Perkataan Rara tadi menambah kepanikan Caca. Gadis itu memandang sekitarnya. Bukan hanya ia yang terkejut, tapi juga Rara dan beberapa murid yang menyaksikan kejadian itu. Caca paham apa yang ada di pikiran mereka. Marisa Vaneta, anak 12 IPA 5, sudah memberikan pengalaman hari pertama yang buruk pada si anak baru.

Hari pertamanya di sekolah baru, seseorang menyiramkan Fanta merah kepadanya. Oh, apakah ini tanda 'salam kenal' kepada anak baru? Seperti yang dilakukan orang-orang jahat itu kepada Lea dulu, pikir Sean. Ah, masa lalu yang selalu ingin ia tutup rapat-rapat.

Sebenarnya, laki-laki itu sudah bersiap untuk marah ketika merasakan cairan dingin membasahi seragamnya, namun ketika melihat wajah sang pelaku, Sean justru ingin tertawa. Mata cokelat milik gadis di depannya membelalak lebar, ditambah mulutnya yang menganga selama beberapa saat. Gadis itu hanya setinggi bahunya. Ia memakai baju olahraga dengan rambut dikuncir kuda. Poninya yang dibelah ke kiri tampak lepek oleh keringat. Sean melihat seseorang di sebelahnya membisikkan sesuatu yang membuat matanya tambah melebar. Setelah itu, ia panik dan gelagapan.

"Astaga! Maaf banget gua nggak sengaja. Aduh, gimana, nih? Gua bener-bener nggak sengaja. Sorry, sorry." Ia mulai bersuara.

Kemudian Sean jawab, "Iya. Nggak apa-apa. Salah gua juga nggak lihat-lihat jalan tadi."

Gadis itu menunjuk bagian perut Sean, lalu, "Tapi itu baju lo jadi basah gitu. Gua pinjemin baju ganti dari UKS ya?"

Sean merasa tidak perlu menambah bebannya lagi. Toh, sudah jelas dia juga tidak sengaja. "Nggak apa-apa. Ini dicuci sama air juga bisa, kok. Minuman lo mau gua ganti?"

"Ha? Nggak. Nggak usah. Gua langsung ke kelas aja. Kalau perlu baju ganti, ke UKS aja. Kalau nggak tahu UKS di mana, tanya orang-orang aja. Sekali lagi, gua minta maaf." Setelah berkata seperti itu, ia buru-buru pergi karena malu. Sean masih mengamatinya sampai ia keluar dari kantin. Tanpa sadar, seulas senyum tipis terbit di wajahnya.

Pada akhirnya, Sean tidak membasuh seragamnya dengan air ataupun meminjam seragam dari UKS. Ia hanya mengeringkannya dengan tisu, lalu membalut tubuhnya dengan memakai jaket. Saat ia pulang sekolah dan sampai di rumah, Sean membuka jaketnya seperti biasa, lupa dengan kejadian di kantin tadi. Dianne, mama Sean yang hari itu sedang cuti, menyambutnya saat ia pulang.

"Sean, gimana hari pertamanya?" Wajah sumringah mamanya membuat Sean tersenyum.

"Yah, oke juga. Teman-teman di kelas juga ramah," kata Sean sambil membuka jaket.

Tepat saat itu, tanpa Sean perhatikan, raut wajah Dianne berubah. Sean hanya terkejut ketika beliau bertanya dengan nada panik. "Astaga! Ini kenapa? Ada yang ngerjain kamu ya di sekolah? Astaga, Sean!"

Sean melihat Dianne hampir menangis, jelas ia teringat tragedi yang dialami Lea. "Eh, nggak gitu, Ma. Ini cuma ada anak yang nggak sengaja numbur aku pas dia lagi bawa minuman. Aku juga yang nggak lihat-lihat karena kantin lagi rame."

"Tapi dulu orang-orang itu juga bilang begitu kan setelah mereka memperlakukan Lea. Mereka bilang nggak sengaja lah, cuma bercanda lah. Semua cuma alasan, Sean."

"Iya, tapi dia nggak begitu, Ma." Sean masih berusaha membantah tuduhan mamanya.

"Tahu darimana kamu? Kamu bahkan baru ketemu dia hari ini."

Laki-laki itu berpikir untuk mencari alasan lain, ketika mamanya berkata dengan tegas. "Besok Mama ke sekolah, mau ketemu sama Kepala Sekolah. Pokoknya kejadian kakakmu nggak boleh terulang lagi."

Kisah Satu Dekade [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang